13 May 2025
  • Beranda
  • Feature
    • Khas
    • Tualang
    • Persona
    • Historia
    • Milenial
    • Kuliner
    • Pop
    • Gaya
    • Pameran
    • Panggung
  • Berita
    • Ekonomi
    • Pariwisata
    • Pemerintahan
    • Budaya
    • Hiburan
    • Politik
    • Hukum
    • Kesehatan
    • Olahraga
    • Pendidikan
    • Pertanian
    • Lingkungan
    • Liputan Khusus
  • Kritik & Opini
    • Esai
    • Opini
    • Ulas Buku
    • Ulas Film
    • Ulas Rupa
    • Ulas Pentas
    • Kritik Sastra
    • Kritik Seni
    • Bahasa
    • Ulas Musik
  • Fiksi
    • Cerpen
    • Puisi
    • Dongeng
  • English Column
    • Essay
    • Fiction
    • Poetry
    • Features
  • Penulis
No Result
View All Result
  • Beranda
  • Feature
    • Khas
    • Tualang
    • Persona
    • Historia
    • Milenial
    • Kuliner
    • Pop
    • Gaya
    • Pameran
    • Panggung
  • Berita
    • Ekonomi
    • Pariwisata
    • Pemerintahan
    • Budaya
    • Hiburan
    • Politik
    • Hukum
    • Kesehatan
    • Olahraga
    • Pendidikan
    • Pertanian
    • Lingkungan
    • Liputan Khusus
  • Kritik & Opini
    • Esai
    • Opini
    • Ulas Buku
    • Ulas Film
    • Ulas Rupa
    • Ulas Pentas
    • Kritik Sastra
    • Kritik Seni
    • Bahasa
    • Ulas Musik
  • Fiksi
    • Cerpen
    • Puisi
    • Dongeng
  • English Column
    • Essay
    • Fiction
    • Poetry
    • Features
  • Penulis
No Result
View All Result
tatkala.co
No Result
View All Result

“Mencari Umbu Mencari Suaka Waktu” – Refleksi Bali di Ulang Tahun Umbu Landu Paranggi

Riki Dhamparan PutrabyRiki Dhamparan Putra
February 2, 2018
inOpini

Umbu Landu Paranggi/Lukisan Wayan Redika, 2016

150
SHARES

 

GURU, waktu, Umbu (penyair Umbu Wulang Landu Paranggi) telah menjadi tiga topik yang menyertai perjalanan hidup saya. Mungkin karena guru dan waktu sepertinya ditakdirkan untuk seiring sejalan sebagai makhluk Tuhan. Waktu yang kita sangka diam, sebenarnya berbicara lewat guru. Yakni melalui bimbingan dan pengajaran. Sedangkan kebenaran perkataan dan tindakan seorang guru, dibuktikan oleh waktu.

Memang ilmu pengetahuan bertebar di mana-mana. Tapi ilmu pengetahuan itu, sebagaimana kata Imam Ghazali, masih sesuatu yang hilang dari diri kita. Siapa yang tidak mencari, tidak akan mendapatkannya. Dan sebaik-baik pencarian itu dengan berguru. Maka dikatakan dalam pepatah, tiap-tiap ilmu yang dituntut tanpa bimbingan guru, cenderung tersesat. Itulah sebabnya dalam wawasan kearifan tradisional kita, guru tidak dibantah kecuali dengan ilmunya.

Hal ini pun berlaku dalam proses jalannya peradaban manusia. Tatkala pengawalan negara dan politik melemah, gurulah yang memelihara keberlanjutan ilmu dan proses peradaban. Tatkala politik dan kekuasaan sejak dari zaman Pasai sampai Mataram Islam saling baku tikam, para guru justru saling memperkuat tali silsilah keilmuannya satu sama lain dan menerangkan dunia dengannya. Oleh karena itu, tak salah jika dikatakan, seorang guru hakikatnya adalah tali penyambung peradaban. Memuliakan guru, pada dasarnya merupakan sebentuk harapan untuk terus memuliakan ilmu dan peradaban.

Suaka

Tahun 1996, sebuah suaka budaya berdiri di sudut kota Denpasar. Umbu menyebutnya Intens Beh (Inspirasi Tendangan Sudut Jalan Bedahulu) karena memang berada di bagian paling ujung jalan Bedahulu, Denpasar Barat. Lebih tepatnya nama itu adalah sebuah kode yang selalu menyertai tanda tangan Umbu Landu Paranggi pada kardus-kardus bekas kertas koran yang selalu ia bawa dari kantornya di Bali Post ke rumah Bedahulu. Kardus-kardus itu sebagai pengganti kasur buat tidurnya dan buat para ‘santri’ yang tinggal di rumah tersebut.

