MENDENGAR gamelan selonding, khayalan bisa melayang ke masa lalu, terutama pada masa berkembangnya kebudayaan Bali Kuno. Apalagi, sejumlah literatur menyebutkan, di masa Bali kuno, gamelan selonding memang begitu sakral dan sangat terkait dengan ritual persembahan kepada alam dan penciptanya.
Pada acara Bali Mandara Mahalango di Taman Budaya Denpasar, 25 Juli 2017, siswa SMKN 4 Bangli melalui Unit Produksi Sari Gurnata menampilkan tabuh Selonding Kreasi. Artinya, selonding klasik atau kuno itu dipertahankan dengan menambahkan unsur-unsur modern. Dengan begitu, selonding yang berasal dari era kebudayaan Bali Kuno itu bisa diantarkan ke era masa depan.
“Inti pementasan kami adalah memadukan seni klasik dan kreasi. Artinya kami ingin mementaskan yang klasik sekali tetapi ada unsur modernnya,” terang Kepala Prodi TKK (Tata Kecantikan Kulit) SMKN 4 Bangli, Ni Putu Arini Ekayanti.
Pementasan yang berlangung sekitar satu jam ini menampilkan instrument selonding diantaranya tabuh petegak Sekar Gadung. Tabuh petegak Sekar Gadung merupakan sebuah tabuh klasik Tenganan Pegringsingan. Tabuh ini tergolong ritual dan sudah mulai dipergunakan dalam upacara keagamaan. Instrument selonding lainnya adalah Ubitining Selonding. Ini merupakan karya inovatif dari Nyoman Astita di tahun 1990 an.
Selain itu ada juga instrument selonding ringgitning maya. Sebuah karya instrument inovatif dari SMKN 4 Bangli. “Di sini kami mencoba untuk berkreasi dari imajinasi ide kekinian namun tidak terlepas dari pakem-pakem selonding yang ada,” terang Arini.
Menurut pengamat seni musik, Kadek Wahyudita, akan lebih baik bila lagu-lagu yang ditampilkan dalam pementasan merupakan lagu-lagu yang jarang didengar orang. Sehingga masyarakat mendapat tontonan yang berbeda dari pementasan umumnya. Kalaupun ada kreasi, sebaiknya tidak lepas dari pakem selonding. “Kalau ini sudah banyak kreasi,” tandas Wahyudita. Menurut Wahyudita, pakem selonding itu diantaranya, karakter nada yang menggantung.
Agak berbeda dengan Wahyudita, pengamat seni lainnya, Dewa Jayendra mengatakan,”penampilan mereka (SMKN 4 Bangli) tidak terlalu keluar dari pakem.” Bagi Jayendra, memainkan selonding sebagai musik tradisi akan menghasilkan kualitas yang bagus selama penabuh tidak keluar dari pakem saat memainkan alat musik selonding tersebut.
SMKN 4 Bangli menampilkan instrument selonding berselang-seling dengan pementasan tari-tarian. Dua tarian yang SMKN 4 Bangli tampilkan adalah tari Baris Kincang-Kincung. Menurut Ariani tari baris ini merupakan tari baris kreasi yang idenya diambil dari tari baris wali dengan gerakannya yang sederhana. “Gerakan sederhana ini merupakan perpaduan dari baris dapdap dengan baris abuang,” jelas Arini.
Pementasan pamungkas dari SMKN 4 Bangli menampilkan tari Kang Ching Wi. Tari Kang Ching Wi ini menceritakan permaisuri raja Jayapangun yang juga putri dari negeri Cina yaitu Kang Ching Wi. Mereka adalah pasangan yang serasi dan rakyatnya mengagumi. Hanya satu pada satu kesempatan Raja Jayapangus membuat kesalahan memadu kasih dengan Dewi Danu. Saat memadu kasih itu Kang Ching Wi datang. Terjadi pertengkaran yang berakhir dengan turunnya Dewi Batur dan memastu Jayapangus dan Kang Ching Wi menjadi Arca Barong Landung. “Kami pilih tarian ini dan selonding ini karena ada perpaduan klasik dan unik. Unsur unik itu yang utama,” jelas Arini.
Pementasan ini didukung oleh penabuh sebanyak 10 orang. Penari cewek enam orang dan penari laki-laki enam orang. “Untuk persiapannya secara khusus sekitar seminggu sampai kurang dari dua minggu. Sisanya karena kami sudah rutin latihan tiap minggu,” aku Arini. Kedepan Arini, berharap pemerintah terus menfasilitasi pementasan-pementasan tari yang bersifat klasik dan modern sehingga masyarakat tahu seperti inilah tarian yang ada di Bali. (T/R)