“Bagaimanakah caranya mengajarkan berat-ringan kepada anak usia dini pada PAUD? Apakah harus dengan menimbang benda-benda dengan timbangan yang menampilkan angka-angka? Sedangkan, mereka belum memahami konsep bilangan,” pikir Made Adi.
Di sisi lain, anak seumuran PAUD merupakan masa kanak-kanak bukan anak SD. Masa kanak-kanak merupakan masa bermain yang selalu ada dalam pikiran anak. Oleh karena itu, tidak mungkin langsung mengajarkan tentang berat.
“Anak-anak, hari ini kita belajar tentang berat. Mari kita menimbang benda-benda ini dengan timbangan,” misalnya ucap guru dalam pembukaan kelas. Tentu, anak-anak SD akan langsung paham yang harus mereka kerjakan. Bagaimana dengan anak PAUD?
Tentu, anak-anak seumuran itu akan kesulitan melakukannya. Mereka hanya akan memain-mainkan saja benda-benda itu seperti menekan-nekan timbangan, membentur-benturkan benda-benda yang dipegangnya. Mereka akan sibuk memainkan benda-benda itu sesuai keinginan imajinasinya.
“Oh, mengapa aku tidak menceritakan ‘I Belog Membeli Bebek’ untuk memperkenalkan berat ringan? Dulu, ketika belum ada namanya sekolahan PAUD, anak-anak bersuka cita menikmati cerita I Belog dari bawah sinar terang bulan. Mereka tak mau menjadi seperti I Belog. Mereka ingin menjadi anak yang cerdas. Dari cerita I Belog, kakek nenek menjadi guru dan sekaligus menjadi sekolah PAUD,” ucap Made Adi dalam hati seakan baru bangun dari lamunannya.
Keesokan harinya, Made Adi masuk ke kelas PAUD. Ia menyapa dan menanyakan kabar anak-anak. Anak-anak dengan antusias menyambut Made Adi. Sebab, Made Adi hanya dua kali seminggu menemani anak-anak bermain.
“Anak-anak, mau dengar cerita dari kakak, nggak?” kata Made Adi.
“Mau, Kak.” ucap anak-anak serentak.
“Kalau begitu, dengarkan baik-baik cerita kakak,” pinta Made Adi.
Made Adi mulai menceritakan kisah “I Belog Membeli Bebek”.
***
Dikisahkan, I Belog hidup bersama ibunya. Suatu hari menjelang piodalan Pura Kumulan, ibunya sibuk membuat sesajen. Namun, ibunya belum membeli bebek untuk persembahan di Pura Kumulan. Ibunya berencana meminta I Belog untuk membeli bebek di pasar.
“Belog, tolong belikan ibu satu bebek di pasar! Beli bebek yang berat dan besar! Jangan membeli bebek yang ringan!” pinta ibunya.
“Ya bu, aku akan pergi membeli bebek di pasar,” ucap I Belog.
“Ini uangnya Rp 100.000.“ ucap ibunya sambil menyodorkan uang.
I Belog mengambil uang pemberian ibunya dan lekas pergi ke pasar. I Belog berjalan ke pasar menyusuri pinggiran sungai. I Belog berjalan sambil mengingat-ingat pesan ibunya yang harus membeli bebek yang berat dan besar.
“Gedebuuuuuk,” I Belog terjatuh kesandung batu besar karena tidak memperhatikan jalan.
“Aduh, sakit. Siapa sih yang menaruh batu besar ini di jalan,” ucapnya lirih. I Belog menggosok-godok kskinya yang sakit.
“Batu sialan ini,” ucap kesal I Belog mengangkat batu besar itu dan melemparnya ke sungai. Batu itu hilang tertelan sungai.
I Belog melanjutkan perjalanannya ke pasar. Sampailah I Belog di pasar. I Belog segera menuju ke pedagang bebek. “Pak, beli satu bebek.Aku beli bebek yang berat dan besar. Jangan kasih bebek yang ringan!” pinta I Belog.
