FESTIVAL 100 Monolog Putu Wijaya (F100PW) di seluruh kabupaten di Bali sudah siap digelar selama setahun ini. Pemain sudah siap, sutradara sudah siap, semangat sudah menyala, kini tinggal menentukan jadwal.
Dari hasil rekapitulasi sementara F100PW diikuti pemain daru seluruh Bali. Rinciannya Buleleng menampilkan 62 lakon monolog, Denpasar 20 lakon monolog, Tabanan 8 lakon monolog, Bangli 3 lakon monolog, Jembrana 2 lakon monolog, Klungkung 2 lakon monolog, Karangasem 1 lakon monolog, Gianyar 1 lakon monolog, dan Badung 1 lakon monolog.
Para pemain terdiri dari pemain teater, siswa, mahasiswa, dalang, pemusik, guru, dan warga umum, yang tersebar di seluruh Bali.
Dari Buleleng tentu saja ada Putu Satria Kusuma, Kadek Sonia Piscayanti, Wayan Sumahardika, Desi Nurani dan lain-lain. Dari Tabanan ada Bawa Samar Gantang dan Boping Suryadi bersama anak-anak binaan mereka. Dari Denpasar ada Cok Sawitri, Ketut Syahruwardi Abbas, dan lain-lain. Dari Negara tentu saja Nanoq da Kansas bersama Komunitas Kertas Budaya.
Bawa Samar Gantang yang kini sedang sibuk mengurus keberangkatannya ke Eropa, Juni-Juli 2017, untuk pentas membacakan kumpulan puisi Leak, mengatakan sudah mempersiapkan 5 pentas monolog.
“Saya dan anak-anak di Teater Samar Gantang akan memainkan 5 judul monolog karya Putu Wijaya. Ini apresiasi kami pada sastrawan Putu Wjaya,” ucapnya tegas keras dengan aksen Tabanan sebagaimana diceritakan Putu Satria Kusuma. Samar Gantang akan memilih pentas bulan Desember sepulang dari Eropa.
Ketut Boping Suryadi yang kini dikenal sebagai politikus, bersama komunitasnya, Anak Anak Angin, menyiapkan 2 monolog. Dengan begitu, di Tabanan, tempat lahir Putu Wijaya, aka nada 7 pentas monolog. Lima dari teater Samar Gantang dan 2 dari Komunitas Anak Angin.
Ada dua dalang yang juga memeriahkan F100PW, yakni Sudarta Gusti dan Gusti Made Aryana. Sudarta adalah dosen yang sedang menempuh pendidikan S3 di Solo. “Saya mau belajar karena belum.pernah main monolog,” ucapnya.
Sementara Gusti Made Aryana dikenal sebagai dalang dari Buleleng yang selama ini dikenal dengan julukan Dalang Sembroli.
Dua dalang muda kreatif ini adalah seniman yang hebat dalam seni pedalangan. Dengan kerendahan hati mereka menyatakan tertarik mengikuti festival monolog yang baru pertama kali digelar di Bali, dan dengan modal semangat gotong royong dan mandiri.
Bagaimana tanggapan Putu Wijaya?
Melalui pesan kepada Putu Satria, Cok Sawitri dan Boping Suryadi, dramawan itu mengatakan, “Apa yang kalian lakukan sekarang ini sebuah sejarah yang belum pernah terjadi. Bayangkan festival setahun penuh dengan 100 judul. Di seluruh kabupaten yang melibatkan pelajar, mahasiswa, seniman dan yang swadaya tanpa biaya dng greget masing-masing, melupakan perbedaan bersatu untuk menunjukkan potensi Bali yang lain!”
Lebih lanjut Putu Wijaya menyatakan, “Aku selalu berdoa semoga perhelatan kalian berakhir sempurna dan menjadi kebangkitan bagaimana teater Bali mengarak tradisi dan kearifan lokal (desa-kala-patra). Aku akan terus memasok tulisan bagaimana kita menjadi Bali yang modern tapi tetap teguh masif terkait dengan jiwa/roh tradisi. Selamat berjuang!”
Konsep F100PW ini memang mengedepankan prisnip desa-kala-patra (tempat-waktu-kondisi). Pementasan ini dimanajeri sendiri, dibiayai sendiri, diurus sendiri oleh pemain atau komunitasnya, dan boleh memilih pentas di mana saja: di rumah sendiri, di markas komunitas atau di jalanan.
Pentas pertama akan dilakukan di Rumah Belajar Komunitas Mahima, Jalan Pantai Indah Singaraja sekitar bulan Maret 2017. Lalu dilanjutkan dengan pentas-pentas berikutnya di seluruh kabupaten hingga bulan Desember 2017. (T)