Baru belakangan nama Intens Beh mulai dipergunakan sebagian teman untuk mengidentifikasi aktifitas di Bedahulu yang dimulai berbarengan dengan munculnya krismi, krismon, kripik (krisis ekonomi, krisis moneter, krisis politik) melanda Republik Indonesia pada tahun 1997. Dalam perjalanan waktu, tempat sederhana itu menjadi suaka yang masyhur di kalangan publik sastra di Bali. Menjadi sebuah habitus tanpa struktur kekuasaan, tempat berlindung, menggembleng dan mengembangkan diri bagi ‘serangga-serangga kecil’ korban arus besar pembangunanisme dan urbanisme yang sedang gencar menghantam Denpasar.

Patut dipertimbangkan, ketika suaka Bedahulu muncul, masyarakat Bali tengah memasuki fase transisi budayanya yang paling dramatis – dari struktur agraris ke masyarakat megapolitan yang wujudnya baru dirasakan orang belakangan ini. Sikap pemerintah daerah Bali (1988-1998) yang sangat kooperatif terhadap investor telah mempercepat proses transisi itu.

Ada sejumlah penanda penting yang mengiringi fase itu. Antaranya, satu, trend massal menonton serial silat Cina (Pendekar Rajawali) di salah satu tipi swasta. Kedua, mulainya era pembebasan tanah besar-besaran untuk perumahan mewah di pinggir Denpasar. Ini kelanjutan dari proses pembebasan lahan untuk kawasan pariwisata yang telah mulai sejak 1990 dan berlangsung sejalan dengan terjadinya krisis air bersih di Bali sebagaimana dinyatakan dalam laporan penelitian BLH pada 1996.

Ketiga, di bidang pendidikan formal, pada tahun 1996 berdiri program kajian budaya pasca sarjana Universitas Udayana untuk menyambut arus wacana kritisisme pembangunan pariwisata Bali yang telah gencar disuarakan di forum-forum aktivis dan kalangan lsm. Glokalisasi kapitalisme mulai dikritisi, dan golkarisasi politik mulai digugat.

Keempat, berkembangnya prasangka antar etnis dan agama serta meningkatnya skala kekerasan berbasis adat sebagai reaksi atas kepanikan ekonomi dan efek dari pewacanaan fundamentalisme agama yang berlangsung secara internasional melalui media massa. Sekalipun akumulasi budaya prasangka itu baru mengental pada tahun 2002 ke atas, wacana publik telah diramaikan oleh bias atas lokalitas itu. Fenomena itu dipermarak dengan munculnya wacana larangan terbang di atas langit Nyepi dan munculnya polisi adat di Sanur sejak tahun 1996. Di sektor ekonomi non formal, terjadi konflik-konflik perebutan hak kelola aset wisata antara pihak militer dan sipil – adat, serta terganggunya komunikasi antara pendatang dan penduduk asli.

Semua penanda itu seakan menjadi miniatur dari fenomena yang sama di daerah-daerah lainnya. Yang pada level nasional kemudian menjelma menjadi sebuah ledakan sosial budaya yang mendapat momentum pada kejatuhan Soeharto pada tahun 1998. Di Bali pasca reformasi, kita tau Bali berturut-turut mengalami musibah dengan cap internasional seperti bom Paddys dan SC – sebagai satu hantaman kepada simbol kapitalisme. Apakah dalam proses itu kapitalisme runtuh? Jawabnya tidak. Keruntuhan satu simbol kapitalisme, berarti kebangkitan baru bagi kuasa kapitalisme yang lebih besar.

Ditinjau dengan kacamata politik konspirasi global, penanda-penanda kerisis yang wujud antara akhir tahun 1990-2000-an di Bali itu, merupakan bagian dari proses transformasi global menuju satu dunia, satu tujuan. Sebuah visi penguasaan dunia untuk menciptakan dunia yang konspiratif, seragam, materialis. Tak heran, kalau sasaran utama yang jadi mainan projek transformasi global itu adalah simbol-simbol keadaban masyarakat, sumber-sumber hidup yang pokok, dan nilai-nilai yang dipanuti.

