TIDAK ada yang memungkiri jika seniman-seniman di Desa Batuan, Gianyar, selalu memiliki posisi di hati masyarakat. Tidak perlu yang macam-macam, mereka dapat menggapai ketenaran, juga sebuah jalan untuk makmur. Namun apa yang mereka dapatkan, merupakan buah dari satu hal: pengabdian.
Begitulah yang dirasakan oleh sekaa Genggong Sanggar Kakul Mas, Banjar Pekandelan, Desa Batuan, Gianyar. Bermodalkan pengabdian juga ketulusan, tabuh-tabuhan Genggong masih terjalin kuat di desa itu. “Sudah sejak lama ada kesenian Genggong ini, sekarang Sanggar Kakul Mas ini kan saya melanjutkan dari kakek saya, I Nyoman Kakul,” tutur I Ketut Wirtawan (48), selaku pengelola Sanggar Kakul Mas.
Dari keberlanjutan itu pula, Sanggar Kakul Mas kemudian dikenal dan bahkan berderet pihak yang mengharapkan sanggar tersebut untuk berpartisipasi dalam kegiatan seni lain, termasuk juga pada Bali Mandara Mahalango pada Minggu, 30 Juli 2017.
“Kami bersyukur karena sudah diberikan kesempatan yang banyak untuk tampil, juga di Bali Mahalango ini,” tutur Wirtawan menambahkan.
Sanggar Kakul Mas menampilkan Tabuh Genggong dengan dibarengi penampilan tari seperti Tari Panyembrama, Tari Baris Tunggal, lalu dengan tari pamungkasnya yang berjudul ‘Jenggala dan Daha’.
‘Jenggala dan Daha’, menceritakan tentang kisah cinta antara seorang pangeran dari Jenggala yang menjelma menjadi seekor kodok yang jatuh cinta dengan seorang putri daha yang cantik.
Dengan keinginan dan rasa untuk menikahi sang putri, akhirnya pangeran bertapa dan menghadap pada Dewa Wisnu untuk memohon agar dirinya kembali pada wujudnya yang dahulu yaitu manusia. Maka, kembalilah wujud pangeran dari Jenggala tersebut menjadi seorang pria yang tampan dan berakhir dengan berhasilnya pernikahan antara pangeran Jenggala dan Putri Daha. “Lalu Genggongnya itu sama dengan musik di gong kebyar, dia mengambil nada pokok juga menjadi pengiring, saya kira cuma Batuan yang punya style nyilit sama sangsih,” jelas Wirtawan dengan lugas.
Penampilan Sanggar Kakul Mas disambut baik oleh penonton, diantaranya berasal dari Denpasar. “Bagus sekali, karena Genggong ini jarang, dan memang saya ingin menonton genggong, menghargai para seniman, dan batuan ini mampu mempersembahkan dengan apik,” tutur Nyoman Sarjana (70).
Namun, keberhasilan dari Sanggar Kakul Mas tak luput dari pengabdian para seniman-senimannya. “Sudah sejak tahun 70an saya bermain music genggong, memang saya suka, juga karena turun temurun,” tutur Mangku Wayan Suda (66), salah satu anggota sekaa tabuh genggong di Sanggar Kakul Mas.
Sembari merogoh alat musik genggong dari kresek putihnya, Mangku Suda menceritakan bagaimana kesenian musik genggong tetap bertahan di Desa Batuan. “Karena pengabdian juga karena keturunan, tapi suka, ini adik saya ikut, ini kakak saya, ini keponakan saya, ini cucu saya,” ujar Mangku Suda dengan tertawa terbahak-bahak.
“Genggong memang untuk hiburan di Desa, ya jadi itu melekat di dalam diri kami, saya bahkan dari SMP sudah bisa main genggong,” tutur Mangku Nyoman Artika (65), salah satu anggota sekaa genggong lainnya menimpali.
Namun, hal itulah yang membuat nama mereka melambung juga menuju jalan kemakmuran mereka. “Dari konsistensi kita ini, kita dikenal, banyak bahkan yang mengantri tawaran untuk pentas, banyak sekali, tapi kami tetap memperlakukan kesenian sebagai jiwa dari kami sendiri. Karena kalau orang yang dikatakan seniman itu ya memang harusnya mengabdi secara penuh kepada seni,” tegas Wirtawan.
Dengan semangat, Mangku Suda pun menimpali. “Di Batuan itu harus bersatu!” serunya sumringah. (T)