KUNCI, benda kecil itu, meski amat berguna, tapi kerap juga membawa kesengsaraan. Bukan hanya mahasiswa indekosan yang sering panik karena kuncinya tertinggal di kampung, atau hilang entah di mana, barang-barang penting tertinggal di kamar, lalu telat atau gagal masuk kelas kuliah.
Ada juga anak mahasiswa kos kehilangan kunci pintu gerbang, lalu masuk memanjat tembok dan dikira maling oleh orang sekitar. Atau, dimarahi habis-habisan ibu kos.
Kasus kunci motor atau kunci mobil yang bikin sengsara juga banyak. Ada teman, saat bertamu ke rumah teman kehilangan kunci motor, lalu setelah sehari-semalam panik mencari ke mana-mana, lalu terpaksa mendatangkan tukang kunci dan dibuatkan kunci serep dengan bayaran seharga lima nasi bungkus, eh, belakangan diketahui ternyata kunci motornya ada di kantong saku celana temannya yang lain.
Banyak cerita tentang orang kaya dengan mobil mewahnya gagal ketika kuncinya tertinggal di dalam mobil, dan pintu mobil mobilnya yang memang dirancang khusus itu terkunci sendiri. Si kaya itu mendatangkan tukang kunci, tapi tukang kunci hanya garuk-garuk kepala, karena pintu mobil mewah itu memang dirancang khusus tak bisa dibuka oleh alat apa pun kecuali kunci aslinya. Karena kunci, mobil mewah pun bisa bikin sengsara. Si kaya bisa gagal melakukan aktivitas kerja, misalnya rapat dengan menteri atau gubernur.
Nah, ini saya punya cerita nyata tentang nasib sial karena kunci tertinggal di kamar. Eh, lebih sengsara lagi, tukang unci yang didatangkan untuk menyelesaikan persoalan tampaknya tak bisa menyelesaikan masalah sesuai harapan.
Cerita ini saya awali pada malam hari, sehari sebelum terjadinya “kasus kunci” yang bikin sengsara seharian itu. Malam itu saya sedang latihan musik di Komunitas Mahima, bersama Ibu Sonia, pembina komunitas tersebut. Kami sedang bersiap untuk acara presentasi di Green School di Denpasar besok paginya, yang dijadwalkan berangkat dari Singaraja pukul 05.30 pagi.
Latihan sampai tengah malam ditambah kondisi badan yang sudah lelah membuat tidur saya sangat lelap, dan pukul 05.30 itu saya belum bangun. Sampai-sampai saya dibangunkan oleh Ibu Sonia yang sudah siap berangkat.
Nah, karena saking bingungnya, tidak mandi, pakaian asal-asalan, saya pun buru-buru meninggalkan kamar kos dan lupa mengunci pintu kamar. Dan kunci kamar, tanpa saya sadari, masih tertinggal di dalam kamar.
Cerita dilanjutkan setelah saya pulang dari Green School. Hari itu saya sangat senang, ya itung-itung sambil jalan-jalan. Green School, sebuah lembaga pendidikan yang sangat inspiratif itu tentu saja membuat saya mendapatkan banyak inspirasi.
Namun setelah saya sampai di kos dan ingin membuka pintu, pintu yang memang agak susah dibuka itu malah menambah tidak bisa dibuka. Padahal seiingat saya, saya tak mengunci pintu itu.
Aduh, apakah pintu ini makin rusak? Setelah mencoba membuka beberapa kali, dan tidak bisa juga, saya mulai bertanya-tanya apakah tadi pagi saya sudah menguncinya? Jika saya menguncinya, lalu kuncinya di mana?
Setelah diamati, pintu memang dalam kondisi terkunci. Tapi kuncinya tak ada pada saya. Namun setelah dicari-cari, dan melihat dari celah jendela, ternyata saya menemukan kunci ada di atas meja di dalam kamar. Lho, kenapa bisa seperti itu?
Ternyata adik saya pelakunya. Dia membawa 2 kunci, kunci kamarnya, dan kunci cadangan kamar saya. Ternyata, sebelum dia pulang kampung, dia melihat kamar saya dalam kondisi tak terkunci, dan dia langsung menguncinya. Itu memang sudah menjadi kebiasaannya sebelum pulang kampung. Ah, sial. Adik saya sudah di kampung ke Denpasar, masak saya harus menyuruhnya balik ke Singaraja?
Tanpa berpikir panjang, saya lalu meloncak ke atas sadel motor, berniat untuk mencari tukang kunci. Lalu, lagi-lagi sial, saya tak bisa menghidupkan motor. Masalahnya apa? Eh, kunci motor saya kan jadi satu dengan kunci kamar kos?! Ha, ha, ha…
Waktu itu tidak ada warga kos lain selain saya, jadi tidak bisa meminjam motor dari teman kos. Saya pergi ke depan kos di seberang jalan, berharap ada teman atau orang yang saya kenal lewat. Tapi tak ada teman yang lewat. Mungkin akhir pekan, para teman sedang sibuk PDKT atau pacaran ke luar daerah.
Loh, kenapa tidak menghubungi teman saja lewat HP? Ah, lagi-lagi dan lagi-lagi sial. HP saya mati, Pak Bos.
Setelah sekian lama menunggu, kurang lebih 5 menit, saya pasrah dan mengambil keputusan untuk jalan kaki ke kampus, mencari teman. Jalan kaki ke kampus loh, betapa jarang saya lakukan selama ini, meski jaraknya tidak terlalu jauh sih, cuma 100 meter.
