SANGGAR Cudamani, Gianyar, menunjukkan kematangannya sebagai komunitas seniman yang berproses secara mandiri dan dalam waktu yang panjang di dunia kesenian. Ketika pentas di Wantilan Taman Budaya, Denpasar, Sabtu malam, 25 November 2017, serangkaian acara Bali Mandara Nawanatya, anak-anak Cudamani mempertontonkan bagaimana sebuah garapan tari dan tabuh mengalir dengan tenang, tapi menghanyutkan penikmatnya ke samudera rasa paling dalam.
Sanggar Cudamani menggarap pementasan bertajuk “Bumi” (Ibu Pertiwi). Tampil dengan empat garapan musik dan tari. Keempat garapan itu meliputi garapan musik Rangrang. Kemudian garapan tari Legong Pertiwi. Setelah itu kembali garapan musik ‘Saud’ dan ditutup garapan tari Baris Cecanangan.
Dari garapan Bumi itu diharapkan tumbuh kesadaran bahwa diri kita sendiri tak lain dari cerminan bumi, yaitu mikrokosmos dalam makrokosmos. Segala yang dilakukan pada Bumi adalah jalinan Karma yang mengikat manusia dan segala makhluk dalam Hukum Rta.
Harapan itu, meski agak membumbung, namun setidaknya memberi renungan indah tentang kehidupan, lingkungan, dan hukum sebab-akibat. Dari keindahan gerak dan bunyi-bunyian kita menyadari betapa berutang kita pada Bumi, tempat kita hidup. Karena memmang begitulah hakekat seni dan keindahan: memberi penyadaran sekaligus mendorong naluri untuk bertindak.
Prof. Dr. I Wayan Dibia, SST,MA yang menonton garapan itu mengakui, garapan Bumi dari Sanggar Cudamani memang sebuah garapan musik dan tari yang apik. “Dari segi kreativitasnya, ini lebih pada sesuatu proses seni yang tenang,” kata Dibia
Ia mengakui, Sanggar Cudamani memang menonjol pada garapan musiknya. Itu suatu kekuatan mereka. “Ini kan semuanya adalah penabuh-penabuh yang berkelas,” puji Dibia. (T)