WAWAN bingung dengan pernyataan Gubernur. Katanya, Trans Sarbagita sepi karena orang Bali gengsi naik angkutan umum, termasuk Trans Sarbagita*. Mereka dinilai lebih suka naik sepeda motor atau mobil pribadi. Akibatnya, Trans Sarbagita yang sudah berjalan enam tahun tetap sepi.
Angkutan umum massal ini diadakan pemerintah provinsi dan empat kabupaten/kota yang saling bertetangga di Bali Selatan: Denpasar, Badung, Gianyar, dan Tabanan. Tujuannya baik, memecah kemacetan, mengurangi pemakaian bahan bakar, polusi, dan lebih penting: demi keamanan dan kenyamanan 60 persen penduduk pulau.
“Ini pernyataan ngaco. Seperti omongan orang baru bangun tidur yang belum genap kesadarannya,” gerutu Wawan saat duduk-duduk sambil minum kopi dan sarapan pisang goreng di teras rumah. Pagi, sebelum berangkat kerja. Dia menggerutu tak karuan setelah membaca berita utama di koran, pagi itu.
Ratna, sang istri yang duduk di sampingnya, hanya mencoba menengahi. Sang istri enggan memeruncing masalah. “Tapi, memang benar kita lebih enak naik sepeda motor ketimbang naik Trans Sarbagita kan?” kata Ratna kemudian.
“Bukan lebih enak,” sergahnya. “Kita naik sepeda motor karena ini pilihan yang mungkin. Ini yang tersedia. Kalau naik Trans Sarbagita, gak bakal sampai kantor!” sergah Wawan.
Wawan dan Ratna, pasangan suami istri, bekerja di Denpasar, sebuah kota jasa, ibu kota provinsi. Arus modal memang paling banyak di kota itu ketimbang kota-kota lain di provinsi kecil ini yang menjadi tujuan wisata dunia. Maka, tak heran, pekerjaan lebih banyak tersedia di Denpasar, ketimbang kota-kota tetangganya.
Karena itu pula, harga rumah, maupun sewa rumah cukup mahal di Denpasar. Pasangan kelas menengah yang bekerja di usaha jasa kesehatan dan jasa pariwisata itu memilih tinggal di Tabanan, kota di 30 kilometer barat Denpasar, yang wilayahnya masih sebagai daerah pertanian. Harga tanah atau perumahan pun tergolong murah. Bisa setengah harga di Denpasar.
“Kalau kita cukup punya uang…” lanjut Wawan. “Tentu kita lebih memilih untuk beli rumah di Denpasar. Ngapain kita tinggal di Tabanan ini. Sudah jauh, sepi pula. Hiburan jarang ada. Taman kota yang layak pun tak punya. Tak demikian di Denpasar.”
“Untungnya…” sang istri menyahut. “Kita tak banyak pengeluaran untuk hiburan yang macam-macam banyaknya itu. Kita juga tak perlu mengikuti gaya hidup perkotaan. Dengan begitu, kita bisa berhemat.”
Tabanan memang menjadi pilihan bagi kalangan kelas menengah yang tak kuat bertarung untuk berebut tempat tinggal di Denpasar. Banyak kaum pekerja memilih membeli rumah di Tabanan ketimbang terus mengontrak rumah atau indekos di Denpasar. Daripada uang gajian habis, setiap tahun pun selalu bingung mencari uang perpanjangan kontrakan rumah. Tabanan pun menjadi pilihan yang mungkin. Mimpi memiliki rumah sendiri, bagi kelas menengah perkotaan yang baru tumbuh bisa menjadi kenyataan di Tabanan, meski dengan segala keterbatasannya. Termasuk keterbatasan akan angkutan publik.
Sejak sejumlah industri mobil dan sepeda motor memproduksi secara massal dengan ditunjang aliran modal internasional ke sejumlah lembaga pemberi kredit atau leasing, penjualan keduanya kian tak terbendung ke seantero negeri. Tak terkecuali di Provinsi Bali. Berbagai kemudahan kredit kendaraan bermotor, menjadi cara jitu memasarkan produk yang dulu hanyalah sebagai barang mewah.
Perlahan, dalam waktu bersamaan, angkutan umum yang merajai jalanan, baik di perkotaan maupun pedesaan pada era 1990-an ke bawah, ditinggal penumpang yang telah beralih ke kendaraan pribadi, terutama sepeda motor. Mobil pribadi juga, meski tak sebanyak sepeda motor, tentunya.
Setiap tahun, jumlah kendaraan pribadi, khususnya sepeda motor, bertambah 10 persen. Berkebalikan dengan jumlah angkutan umum yang tak kunjung bertambah, justru cenderung berkurang. Yang bertahan pun sepi penumpang, dengan load factor kurang dari 3 persen. Artinya, dari kemampuan angkot mengangkut 10, jumlah penumpang yang ada kurang dari 3.
“Inilah pelajaran dari kapitalisme!” kata Wawan tiba-tiba.
“Ngapain kapitalisme kau seret-seret juga dalam perkara ini? Jangan mengacau!” Ratna memelototi suaminya.