“Ada, Nak. Bebek-bebek yang bapak jual di sini semuanya bagus-bagus,” jawab pedagang bebek.
Pedagang bebek pun mengambil bebek yang paling besar dan berat. “Ini bebeknya. Sudah bapak pilihkan yang paling berat. Harganya Rp 50.000,” ucap pedagang bebek memberikan bebek itu kepada I Belog.
“Benar ini bebeknya yang paling berat? Bapak tiadk bohong kan?” tanya I Belog sambil memberi uang Rp 100.000 kepada pedagang bebek.
“Benar, Nak. Mana bapak berani bohong. Kalau bapak bohong, nanti pembeli yang lain tidak mau beli bebek bapak lagi,” jawab pedang bebek sambil memberi uang kembalian Rp 50.000 kepada I Belog.
Ketika sudah membeli bebek sesuai pesanan ibunya, I Belog pergi pulang membawa bebek. Dalam perjalanan pulang, I Belog kembali melewati jalan yang sama ketika jalan ke pasar. Namun, I Belog menghentikan langkahnya tepat di jalan ketika ia terjatuh saat berangkat ke pasar.
“Aku di sini tadi jatuh tersandung batu besar. Batu tadi itu berat, buktinya tenggelam di sungai,” pikir I Belog.
I Belog lama memikirkan kejadian ia jatuh karena batu itu. “Ah, mengapa aku tidak membuktikan beratnya bebek ini? Kalau bebek ini berat, pasti akan tenggelam seperti batu tadi. Coba buktikan sajalah dari pada dimarahi sama ibu karena membeli bebek ringan,” ucap I Belog dalam hatinya.
I Belog melempar bebeknya ke sungai. Ternyata, I Belog melihat bebeknya mengambang tidak tenggelam seperti batu yang dilemparnya tadi.
“Dasar pembohong pedagang bebek itu. Aku diberikan bebek yang ringan. Kalau aku tahu, tidak akan pernah membeli bebek di tempatnya,” kata I Belog kesal karena merasa di bohongi.I Belog pergi pulang meninggalkan bebek di sungai sendirian.
Dengan penuh rasa kesal, sampailah I Belog di rumah. I Belog pun duduk di teras rumah. Mendengar anaknya datang, ibunya keluar dari dapur ingin mengambil bebek.“Belog, mana bebeknya? Kamu kok tidak bawa apa-apa?” tanya ibunya bingung karena tidak melihat ada bebek.
“Ah, aku tinggal bebeknya di sungai. Abisnya, aku dibohongi sama pedagang bebek. Katanya bebeknya berat, tapi aku lempar ke sungai tidak tenggelam,” ucap I Belog yang masih kesal.
“Haaaaa, I Belog-ku sayang, jelas bebeknya tidak tenggelam. Bebek itu bisa berenang. Walaupun bebek itu berat, tidak akan pernah tenggelam,” ucap ibunya tersenyum melihat ketidaktahuan anaknya.
Mendengar perkataan ibunya, I Belog loncat lari meninggalkan ibunya. “Mau ke mana kamu Belog?” tanya ibunya I Belog.
“Aku mau ngambil bebeknya di sungai,” jawab I Belog.Ia berlari sekencang-kencangnya. Ia takut bebeknya tak ada lagi di sungai itu.
“Bebeknya pasti sudah pergi. Beli lagi saja bebeknya di pasar,” teriak ibunya. Benar saja, ketika I Belog sampai di sungai itu, bebeknya sudah tidak ada lagi.
“Kemana ya bebeknya pergi?” pikir I Belog penuh penyesalan.
Ketika I Belog menyadari kesalahannya, ia pergi ke pasar membeli lagi bebek dengan sisa uang dari ibunya. Dengan menahan rasa malunya, I Belog pulang membawa bebek pesanan ibunya.
Ibunya tersenyum melihat anaknya membawa Bebek. “I Belog-ku sayang, besok-besok kalau belum ngerti dengan permintaan ibu, tanya dulu,” pinta ibunya.
