PADA tahun 1011, di desa Air Hwang, kini dikenal sebagai Desa Abang, raja mengeluarkan piagam yang mengatur dengan tegas, rinci, dan sistematik tentang penataan kawasan danau, perlindungan pohon-pohon, dan pajak peternakan. Dalam prasasti di desa yang letaknya di tepi Danau Batur, Kintamani, ini muncul istilah kayu larangan.
Kayu larangan dalam prasasti tersebut adalah berbagai jenis kayu-kayu yang dilarang untuk dipotong atau ditebang, mendapat perlindungan oleh kerajaan. Selain tersurat dalam piagam raja tersebut, kayu larangan tersurat juga muncul dalam beberapa piagam raja. Istilah kayu larangan muncul dalam prasasti-prasasti periode abad 10 sampai 12, atau dalam rentan 200 tahun.
Piagam awalnya ditulis dalam berbahasa Bali Kuno, di atas lembar-lembar tembaga, dan semenjak jaman Raja Udayana kedudukan bahasa Bali Kuno digantikan oleh bahasa Jawa Kuno sebagai bahasa piagam-piagam Bali Kuno.
Piagam raja-raja Bali Kuno tidak lain merupakan undang-undangan kerajaan, ditulis dan dirumuskan oleh raja bersama para senapati dan penasihat kerajaan, dan para petugas yang relevan dengan isi piagam.
Jenis kayu yang dilarang untuk ditebang (kayu larangan) adalah Kemiri, Bodhi, Sekar Kuning, Waringin, Puntaya, Mendeng, Kamalagi, Lumbung, Jeruk, Wunut (Bunut), dan Ano.
Membaca ratusan prasasti dari periode Bali Kuno, kita akan dibuat tersadar bagaimana urusan penataan kawasan dan lingkungan sangat menjadi perhatian mendasar dalam menjamin keberlangsungan kehidupan masyakarat Bali Kuno.
Dalam tata pemerintahan Kerajaan Bali Kuno ada jabatan khusus bernama Hulu Kayu. Ini adalah sebuah jabatan khusus yang menempati posisi penting dalam sistem pemerintahan Bali Kuno, membidangi untuk urusan pelarangan penebangan kayu, pengawasan, dan penataan hutan.
Hulu Kayu dibantu oleh juru tulis khusus (manyuratang atau penulisan), semacam sekretaris merangkap petugas pendataan. Salah satu dari Senapati Kuturan pernah memegang jabatan ini sebagai Hulu Kayu. Nama beliau sebelum menjadi Senapati Kuturan adalah Dyah Kayup. Setelah Dyah Kayup menjabat sebagai Hulu Kayu tampaknya beliau dipromosikan sebagai Senapati Kuturan, sebuah jabatan semacam “menteri koordinator negara”.
Dari regulasi atau prasasti-prasasti abad ke-10 sampai abad ke-12 sangat jelas tampak bahwa raja-raja Bali Kuno punya kesadaran tinggi terhadap penyelamatan hutan dan danau. Penataan kawasan dan lingkungan menduduki posisi teramat penting untuk membangun peradaban Bali Kuno.
Dalam bilah-bilah prasasti tembaga yang ditemukan desa-desa piminggir atau wintang danu lainnya yang dikeluarkan periode abad 10 sampai 12, termuat ketentuan pemanfaatan lahan sekitar danau. Masyarakat Bali Kuno tampak memiliki sebuah pemetaan kawasan atau zoning. Disebutkan secara rinci pembagian antara lahan pertanian, lahan kapas, ladang rumput untuk makanan ternak, dan lahan kayu untuk kebutuhan masyarakat.
Perdes kayu larangan?
Raja-raja Bali menjaga kelestarian alam untuk membentuk peradaban. Mereka bijak dan sudah seharusnya menjadi tempat kita berpijak dalam melihat dan menata situasi Bali sekarang.
Jika kita bandingkan regulasi yang termuat dalam piagam-piagam Bali Kuno dengan Perda Penataan Kawasan Bali sekarang, kita bisa melakukan introspeksi dan evaluasi diri. Kekeluh dan keraguan warga terhadap perda atau regulasi sekarang perlu didengar.
Regulasi tentang tata ruang dan lingkungan kita sekarang, kata salah seorang aktivis lingkungan, dibuat oleh para eksekutif dan legislator yang lemah pemahamannya tentang hutan dan kawasan. Ini mengingat para petugas atau pejabat sekarang jarang jalan kaki masuk hutan atau memutari danau dengan menginap di desa-desa pelosok yang mereka kunjungi. Pelaksanaannya juga dinilai setengah hati.