“Lho, yang diajarkan kapitalisme itu kan semakin individual, artinya semakin baik. Ketika kebutuhan setiap orang bisa dipenuhi menjadi milik masing-masing individu, itu baik bagi modal. Industri kendaraan bermotor pribadi bisa meraup untung. Ia bisa beranak pinak. Individulisme itu bisa jadi sumber kekayaan.”
“Tapi dengan mudahnya kita memiliki sepeda motor kan memudahkan kita untuk ke mana saja.” tanggap Ratna.
“Ya, semudah itu pula nyawa kita melayang. Di Bali ini, setiap dua hari sekali tiga orang meninggal dunia karena kecelakaan lalu lintas. Dan sebagian besarnya pengendara sepeda motor,” katanya melanjutnya. “Sekarang kita tak punya pilihan. Sepeda motor atau mobil pribadi yang paling mungkin untuk kita berpindah tempat.”
“Kita masih bisa kok pakai angkot atau Trans Sarbagita.”
“Sampai hari ini, itu masih sulit. Contoh saja yang kita rasakan. Dari rumah ke tempat kerja, angkot tidak mesti melintas di jalan raya, 400 meter dari rumah kita. Kalau pun datang, kita nggak tahu berapa menit sekali melintas. Lalu, Trans Sarbagita, masih sering tidak tepat waktu. Dan yang terpenting lagi, Trans Sarbagita tak melewati tempat kita bekerja, juga tak ada jalur angkutan lain untuk sampai di kantor.”
Wawan mengambil sepotong pisang goreng terakhir, lalu menyeruput kopi hitam pahit kesukaannya. Sang istri tak suka kopi. Ratna telah menyeduh teh manis hangat dan menyeruputnya.
“Berarti Trans Sarbagita gagal dong!?” kata Ratna kemudian. “Kalau begitu, lebih baik dibubarkan saja. Apalagi menghabiskan anggaran banyak.”
Sedikit menarik nafas, Wawan membantah. “Bukan itu solusinya. Kewajiban pemerintah harus ditunaikan dulu. Dari 17 jalur utama Trans Sarbagita, sudah enam tahun ini baru tiga yang beroperasi. Mestinya, 17 jalur utama itu dulu yang disediakan.”
“O, begitu.” Ratna menarik napas.
“Tak cukup itu saja,” lanjut Wawan. “Angkutan pengumpan yang melintas di jalur-jalur desa dan perkotaan juga harus disediakan dalam waktu bersamaan. Ini tanggungjawab pemerintah kabupaten dan kota. Agar terhubung antara permukiman, pasar, pusat perbelanjaan, kantor, dan pelayanan publik lainnya. Juga terhubung antar wilayah kabupaten dan kota. Intinya, tidak ada titik pun yang tidak terlintasi angkutan publik ini.”
“Ya kalau begitu bagus. Kita nggak perlu naik sepeda motor lagi untuk berangkat dan pulang kerja.”
“Belum. Harga tiket Trans Sarbagita harus dibuat murah. Bila perlu, dalam beberapa tahun awal digratiskan dulu. Dan jeda antar kendaraan dibuat pendek, agar tak lama menunggu, dan mesti tepat waktu. Semua fasilitas yang terkait juga harus tersedia dengan baik. Salah satunya halte, dan lainnya.”
“Terlalu ideal.” Ratna menopang dagu pura-pura berpikir.
“Ya, wajar dong. Pemerintah juga ingin kita selalu ideal. Membuat peraturan ideal yang bisa memaksa kita tepat waktu bayar pajak. Telat, kita kena denda. Apakah kopi dan gula serta air yang kita minum pagi ini tidak dengan bayar pajak?”
Sinar matahari mulai menyusup di sela-sela pepohonan, mengenai beranda rumah. Wawan dan Ratna pun tersadar, sudah tiba waktu berangkat kerja.
“Di tempat kerja, dan sepulang kerja, kita bicarakan ini lagi dengan kawan-kawan dan tetangga kita. Kita perlu buat surat kepada gubernur dan wakil rakyat kita untuk memenuhi kebutuhan akan transportasi publik. Bila tak terpenuhi, kita bisa berdemonstrasi.”
“Ya, nanti kita bicarakan lagi. Sudah waktunya kita kerja.”
Mengendarai sepeda motor lagi, berboncengan menuju tempat kerja masing-masing. Setiap hari, lalu lintas cukup padat. Dan di Denpasar, macet menjadi hal biasa. Sepanjang perjalanan, hanya kendaraan pribadi yang mendominasi. Seperti biasa, Wawan mengantarkan lebih dulu Ratna ke tempat kerjanya, yang tak jauh dari tempatnya bekerja. (T)
Tabanan, 3 Juli 2017
*) Sarbagita adalah akronim dari Denpasar, Badung, Gianyar, dan Tabanan. Trans Sarbagita merupakan transportasi publik yang diinisiasi Pemerintah Provinsi Bali dan empat kabupaten di Bali selatan untuk melayani warga di empat wilayah tersebut.