KENAPA Hari Raya Pagerwesi dirayakan dengan meriah di Buleleng, tidak kalah dengan perayaan Hari Raya Galungan & Kuningan?
Jawaban pendeknya sebagai berikut.
Ada petuah (wasiat dan nasihat) dari tetua Buleleng yang diwariskan turun-temurun yang mengamanatkan keturunannya untuk merayakan Pagerwesi secara sungguh-sungguh sebagai “perayaan peneguhan lahir batin”.
Pagerwesi adalah hari khusus memagari diri dengan puja dan persembahan banten Sesayut Pageh Urip (Sesaji Pagar Jiwa). Sesaji Pagar Jiwa adalah inti ritual perayaan Pagerwesi bagi umat kebanyakan. Bagi para pendeta (sulinggih) hari Pagerwesi adalah hari penegakan “diri sebagai Lingga”, ‘tubuh niskala Hyang Siwa’, dengan sesaji Sesayut Panca Lingga (Sesaji Lima Pilar Batin). Ini hari khusus meneguhkan diri sulinggih menjadikan “diri sebagai poros/pilar semesta” lewat ritual “memutar aksara Brahma” atau ngarga dan mapasang lingga.
Marilah lebih rinci melihat perayaan Pagerwesi ini karena upacara peneguhan jiwa ini terlebih dahulu diawali oleh dua perayaan sebelumnya, yaitu Soma Ribek dan Sabuh Mas. Dua perayaan ini pokok-pokok yang tidak terpisahkan dari hari peneguhan jiwa (Pagerwesi).
Apa itu Soma Ribek?
Soma Ribek jatuh pada hari Senin (Soma) wara Pon uku Sinta, sehari setelah Banyu Pinaruh dan dua hari setelah Hari Raya Saraswati.
Menurut lontar Sundarigama pada hari ini Sanghyang Tri Murti Amertha beryoga, dengan pulu /lumbung (tempat beras dan tempat padi) selaku tempatnya. Pada hari ini disarankan umat menyampaikan rasa syukur atas keberadaan pangan. Aspek perayaan pangan ini dirayakan dengan menghentikan aktivitas pertanian selama sehari, seperti dilarang menumbuk padi, menggiling beras, dan sebagainya. Hari ini peralatan pertanian, seperti tengala, cangkul, lampit, dan lain-lain disucikan dengan sesaji dan doa-doa serta widhi widana dipusatkan pada persembahyangan di pulu, lumbung atau tempat-tempat penyimpanan padi dan beras.
Soma Ribek, bagi kalangan petani, adalah semacam Hari Pangan. Yang dipuja adalah Sang Hyang Tri Pramana, yaitu Dewi Sri, Bhatara Sadhana, dan Dewi Saraswati dengan menghaturkan upakara di lumbung dan di pulu (gentong beras). Banten atau sesaji yang dihaturkan adalah nyahnyah, gringsing, geti-geti, pisang mas, dan wangi-wangian, tanda syukur atas waranugraha berupa amertha (makanan) dan kesuburan pertanian. Pada hari Soma Ribek, selain pantang untuk menumbuk padi dan serta aktivitas produksi pertanian lainnya, dilarang melakukan jual beli padi dan beras.
Keesokan harinya dilanjutkan dengan perayaan Sabuh Mas.
Apa itu Sabuh Mas?
Sehari setelah Soma Ribek adalah Sabuh Mas. Jatuh pada hari Anggara wara Wage uku Sinta merupakan Pesucian Sang Hyang Mahadewa dengan melimpahkan restunya pada “raja berana”, semua aset perhiasan berharga seperti segala perhiasan emas, perak, permata, manik-manik dan sebagainya. Benda-benda berharga ini dikumpulkan dan disucikan dengan upacara yadnya/widhi widhana. Bagi umat Hindu Bali hari ini semacam perayaan Hari Aset Berharga.
Hari Raya Pagerwesi
Setelah Soma Ribek, Sabun Mas, datanglah Hari Raya Pagerwesi. Lidah orang Buleleng kadang menyingkatnya jadi Pagorsi atau Pegorsi.
Lontar Sundarigama menyebutkan: “Budha Kliwon Shinta ngaran Pagerwesi payogan Sang Hyang Pramesti Guru kairing ring watek Dewata Nawa Sanga ngawerdhiaken sarwatumitah sarwatumuwuh ring bhuana kabeh”. Artinya, Rabu Kliwon Shinta disebut Pagerwesi sebagai pemujaan Sang Hyang Pramesti Guru yang diiringi oleh Dewata Nawa Sanga (sembilan dewa) untuk mengembangkan segala yang lahir dan segala yang tumbuh di seluruh dunia.
Lontar ini juga mengamanatkan para sulinggih untuk melakukan puja khusus.
“Sang Purohita ngarga apasang lingga sapakramaning ngarcana paduka Prameswara. Tengahiwengi yoga samadhi ana labaan ring Sang Panca Maha Bhuta, sewarna anut urip gelarakena ring natar sanggah”.
Artinya, Sang Pendeta hendaknya ngarga dan mapasang lingga sebagaimana layaknya memuja Sang Hyang Prameswara (Pramesti Guru). Tengah malam melakukan yoga samadhi, ada labaam (persembahan) untuk Sang Panca Maha Bhuta, segehan (terbuat dari nasi) lima warga menurut uripnya dan disampaikan di halaman sanggah (tempat persembahyangan).
Pendeta diminta untuk melakukan upacara ngarga dan mapasang lingga. Tengah malam umat dianjurkan untuk melakukan yoga-samadhi secara khusus. Banten utama bagi sulinggih adalah Sesayut Panca Lingga, sedangkan perlengkapannya Daksina, Suci Pras Penyeneng dan Banten Penek.
Pagerwesi, jika dilihat dari isi lontar ini, adalah hari puja para sulinggih, namun demikian umat diwajibkan ikut berdoa dan puja. Banten Pagerwesi untuk umat umum (bukan pandita atau sulinggih) adalah natab Sesayut Pageh Urip, Prayascita, Dapetan, dilengkapi Daksina, Canang dan Sodaan.
Pada puja atau persembahyangan Pagerwesi yang membedakan banten Sulinggih dan umat biasa adalah banten upacara ngarga dan mapasang lingga (peneguhan dan pengukuhan diri sebagai titik dari lingga dan hakikat Hyang Siwa) berupa banten Sesayut Panca Lingga untuk perlengkapan puja yang dilakukan pendeta, sementara untuk umat umumnya adalah upacara peneguhan diri berupa Sesayut Pageh Urip (Sesaji Pagar Jiwa).
Selamat merayakan Pagerwesi, selamat mengupayakan peneguhan lahir batin. Selamat merayakan ritual pagar jiwa…. (T)