Idealnya, sastra dapat menjadi suaka agar keadaban itu tidak lenyap dari memori dan hidup masyarakat. Tapi kenyataan toh berkata lain. Sastra pun tak luput, malahan turut menjadi bagian dari percepatan projek transformasi global itu. Sama seperti tanah dan pekarangan-pekarangan Bali yang menghilang ke kancah ‘internasional’ melalui alih fungsi kepemilikan, sastra pun kehilangan tuahnya melalui proses pengglobalan yang sama. Budaya gradag-grudug sastra melemah, digantikan oleh event-event profesional dengan spanduk internasional. Apa yang hilang dalam proses semacam itu adalah kesederhanaan, kemandirian, dan kemampuan Bahasa Indonesia (sastra) untuk mentransendensi gejala-gejala. Tuah yang seharusnya tidak boleh lenyap dalam sastra.

Pada latar belakang seperti itulah, suaka Intens Beh perlu diberi nilai. Habitus kecil itu, yang digerakkan dengan semangat swadaya dan sikap ngotot pengasuhnya pada kesederhanaan, kemandirian dan kesunyian yang transenden itu, merupakan sebuah inspirasi, yang menantang realitas yang ada.

Ada keriangan hidup yang tidak bisa kita temukan di tempat lain, saat para santri dan simpatisan yang berasal dari beragam profesi berkumpul secara rutin di jalan Bedahulu itu. Keriangan yang kontemplatif tentu saja. Yang membawa orang kembali kepada alam kanak-kanaknya, yang notabene adalah permulaan diri sosialnya.

Umbu tampaknya, termasuk orang yang yakin bahwa seluruh kerisis kemanusiaan dapat dipulihkan dari diri yang menjadi sumber kerisis itu. Karena itu jalan untuk mengatasi kerisis adalah dengan mengenali diri. Hanya di dalam diri yang mengetahui sangkan paran itu lah, waktu dapat didiamkan. Inilah makna semboyan run deep run silent yang rutin dibubuhkan Umbu pada sela-sela kosong di halaman Apresiasi koran BPM yang diasuhnya. Kiranya, diri itu pula yang dilewatkan dalam model pengajaran di sekolah formal kita, dan secara umum juga dialpakan dalam dinamika kontemporer kita. Tak heran, kalau SDM yang diproduk dari dunia pendidikan kita kebanyakan adalah SDM yang hanya terlalu pintar, tapi tidak tau akan dirinya. Dalam beberapa kasus, malahan tidak tau diri.

Sulit dipikirkan, Umbu yang bukan nguru ngaji, bukan pendeta,dan bukan apa-apa itu mendidik orang dalam prinsip yang sama dengan anjuran hadis, man arafa nafsahu, faqad arafa Rabbahu (bagi siapa yang mengenal dirinya, ia menemukan Rabbnya). Rabb itu, tiada lain Ia lah Suaka yang sebenarnya. Diri Sunyi yang akan membawa manusia keluar dari krisis kontemporer yang telah membuat waktu terilusi sedemikian rupa. (T)

*Esai ini pernah disiarkan di syahrazade.com. Dimuat kembali di tatkala.co untuk memaknai ulang tahun ke-74 penyair Umbu Landu Paranggi, 10 Agustus 2017.

Tags: balikebudayaanPuisisastraUmbu Landu Paranggi
Previous Post

Strategi Pencitraan Budaya – Tanggapan untuk Tulisan “Catatan Buleleng Festival”

Next Post

Kidung Hredaya: Logika Berdampingan dengan Hati

Riki Dhamparan Putra

Riki Dhamparan Putra

Lahir di Padang, pernah tinggal di Bali, kini di Jakarta. Dikenal sebagai sastrawan petualang yang banyak penggemar

Next Post

Kidung Hredaya: Logika Berdampingan dengan Hati

Please login to join discussion

ADVERTISEMENT

POPULER

  • Refleksi Semangat Juang Bung Tomo dan Kepemimpinan Masa Kini

    Apakah Menulis Masih Relevan di Era Kecerdasan Buatan?

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Ulun Pangkung Menjadi Favorit: Penilaian Sensorik, Afektif, atau Intelektual?

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Tulak Tunggul Kembali ke Jantung Imajinasi

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • ”Married by Accident” Bukan Pernikahan Manis Cinderella

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Duel Sengit Covid-19 vs COVID-19 – [Tentang Bahasa]

    11 shares
    Share 11 Tweet 0

KRITIK & OPINI

  • All
  • Kritik & Opini
  • Esai
  • Opini
  • Ulas Buku
  • Ulas Film
  • Ulas Rupa
  • Ulas Pentas
  • Kritik Sastra
  • Kritik Seni
  • Bahasa
  • Ulas Musik

Pendidikan di Era Kolonial, Sebuah Catatan Perenungan

by Pandu Adithama Wisnuputra
May 13, 2025
0
Mengemas Masa Silam: Tantangan Pembelajaran Sejarah bagi Generasi Muda

PENDIDIKAN adalah hak semua orang tanpa kecuali, termasuk di negeri kita. Hak untuk mendapatkan pendidikan yang layak,  dijamin oleh konstitusi...