Setiba di kampus, untungnya (kali ini ada untungnya), saya bertemu teman komunitas, saya biasa memanggilnya Bli Suma. Ini benar-benar untung. Bli Suma itu mahasiswa S2 yang mau tamat, yang sejak S1 sangat jarang berada di kampus. Tapi kali ini, di hari akhir pekan dengan rentetan libur yang cukup panjang bagi seorang mahasiswa, ia ada di kampus. Luar biasa.
“Bli, pinjem motor, buat nyari ibu kos,” kata saya.
Bli Suma langsung memberikan kunci motornya, tanpa ba-bi-bu.
Saya pikir ibu kos pasti punya kunci cadangan kamar kos saya. Untuk itulah saya jemput ibu pemilik rumah kos di rumahnya yang lain.
Setelah menjemput ibu kos, yang usianya sudah tidak muda lagi, 70’an, saya bersama ibu kos yang maha pengertian itu mencoba semua kunci cadangan yang dipegang ibu kos. Sialnya, satupun kunci tidak ada yang cocok di lubang kunci kamar saya. Ternyata kunci candangan setiap kamar cuma ada satu dan itu dibawa oleh adik saya. Rugi deh, antar balik lagi nih nenek-nenek.
Ah, sudahlah, saya cari tukang kunci saja. Waktu sudah menunjukkan pukul 17.30. Mata sudah nduk gati, seperti balon pijar tanpa pijar. Saya sudah membayangkan kasur di kamar, dan berguling-guling dengan bantal guling.
Tapi semua tukang kunci sudah pada tutup. Saya pasrah, tapi ada teman, saya memanggilnya Bli Yoga, menolong saya. Dia menghubungi tukang kunci yang kebetulan nomor HP-nya dia simpan.
“Waduh, saya sudah di rumah ini. Kalau mau nanti jam 8 saja ya,” kata Pak Tukang Kunci. Oke, saya tunggu dan kembali ke kampus, untuk mengembalikan motor. Setelah pukul 8 malam, tukang kunci pun tiba di kos. Harapan untuk bisa masuk kamar sudah terbuka. Tapi…
“Waduh, Mas, saya tidak bisa buat kunci serep kalau bentuk lubang kuncinya seperti ini,” kata Pak Tukang Kunci.
Hah, saya juga ingin bilang waduh ke Bapak. Masak tukang kunci gak bisa bikin kunci serep. Memag lubang kunci kamar kos saya ini berasal dari zaman Yunani Kuno, atau zaman Majapahit? Balik saja, Pak, balik saja.
Sebelum dia mau balik, saya beritahu Pak Tukang Kunci bahwa kunci saya ada di dalam kamar. Apakah pintunya bisa dibuka, Pak? Dengan percaya diri ia berkata “Oh, bisa! Paling cuma 35 ribu aja mas”.
Kerjakan sudah, Pak. Saya tunggu sambil tertidur di kursi teras. Tidak lama sih, sekitar 30 menit, Pak Tukang Kunci membangunkan saya. “Mas, pintunya dikunci 2 kali, tapi saya cuma bisa buka 1 kali kuncian,” katanya.
Waduh, Mas, balik saja Mas, balik, coba pikirkan pekerjaan lain, selain jadi tukang kunci. Jadi tukang bakso kayaknya lebih mudah …
Sebelum sempat “mengusir” Pak Tukang Kunci, tiba-tiba Bapak yang wajahnya kalem dan tampak baik hati itu mengeluarkan ide baru. “Nah, bagaimana kalau masuk lewat jendela saja, saya akan buka jendelanya, nanti Mas masuk lewat jendela,” kata tukang kunci.
Lah, Mas ini tukang kunci apa tukang jendela sih? He, he, he, ya sudah, silahkan saja. Saya tunggu 5 menit. Tapi, di tengah putus asa, Pak Tukang Kunci menyempurnakan keputusasaan saya. “Mas, tidak bisa ternyata, Mas,” katanya. Wadooohh.
Lama kami terdiam, menyesali nasib masing-masing. Nasib saya tak bisa masuk kamar, nasib Pak Tukang Kunci yang sepertinya akan gagal mendapat upah lumayan.
Tapi kemudian saya punya ide. Seperti dua orang yang hendak merampok bank, saya berunding bagaimana cara mendapatkan kunci di dalam kamar saya itu. Perundingannya sangat serius.
Begini, saya akan cari tongkat yang panjang untuk menghidupkan lampu kamar. Lalu setelah terlihat posisi kuncinya di atas meja, saya akan tarik, kemudian Pak Tukang Kunci saya minta menjaga dengan sapu di bawahnya agar kunci jatuh di atas sapu. Setelah kunci ada di atas sapu, sapu itu ditarik ke dekat jendela. Saya akan mengambilnya. Wow, nice idea. Haha
Dan, horeee, kami berhasil mengambil kunci. Saya masuk ke kamar, dan beres-beres. Dan bersiap untuk merebahkan badan yang lelah di atas kasur.
Eh, saya lupa, Pak Tukang Kunci mamsih menunggu di luar. Rupanya dia sedang menunggu sesuatu.
“Oh iya, berapa saya bayar, Mas?” tanya saya.
“Ya, berapa aja boleh, Mas” kata Pak Tukang Kunci.
Saya keluarkan saja Rp 10 ribu. Tukang kunci pun terdiam, membalikkan badan, berjalan beberapa langkah ke depan.
Lalu, setelah beberapa langkah, dia balik badan lagi, “Saya minta 20 ribu aja deh, Mas,” katanya.
Ha, ha, ha, tak apalah saya beri Rp 20 ribu. Meski tak berhasil bikin kunci serep dan buka pintu, hitung-hitung ongkos dia untuk jalan malam-malam ke rumah kos saya dengan meninggalkan istri dan anak yang seharusnya sudah dia keloni sejak sore tadi. (T)