PENTAS kreativitas seni Bali Mandara Nawanatya 2017 mulai diisi dengan penampilan kelompok seni dari kalangan mahasiswa. Adalah mahasiswa dari UKM Teater Orok dan Kesenian Universitas Udayana yang mengawalinya, Jumat malam 29 September 2017di panggung Ardha Candra Taman Budaya Denpasar.
Mereka menampilkan operet berjudul Prambanan. Operet ini menceritakan tentang persaingan Kerajaan Prambanan dan Kerajaan Pengging di Jawa Tengah. Kerajaan Pengging dengan dibantu Bandung Bondowoso bersama pasukan gaibnya akhirnya mampu mengalahkan Kerajaan Prambanan.
Saat itu Bandung Bondowoso bertemu dengan putri raja dari Kerajaan Prambanan yang ditaklukannya. Putri Loro Jonggrang —putri raja dari kerajaan Prambanan—memikat hati Bandung Bondowoso.
Bandung Bondowoso bermaksud menikahi sang Putri. Tetapi Putri Loro Jonggrang menolak dan mengajukan syarat yang berat. Syaratnya, Bandung Bondowoso harus membuat candi sebanyak 1000 buah dalam semalam. Hampir saja Bandung Bondowoso berhasil mewujudkan candi ke-1000 dengan bantuan teman-teman gaibnya.
Namun berkat kecerdikan Loro Jonggrang yang memang tak sudi disunting Bandung Bondowoso, usaha Bandung Bondowoso pun gagal. Itu membuat Bandung Bondowoso marah dan mengutuk Loro Jonggrang sebagai candi ke -1000.
Pemerhati teater Dewa Jayendra mengkritisi penampilan mahasiswa tersebut. Menurutnya, scenario pementasan itu masih lemah, dubbing-nya juga dinilai tanpa rasa. “Pementasan ini seperti sayur tanpa garam,” kata Jayendra.
Menurut Jayendra untuk operet sekelas mahasiswa seharusnya mereka bisa jauh lebih baik dari yang mereka tampilkan. Untuk itu, mahasiswa yang tampil itu perlu pengetahuan dramaturgi dari sisi membangun konflik dan yang paling penting adalah pengkarakteran suara dari tokoh untuk mengangkat peristiwa batin yang dialami tokoh-tokohnya.
Agak berbeda komentar yang diberikan sutradara dari Teater Kalangan, Wayan Sumahardika. Menurutnya, pentas Teater Orok itu sudah cukup mampu menghibur penonton. Karena konsepnya sendiri memang ditujukan sebagai tontonan. Usaha menghidupkan tokoh-tokohnya juga tampak dilakukan dengan cara cukup menarik. “Misalnya tokoh jin yang menyuarakan persoalan lingkungan yang kini rusak oleh ulah manusia juga patut dipuji,” katanya.
Tokoh Jin yang dalam cerita Prambanan sebenarnya hanya berperan pasif, oleh Teater Orok dibuat aktif menyuarakan hak untuk mendapatkan tempat dan kedudukannya. “Saya sebenarnya nunggu apakah para jin ini berani dibuat memberontak pada kuasa Bandung Bondowoso atau tidak. Eh.. ternyata tidak. Padahal akan sangat menarik jika kehadiran tokoh-tokoh ini ditempatkan pada ruang oposisi biner,” katanya.
Namun Sumahardika tetap memberi saran. Misalnya struktur dramatik teks juga perlu diperhatikan. Pada cerita Prambanan ada begitu banyak persoalan yang sejatinya perlu penafsiran yang matang. Seperti konflik perang berdarah antara Bandung Bondowoso dengan Prabu Baka, ayah Roro Jongrang dan peroalan asmara antara Bandung Bondowoso dengan Roro Jonggrang.
Alur cerita realisme magis yang dikandung cerita Prambanan ini juga tampak belum digarap maksimal. Misalnya perang Prabu Baka dengan Bandung Bonwoso yang begitu humanis, dimenangkan oleh Bandung Bondowoso dengan kekuatan mistis, lalu dijatuhkan lagi oleh Roro Jongrang menggunakan akal dan pikirannya hingga diakhiri dengan kutuk Bandung Bondowoso.
“Jika ini tergarap dengan apik, tentu pertunjukan takkan berakhir dengan tepuk tangan saja, melainkan mampu memasuki sisi kontemplatif kisah Prambanan sebagai salah satu produk kebudayaan yang adi luhung,” ujar Sumahardika.
Kepala Dinas Kebudayaan provinsi Bali, Drs. Dewa Putu Beratha, M.Si. yang turut menonton operet itu memuji tata cahaya dan artistik panggung yang menurutnya terkesan sangat menarik. “Penampilan mereka juga tergolong rapi dalam penataan panggungnya,” katanya. (T/Ole/Rilis)