“‘Tuhan’ tak usah diperdebatkan. Jika mencoba memahaminya silahkan nyemplung ke sungai, cari dan petik kangkung dan belah batangnya”, begitulah saya dibesarkan dalam ‘ber-Tuhan’ dan ‘mencari Tuhan’.
‘Galih kangkung’*, demikian sebuah ungkapan Bahasa Bali, dan Jawa Kuno itu, diturunkan kepada saya di masa kecil. Maknanya? Apakah ‘isi/inti batang kangkung’ itu? Jika dibelah batang kangkung, seperti membelah bambu, maka kita akan menemui ruang kosong. Lalu? Yang tampak ‘kosong’ itu ya ‘Tuhan’ itu. Sesederhana itukah?
‘Galih kangkung’ adalah salah satu metafora dari berabad-abad silam, dari kitab sastra Jawa Kuno sampai kembali dituliskan kembali dalam sastra tembang gaguritan, mengalir di pedesaan-pedesaan yang masih ditumbuhi kangkung dan warganya masih ada yang ‘nyastra’. Kutipan sastranya ada dalam bagian Pupuh Ginada dalam Gaguritan Rasotama-Kawiswara, berbunyi seperti ini:
“Ada wangsit kamimitan/ pasih agung tanpa tepi/ tapaking kuntung anglayang/ kalawan galih kangkung/ masih kocap lontar/ tan patulis/ kenken baan ngemunyiang.”
“Ada wahyu purba/ lautan raya tiada bertepi/ menjejaki jejak burung kuntul [yang] terbang-melayang/ dan [mencari] inti tengah kangkung/ juga ada lontar/ tiada bertulis/ bagaimana membahasakan-membunyikannya” [?].
Lautan tiada bertepi, jejak kuntul yang melayang, inti-tengah [kosong] batang kangkung, menjadi pencarian purba yang mengajarkan bahwa ‘kosong itu berisi’, lalu ‘isi kosong’ itu adalah ‘Tuhan’. Maka ‘mencari Tuhan’ adalah ‘ngalih isin telas’ (mencari isinya habis).
Bagaimana membahasakannya?
Saya terkenang sungai di Bali Utara bernama Tukad Banyu Raras. Sungai itu berair tipis bening, perjalanan air dari hulu ke hilir melewati ratusan kelok, mengalir dengan pelan, sebelum sampai di muara. Karena sepanjang tahun alirannya tidak pernah besar maka warga desa membuat petak-petak dari batu-batu yang ditumpuk berjejer, layaknya membuat petak sawah, untuk berkebun kangkung.
Sungai itupun berselimut rimbun hamparan hijau kebun kangkung berselang-seling bebatuan. Saban hari Minggu pagi, semasa saya duduk di kelas 5-6 SD, saya berjalan kaki menyeberangi sungai itu untuk sampai ke desa seberang untuk belajar silat. Di hamparan sungai yang alirannya dirimbuni kangkung itu saya sering termangu, merasa (entah benar atau tidak) berkesempatan ‘berjumpa Tuhan’.
Duduk di atas batu di antara aliran air sungai dan rimbun kangkung, terngiang-ngiang obrolan orang-orang tua di desa saya, bahwa: “Membelah batang kangkung adalah ‘laku menjumpai kosong’. Ketika dibelah batang itu maka ‘kekosongan jadi tampak’, atau tampak jadi ‘nyata’ yang kosong. Menjadikan ‘kosong jadi tampak’, dengan jalan membelah batang dan berhadap-hadapan dengan ‘isinya yang kosong’ adalah laku menimbang zat-zat yang melampaui yang tampak”. **
Catatan Harian 31 Oktober 2017
Catatan kaki:
*’Galihing kangkung’ bukan hanya ungkapan yang dibahas dalam tradisi Hindu di Bali. Dalam Islam di Jawa dikabarkan Sunan Kalijaga mewasiatkan nasihat ‘cecekela galihing kangkung’ (peganglah isi tengah batang kangkung). Kata ‘galih’ dalam tradisi ‘kejawen’ diinterpretasi sebagai akronim dari dari ‘tiga lan kalih’ (tiga dan dua) yang jika dijumlahkan jadi 5 (lima). Kata ‘kangkung’ diinterpretasi sebagai akronim dari ‘mekungkang-mekungkung’ (gerakan rukuk berulang-ulang), artinya shalat. Keseluruhan bermakna ‘tegakkanlah shalat lima waktu’.
** Catatan kecil ini ditulis bukan untuk memperdebatkan Tuhan, juga bukan untuk mengklaim kepalingbenaran ber-Tuhan, tapi menggugah pembaca untuk bersama-sama jika punya waktu menanam kangkung dan membelah kangkung (serta memasaknya) karena kangkung penting buat kesehatan badan, pikiran dan jiwa.