SENI, apa pun bentuknya, punya fungsi mengolah rasa, menghalauskan hati, dan menjauhkan diri dari kekerasan. Hal itu disadari oleh anak-anak muda yang tergabung dalam kelompok seni Haridwipa Group. Bentuk seni musik dan tari yang mereka mainkan seakan menyembul dari cerminan jiwa yang manis, halus, dan rapi.
Seperti ketika kelompok itu memainkan musik tradisi di acara Bali Mandara Mahalango IV di Panggung Madya Mandala, Taman Budaya, Denpasar, Rabu malam, 9 Agustus 2017.
Pementasan musik malam itu menggunakan alat-alat musik seperti smarandana, selonding, gender wayang, perkusi, maupun gendang Bali. Sebagian besar alat-alat musik itu menghasilkan vibrasi yang sejuk, mengalun ritmis, seakan kita dikembalikan kepada sebuah dunia yang damai, tanpa sedikit pun tindak kekerasan.
Apalagi, alat-alat musik itu dimainkan anak-anak muda dengan kepiawian bermain yang tak bisa diragukan lagi. Mereka memainkan enam garapan seni, antara lain Rejang Pratyahara sebagai pembuka, lengkap dengan keelokan gadis-gadis muda yang menari.
Menurut Hari Mahardika, koordinator Haridwipa Group, tari Rejang Pratyahara berkaitan dengan alat-alat indria yang secara ilmiah hanya ditujukan untuk menikmati hal-hal material. “Garapan ini terinspirasi dari tari Rejang Dewa dan Rejang Renteng, di mana komposisi musik dan tari menyerupai,” jelas Hari Mahardika.
Selain tari Rejang Pratyahara Haridwipa Gamelan Group juga menampilkan garapan musik yang bertajuk Hibernasi garapan I Gede Putu Gita Kumara Putra. Juga ada garapan musik dari IB Bayu Raditya yaitu Siklus.
“Siklus merupakan perputaran waktu dan kejadian yang terjadi secara berulang-ulang,” tegas Hari Mahardika. Penampilan garapa musik lainnya antara lain Konjungsi garapan Kadek Bagus Adi Wahyu Wibawa. Ada juga garapan musik ‘Angan-angan’ garapan Kadek Agus Pusaka Adi Putra.
Adapun pertunjukkan ditutup oleh garapan musikal ‘Mepet’ garapan I Putu Purwangsa Nagara. “Mepet” berarti merapatkan atau menyusun dengan rapi. “Mepet” sering dijumpai pada kegiatan membuat ketupat dengan menggunakan daun kelapa. Dimana mulai dari membuat bentuk awal ketupat, lalu membuat jalinan baru lagi sampai terbentuk ketupat. “Dan untuk merapikan semua jalinan tersebut dilakukan dengan cara mepet,” kata Hari Mahardika.
Hari Mahardika mengatakan, inti keseluruhan pementasan ini berorientasi pada sebuah keindahan dan pengolahan rasa yang mendalam dalam sebuah karya. Pilihan ini dipilih berdasarkan realita kehidupan yang ada dimana kekerasan itu cenderung sering terjadi.
“Jadi kita kembali ke indria kita sendiri. Jikalau kita dapat menghargai orang lain maka kita telah memberi kontribusi kepada lingkungan, negara dan bangsa,” tutur Hari Mahardika. (T/R)