Kita bisa belajar dari piagam-piagam yang memuat perihal kayu larangan yang mencerminkan bagaimana mereka mencintai bumi Bali dengan jalan membuat dan mematuhi prinsip-prinsip pelestarian alam yang sangat maju. Dibandingkan dengan manusia Bali di abad 21 yang abai dan kehilangan rasa (tan pangrasa) dan kehilangan kedekatan dengan “bumi Bali”, raja-raja Bali Kuno sangat visioner.
Sejauh pengamatan dan riset saya, belum ada sebuah perda atau perundangan di era otonomi secara serius menjadikan prasasti-prasasti Bali Kuno sebagai pijakan pengembangan kebijakan lingkungan dan penataan kawasan.
Padalah data regulasi periode Bali Kuno cukup berlimpah, dan kalau tidak bisa langsung membacanya, para legislator atau eksekutif bisa membaca hasil-hasil pembacaan dan riset mendalam yang telah dikerjakan oleh Dr. R. Goris, atau Prof. Semadi Astra, dan banyak peneliti lainnya.
Para ahli efigrafi atau pembaca prasasti/tulisan kuno menyalin dan memberikan data, tinggal bagaimana pemerintahan modern atau politisi sekarang mengadopsi kearifan masa lalu itu menjadi sebuah produk perundang-undangan modern yang membumi dan punya ikatan emosional-kesejarahan dengan warga/karma Bali.
Saya berharap ada kelompok masyarakat yang mulai membuka-buka prasasti-prasasti yang membahas lingkungan dan juga perihal kayu larangan untuk dijadikan awig-awig atau perdes (peraturan desa) atau mungkin diadopsi untuk skala yang lebih luas dalam perda (peraturan daerah).
Sebelum lebih melangkah ke sana, hal-hal sederhana bisa dilakukan dengan mendata kembali ketersediaan dan situasi sekarang: apakah masih pohon Kemiri, Bodhi, Sekar kuning, Waringin, Puntaya, Mendeng, Kamalagi, Lumbung, Jeruk, Wunut (Bunut), dan Ano tersedia di desa atau wilayah mereka?
Mengingat masyarakat Hindu Bali dikenal sebagai pemuja leluhur atau makawitan: langkah mengenal dan mendata kembali pohon-pohon tersebut akan menjelma menjadi sebuah “perjumpaan suci”.
Para tetua Bali mengajarkan bahwa salah satu jalan utama untuk menghormati para leluhur adalah dengan jalan menghargai dan menjunjung kearifan/pengetahuan suci para leluhur yang diwariskan kepada kita. Mendata kembali dan menanam kembali pohon-pohon yang dilindungi para leluhur, dengan demikian, adalah perjumpaan kembali (setelah dalam penantian panjang) dengan “Bhatara Kawitan”. Pendataan kultural ini perlu dikerjakan untuk meneruskan tetamian (heritage) atau warisan kearifan dari para leluhur dalam menata kehidupan dan lingkungan Bali.
Di kalangan penganut Hindu Bali yang menghargai palemahan (lingkungan hidup) dan kawitan (leluhur), menanam pohon bisa ditumbuhkan sebagai peranti “bakti pada leluhur”, sekaligus juga menjalin persahabatan dengan “gumatat-gumitit” (segala jenis binatang kecil, baik yang gaib maupun yang tampak), menghargai dan harmoni dengan “anak di peteng” (berbagai makhluk dari alam lain).
Dalam bahasa prasasti Bali Kuno disebutkan bahwa perlindungan pohon dan tindakan penataan kawasan adalah bagian dari usaha “mamahayu-hayuning bhawana” (menjaga dan melestarikan keselarasan kehidupan jagat raya) sehingga tercipta “sarwa prani hitankara” (kebahagiaan/kedamaian semua mahklukdi dunia).
Apa yang ditulis dalam prasasti atau piagam Bali Kuno sangat relevan spiritnya dengan kebutuhan penataan lingkungan di Bali sekarang. Masyarakat dan pemerintah Bali sepatutnya membaca kembali kearifan raja-raja Bali Kuno untuk dijadikan pedoman dalam menata lingkungan dan bumi Bali—untuk bisa kembali ke jalan lurus.
Piagam-piagam tersebut bisa diadopsi dalam kebijakan pemerintahan, baik dalam bentuk regulasi, program-program dan penganggaran kegiatan pelestarian lingkungan sehingga usaha-usaha “mamahayu-hayuningbhawana” para leluhur sambung-sinambung dengan generasi sekarang dan masa depan. (T)