Read more

Refleksi Visual Made Sudana

by Hartanto
May 12, 2025
0
Refleksi Visual Made Sudana

JUDUL Segara Gunung karya Made Sudana ini memadukan dua elemen alam yang sangat ikonikal: lautan dan gunung. Dalam tradisi Bali,...

Read more

Melihat Pelaku Pembulian sebagai Manusia, Bukan Monster

by Sonhaji Abdullah
May 12, 2025
0
Melihat Pelaku Pembulian sebagai Manusia, Bukan Monster

DI Sekolah, fenomena bullying (dalam bahasa Indoneisa biasa ditulis membuli) sudah menjadi ancaman besar bagi dunia kanak-kanak, atau remaja yang...

Read more
Selengkapnya

BERITA

  • All
  • Berita
  • Ekonomi
  • Pariwisata
  • Pemerintahan
  • Budaya
  • Hiburan
  • Politik
  • Hukum
  • Kesehatan
  • Olahraga
  • Pendidikan
  • Pertanian
  • Lingkungan
  • Liputan Khusus
Anniversary Puri Gangga Resort ke-11, Pertahankan Konsep Tri Hita Karana

Anniversary Puri Gangga Resort ke-11, Pertahankan Konsep Tri Hita Karana

May 13, 2025
“Bali Stroke Care”: Golden Period, Membangun Sistem di Tengah Detik yang Maut

“Bali Stroke Care”: Golden Period, Membangun Sistem di Tengah Detik yang Maut

May 8, 2025
Mosphit Skena Segera Tiba, yang Ngaku-Ngaku Anak Skena Wajib Hadir!

Mosphit Skena Segera Tiba, yang Ngaku-Ngaku Anak Skena Wajib Hadir!

May 7, 2025
Bimo Seno dan Dolog Gelar Pertandingan Tenis Lapangan di Denpasar

Bimo Seno dan Dolog Gelar Pertandingan Tenis Lapangan di Denpasar

April 27, 2025
Kebersamaan di Desa Wanagiri dalam Aksi Sosial Multisektor Paras.IDN dalam PASSION Vol.2 Bali

Kebersamaan di Desa Wanagiri dalam Aksi Sosial Multisektor Paras.IDN dalam PASSION Vol.2 Bali

April 23, 2025
Selengkapnya

FEATURE

  • All
  • Feature
  • Khas
  • Tualang
  • Persona
  • Historia
  • Milenial
  • Kuliner
  • Pop
  • Gaya
  • Pameran
  • Panggung
Pendekatan “Deep Learning” dalam Projek Penguatan Profil Pelajar Pancasila 
Khas

Pendekatan “Deep Learning” dalam Projek Penguatan Profil Pelajar Pancasila

PROJEK Penguatan Profil Pelajar Pancasila (P-5) di SMA Negeri 2 Kuta Selatan (Toska)  telah memasuki fase akhir, bersamaan dengan berakhirnya...

by I Nyoman Tingkat
May 12, 2025
Diskusi dan Pameran Seni dalam Peluncuran Fasilitas Black Soldier Fly di Kulidan Kitchen and Space
Pameran

Diskusi dan Pameran Seni dalam Peluncuran Fasilitas Black Soldier Fly di Kulidan Kitchen and Space

JUMLAH karya seni yang dipamerkan, tidaklah terlalu banyak. Tetapi, karya seni itu menarik pengunjung. Selain idenya unik, makna dan pesan...

by Nyoman Budarsana
May 11, 2025
Fenomena Alam dari 34 Karya Perupa Jago Tarung Yogyakarta di Santrian Art Gallery
Pameran

Fenomena Alam dari 34 Karya Perupa Jago Tarung Yogyakarta di Santrian Art Gallery

INI yang beda dari pameran-pemaran sebelumnya. Santrian Art Gallery memamerkan 34 karya seni rupa dan 2 karya tiga dimensi pada...

by Nyoman Budarsana
May 10, 2025
Selengkapnya

FIKSI

  • All
  • Fiksi
  • Cerpen
  • Puisi
  • Dongeng
Puisi-puisi Hidayatul Ulum | Selasar Sebelum Selasa