“Iya bu, aku ngerti,” jawab I Belog.
Mengingat kejadian itu, I Belog selalu bertanya semua hal yang tidak dimengerti kepada ibunya.
***
Mendengar cerita I Belog itu, anak-anak PAUD protes terhadap kebodohan I Belog. “Mana mau bebeknya tenggelam. Bebeknya bisa berenang kok,” celetuk salah satu anak.
Kebodohan I Belog memberikan pengalaman awal bahwa benda yang besar bentuknya pasti berat. Kemudian, benda yang dilihatnya kecil pasti ringan. Anak akan mampu menganalisis pengalamannya jika diberikan dua perbandingan benda yang sangat jauh ukurannya.
Tapi ingat, benda yang dibandingkan adalah benda yang memiliki sifat yang sama. Sebab, pengalaman anak PAUD selalu berkembang dengan membandingkan pengalaman sebelumnya. Ini seperti perkembangan teori dalam ilmu pengetahuan yang akan terus berubah ketika menemukan bukti baru. Kemudian, anak-anak akan semakin tajam menyimpulkan pengalamannya ketika kita pura-pura bodoh dalam merangkai pengalamannya.
Made Adi mengambil gelas dan ember kecil yang diisi penuh pasir. Lalu, Made Adi mengangkat gelas dan ember itu di depan anak-anak. “Oh, berat sekali pasir di gelas ini. Tapi, pasir di ember ini ringan sekali,” ucap Made Adi pura-pura bodoh.
“Yang itu berat, Kak,” ucap salah satu anak menunjuk pasir yang ada di ember.
“Bukan pasir di ember ini, tapi pasir di gelas ini yang lebih berat,” ucap Made Adi menentang pendapat anak itu.
“Aku ngangkat, Kak,” celetuk salah satu anak mendekati Made Adi.
Made Adi memberikan gelas dan ember kecil penuh pasir pada anak itu. Anak itu mengangkat dan membanding-bandingkan.
“Ah, ini beratan yang ini,” ucap anak itu memperlihatkan ember yang diangkatnya.
Semua dalam kelas PAUD itu pun riuh ingin mencoba membuktikan dengan mengangkat gelas dan ember kecil penuh pasir itu. Made Adi pun memeberikan kesempatan kepada anak-anak PAUD itu mencoba mengangkatnya.
“Kakak ne, bodoh kayak I Belog,” ucap anak-anak PAUD itu protes.
Made Adi hanya tersenyum mendengar keriuhan ucapan anak-anak.Made Adi menyadari bahwa pura-pura bodoh bukan keseriusan membodohi anak-anak, tetapi keseriusan mengambil peran bodoh pada saat yang tepat. Sebab, keseriusan mengambil peran bodoh seperti I Belog akan semakin membangkitkan pengalaman belajar anak.
Karena paling mendasar, ilmu akan muncul ketika saat mengerjakan, memainkan obyek-obyek di lingkungan kita. Karena kita akan terlibat aktivitas pengamatan yang pada akhirnya menghasilkan pengalaman yang memberikan pemahaman dan ilmu.
Ini seperti mendengar kisah Newton menemukan gravitasi, dulu ketika sedang jalan-jalan di kebun, ia melihat apel jatuh dari pohon. Kemudian, langsung teori gravitasi muncul dalam pikirannya. Hal ini dikenal sebagai lelucon atau kebodohan di seluruh dunia. Namun, dari lelucon itu, Newton melakukan pengamatan dan penelitian bertahun-tahun yang menghasilkan pengalaman rumit sehingga memahami sebagai hukum gravitasi. Dari lelucon atau kebodohan, Newton memaknai dan mempertanyakannya sehingga membawanya sebagai bapak gravitasi.
“Ah, sungguh serius peran bodah itu. Apakah mungkin, selama ini peran pintar yang terlalu serius membuat anak-anak menjadi bodoh?” pikir Made Adi. (T)