PENAMPILAN musikalisasi puisi ‘Sanggar Seni Pohon Kita’ di Gedung Ksirarnawa, Taman Budaya, Denpasar, Minggu malam, 28 Mei 2017, terasa lebih berwarna dan aransemennya apik.
Begitu rangkuman pendapat pengamat sastra, Dewa Jayendra dan Muda Wijaya. “Secara keseluruhan penampilan musikalisasi puisi dari Sanggar Seni Pohon Kita sudah lebih berwarna,” terang Muda Wijaya. Menurut Muda Wijaya, lebih berwarna karena mereka mengambil nuansa yang berbeda dengan bentuk-bentuk musikalisasi yang sudah ada.
Selain terasa lebih berwarna, penampilan Sanggar Seni Pohon Kita, menurut Jayendra tergolong cukup apik dalam mengaransemen ketujuh puisi yang dipentaskan. “Mereka cukup professional untuk wilayah musikalisasi puisi,” puji Jayendra. Hanya saja Jayendra memberi catatan akan lebih baik dan lebih menantang bila musikalisasi puisi digarap lebih apik lagi. Misalnya dengan melibatkan orchestra dan diberi nuansa teatrikal.
Sanggar Seni Pohon Kita menampilkan tujuh puisi dalam musikaliasi puisi yang bertajuk ‘Mengungkap Cinta Pohon Kita’. Inti dari musikalisasi ini adalah cinta merupakan satu kata paling indah di ucap namun sulit di pahami. Namun dalam puisi, cinta merupakan kesadaran hidup yang sekilas terlupa dikasat mata, namun berperan penting dalam kehidupan. Seperti pohon, cinta terus tumbuh dan dirawat agar kelak bertumbuhan bunga-bunga indah. Namun jangan takut gugur, sebab gugur pun menjadi peran untuk pentingnya tumbuh.
Untuk menyampaikan pesan itu, sanggar Seni Pohon Kita membawakan tujuh puisi-puisi dengan judul “Di Beranda ini Angin tak Kedengaran Lagi” (karya Goenawan Mohhamad), ‘Karena Kata’ (Sapardi Djoko Damono), “Gendingan Buung” (Tatukung) dan “Di Taman itu Jejakmu Masih Terasa’ (Moch Satrio Welang). Ada juga puisi “Sajak putih” (Chairil Anwar), “Tentang Sebuah Gerakan” (Wiji Tukul) dan “Prasida Antuk Titiang” (Tuti Dirgha) serta “Senjata” (Abdul Wahid Situmeang).
Teater Tahta
Selain musikalisasi puisi, pementasan gelas seni akhir pekan Bali Mandara Nawanatya pada Minggu malam itu juga menampilkan Teater Tahta – SMK 1 Saraswati Denpasar, Lakon yang ditampilkan adalah ‘Gong’ karya Mas Ruscita Dewi.
Lakon ini menceritakan adanya sebuah gong sacral dan dihormati oleh masyarakat sekitarnya. Mereka percaya gong itu mampu memberi kesejahteraan. Padahal gong itu justru memicu perseteruan diantara mereka. “Saya melihat pementasan ini melakukan improvisasi lebih banyak dari naskah aslinya. Dan, menurut saya setting perkampungan yang coba dibangun tidak terbaca,” apresiasi Muda Wijaya.
Selain soal setting soal acting juga mendapat sorotan. “Secara keseluruhan pertunjukkan ini belum memberi sesuatu kepada penonton. Tetapi usaha ke arah sana sudah ada,” ujar Jayendra. Catatan kritis dari Jayendra dari pementasan teater Tahta meliputi belum memaksimalkan adegan realis di atas panggung. Misalnya, saat memotong kayu, si pemain tidak harus berdiri untuk berdialog. Cukup sambil memotong kayu dia berdialog. “Selain itu soal emosi dan moving pemain perlu mendapat perhatian. Jadi secara umum garapan ini kurang tertata,” tegas Jayendra. (T/R)