LOGIKA, menjadi yang utama bagi manusia tatkala zaman terus berkembang menuju era modern. Namun, ketika logika yang utama, hati dapat jadi terabaikan. Kidung Hredaya muncul memngingatkan, bahwa logika perlu berdampingan dengan hati, mengajarkan untuk menjadi manuia yang seutuhnya.
“Saya merasa damai mendengar ini, sempat saya lama di luar Bali, tapi dengar ini langsung damai meskipun liriknya kurang paham, secara garis besar saya sangat tersentuh,” ungkap Yudi Laksana, salah satu penonton menanggapi penampilan Kidung Hredaya yang dipersembahkan oleh Sanggar Bajrajnyana Musik Teater di acara Bali Mandara Mahalango, di Taman Budaya Denpasar, 8 Agustus 2017.
Diakui oleh I Gusti Putu Sudarta, kidung garapannya tersebut bertujuan untuk ‘merenggut’ hati penonton. “Isinya doa untuk nusantara, semoga agar menitih ke diri masing masing, melembutkan hati karena kan logika mendominasi kadang-kadang, justru menjadi ego dia. Tapi karena sudah tidak berperan hati ini, jadi kami mengingatkan agar melembutkan pikiran,” tutur Sudarta menjelaskan.
Seperti pemaparan Sudarta, Kidung Hredaya dimaknai sebagai nyanyian jiwa, tembang yang lahir dari ungkapan ekspresi dari hati nurani yang paling dalam (Padma hredaya) akan kerinduan menyentuh vibrasi Hyang maha suci. Karya ini juga melambangkan persembahan dengan suara nada sebagai Yantra atau sarana menuju Ishwara. Wujud kekaryaan ini merupakan perpaduan dari kidung, musik, dan tari yang digarap melalui alur dramatik sehingga menjadi karya teater ritual.
“Sebenarnya karya ini diinspirasikan dari ungkapan hati nurani itu cuman sifatnya tembang, tapi belum ada yang menggunakan kidung sebagai ekspresi hati, kebanyakan hanya membaca sastra, memang bagus, tapi belum ada yang serius kesana,” ucap Sudarta.
Masih menurut penjelasan Sudarta, persiapannya dalam pementasan hari ini tidak terlalu sulit. “Karena sudah ada embrio-embrio yang mampu, jadi saya garap mereka,” tuturnya.
Meski demikian, bukan menjadi alasan, persiapan dianggapnya jadi hal yang enteng. “Kami tetap menggarapnya dengan serius, kira-kira yang tergabung hari ini untuk pentas adalah 50-an orang, yang tergabung dari berbagai desa, ya sira sane demen (siapa yang senang –red),” jelas Sudarta sembari tertawa girang.
Penampilannya pun mendapatkan pujian dari penonton, seperti halnya Yudi Krisna, penonton lainnya, Ngurah Oka, mengaku memang sangat menggemari karya-karya garapan Sudarta. “Saya memang suka karya Pak Sudarta, kali ini pesannya sangat tersampai, beliau memang idola saya,” ucapnya dengan wajah sumringah.
Menanggapi hal tersebut, Sudarta mengaku senang. “Ya saya sangat senang menyampaikan dengan baik, karena tujuan dari nyanyian ini memang untuk berbicara dari hati ke hati, karena ini kan hati yang menyanyi, bukan pikiran yang menyanyi.” tutup Sudarta dengan menyiratkan senyum di bibirnya.
Kidung Hredaya, ekspresi hati yang ditampilkan oleh Sudarta bernada sebuah peringatan. Sudarta dengan karyanya, mengingatkan penonton pada hari ini. Bahwa, menjadi manusia tidak hanya soal logika, tapi juga perkara perasaan, agar tidak terjerembab dalam jurang ego. Begitulah Kidung Hredaya; yang menyuarakan hati. (T/R)