Puisi-puisi Hidayatul Ulum | Selasar Sebelum Selasa

May 11, 2025
Ambulan dan Obor Api | Cerpen Sonhaji Abdullah

Ambulan dan Obor Api | Cerpen Sonhaji Abdullah

May 11, 2025
Bob & Ciko | Dongeng Masa Kini

Bob & Ciko | Dongeng Masa Kini

May 11, 2025
Selendang Putih Bertuliskan Mantra | Cerpen I Wayan Kuntara

Selendang Putih Bertuliskan Mantra | Cerpen I Wayan Kuntara

May 10, 2025
Puisi-puisi Pramita Shade | Peranjakan Dua Puluhan

Puisi-puisi Pramita Shade | Peranjakan Dua Puluhan

May 10, 2025
Selengkapnya

LIPUTAN KHUSUS

  • All
  • Liputan Khusus
Kontak Sosial Singaraja-Lombok: Dari Perdagangan, Perkawinan hingga Pendidikan
Liputan Khusus

Kontak Sosial Singaraja-Lombok: Dari Perdagangan, Perkawinan hingga Pendidikan

SEBAGAIMANA Banyuwangi di Pulau Jawa, secara geografis, letak Pulau Lombok juga cukup dekat dengan Pulau Bali, sehingga memungkinkan penduduk kedua...

by Jaswanto
February 28, 2025
Kisah Pilu Sekaa Gong Wanita Baturiti-Kerambitan: Jawara Tabanan Tapi Jatah PKB Digugurkan
Liputan Khusus

Kisah Pilu Sekaa Gong Wanita Baturiti-Kerambitan: Jawara Tabanan Tapi Jatah PKB Digugurkan

SUNGGUH kasihan. Sekelompok remaja putri dari Desa Baturiti, Kecamatan Kerambitan, Tabanan—yang tergabung dalam  Sekaa Gong Kebyar Wanita Tri Yowana Sandhi—harus...

by Made Adnyana Ole
February 13, 2025
Relasi Buleleng-Banyuwangi: Tak Putus-putus, Dulu, Kini, dan Nanti
Liputan Khusus

Relasi Buleleng-Banyuwangi: Tak Putus-putus, Dulu, Kini, dan Nanti

BULELENG-BANYUWANGI, sebagaimana umum diketahui, memiliki hubungan yang dekat-erat meski sepertinya lebih banyak terjadi secara alami, begitu saja, dinamis, tak tertulis,...

by Jaswanto
February 10, 2025
Selengkapnya

ENGLISH COLUMN

  • All
  • Essay
  • Fiction
  • Poetry
  • Features
Poems by Dian Purnama Dewi | On The Day When I Was Born

Poems by Dian Purnama Dewi | On The Day When I Was Born

March 8, 2025
Poem by Kadek Sonia Piscayanti | A Cursed Poet

Poem by Kadek Sonia Piscayanti | A Cursed Poet

November 30, 2024
The Singaraja Literary Festival wakes Bali up with a roar

The Singaraja Literary Festival wakes Bali up with a roar

September 10, 2024
The Strength of Women – Inspiring Encounters in Indonesia

The Strength of Women – Inspiring Encounters in Indonesia

July 21, 2024
Bali, the Island of the Gods

Bali, the Island of the Gods

May 19, 2024

TATKALA.CO adalah media umum yang dengan segala upaya memberi perhatian lebih besar kepada seni, budaya, dan kreativitas manusia dalam mengelola kehidupan di tengah-tengah alam yang begitu raya

  • Penulis
  • Tentang & Redaksi
  • Kirim Naskah
  • Pedoman Media Siber
  • Kebijakan Privasi
  • Desclaimer

Copyright © 2016-2024, tatkala.co

Welcome Back!

Login to your account below

Forgotten Password?

Retrieve your password

Please enter your username or email address to reset your password.

Log In
No Result
View All Result
  • Beranda
  • Feature
    • Khas
    • Tualang
    • Persona
    • Historia
    • Milenial
    • Kuliner
    • Pop
    • Gaya
    • Pameran
    • Panggung
  • Berita
    • Ekonomi
    • Pariwisata
    • Pemerintahan
    • Budaya
    • Hiburan
    • Politik
    • Hukum
    • Kesehatan
    • Olahraga
    • Pendidikan
    • Pertanian
    • Lingkungan
    • Liputan Khusus
  • Kritik & Opini
    • Esai
    • Opini
    • Ulas Buku
    • Ulas Film
    • Ulas Rupa
    • Ulas Pentas
    • Kritik Sastra
    • Kritik Seni
    • Bahasa
    • Ulas Musik
  • Fiksi
    • Cerpen
    • Puisi
    • Dongeng
  • English Column
    • Essay
    • Fiction
    • Poetry
    • Features
  • Penulis

Copyright © 2016-2024, tatkala.co