MENARIK untuk menelisik debat kandidat calon gubernur DKI Jakarta 2017-2022 lebih dalam. Yang mereka katakan sesungguhnya menggambarkan isi kepala, rekam jejak, dan mungkin juga pembenaran tentang rentetan masa lalu negatif masing-masing.
Namun, apapun itu, faktanya mereka sedang berjualan retorika. Entah retorika yang kelak akan terlaksana, ataupun hanya bualan yang tidak berujung. Kembali ke pepatah kuno, waktu. Iya, hanya waktu yang bisa menjawab muara dari semua retorika pada malam debat itu.
Berjualan untuk mendapat simpati pemilih. Layaknya pedagang di toko elektronik, tidak jarang menawarkan barang yang sesungguhnya tidak mereka miliki. Dengan harapan pembeli akan memilih barang lain jika tujuan utama tidak ada. Yang penting pembeli datang dulu. Ini terjadi karena persaingan pasar yang kian ketat. Pun yang terjadi pada debat yang disiarkan TV nasional, 13 Januari 2017, malam itu. Mirip.
Saya mulai dengan Agus. Agus, meskipun pendatang baru di dunia yang katanya licik ini, memerlihatkan kualitasnya sebagai salah satu mantan prajurit terbaik TNI. Bagi saya, dia mampu menjelaskan program dengan cukup baik walaupun pada awalnya terkesan cukup grogi. Juga sedikit malu. Tertangkap kamera beberapa kali Agus memperbaiki bagian bawah baju hitamnya. Gestur malu.
Gayanya mirip ayahnya. Gerakan tangan. Hanya saja pada beberapa segmen, Agus terkesan terburu-buru. Wajar saja, mungkin karena ini debat pertamanya. Namun saya salut, gaya bicara sembari tersenyum, itu susah dimiliki orang. Selain itu, mungkin juga dia ingin memerlihatkan tiga gelar doktornya dengan beberapa kali menggunakan istilah dengan bahasa Inggris. Jumlah pastinya saya lupa, yang jelas ada beberapa.
Sekarang pasangannya Agus, Silvy. Awalnya saya berpikir dia di sana hanya menemani Agus duduk, karena cuma Agus yang menjawab pertanyaan Ira Koesno. Waktu berlanjut, segmen berganti, Silvy pun berdiri dan berbicara. Gaya bicaranya lamban, ciri khas orator wanita. Seperti Megawati dan Ibu pasangan calon gubernurnya. Tentu dalam hal ini jangan disamakan dengan Najwa Shihab. Nanti jadi tidak sebanding.
Menurut saya dia berbicara sambil berpikir, belum berbicara mengalir. Mungkin berusaha mengimbangi Agus yang berapi-api. Silvy mencoba tenang, namun berlebihan. Penggunaan waktunya menjadi tidak efisien sehingga banyak pertanyaan yang tidak menemukan jawaban. Bahkan Anies sempat menyerang dengan kalimat “Jawaban Ibu menarik, namun tidak nyambung.”
Ahok-Djarot. Di awal saya melihat seperti bukan Ahok yang berdebat. Seperti menahan diri. Ada yang coba dia tahan, mungkin luapan emosinya. Ya, selama ini dia terkenal emosional. Hal ini mudah kentara karena kebiasaan orang sulit diubah. Sebelum kasus Pulau Seribu tentunya. Namun, Ahok tetap Ahok. Dia santai. Berbicara teknis. Tentu, menyampaikan yang sudah dia kerjakan. Ini keunggulan petahana. Di saat calon lain masih berbicara, dia sudah bekerja. Sekaligus menjadi kelemahan utama. Menjadi ladang serang calon lain.
Di tengah perjalanan debat, Ahok mulai menjadi Ahok. Seperti mesin diesel yang mulai panas. Mulai menyerang. Menyerang kanan-kiri. Dia menerapkan prinsip pertahanan terbaik itu menyerang. Mungkin karena sebelumnya dia diserang dari kanan-kiri pula. Dalam hal ini saya melihat Ahok belajar. Belajar menjadi pribadi yang lebih menahan diri.
Djarot juga tenang. Pun berbicara teknis. Wajar saja, dia mantan walikota. Hanya saja Djarot memang begitu sejak dulu. Tidak terkesan menahan diri seperti Ahok. Djarot melakukan blunder pada segmen ke-2. Dia seharusnya memberikan tanggapan, mengkritisi, atau mengadu program, bukan bertanya.
Bagi saya, itu cukup membuang kesempatan. Menyebabkan keunggulan programnya tidak muncul. Di situ Djarot keliru. Ini seharusnya dapat menjadi bahan serangan balik bagi pasangan calon lain. Tetapi Djarot patut bersyukur, lawannya tidak membahas hal tersebut lebih dalam. Hanya Agus yang sedikit menyindir.
Sekarang Anies-Sandi. Anies tidak asing bagi saya. Gaya bicaranya khas, gesturnya tenang. Pemilihan dan permainan diksi yang handal. Melahirkan kata-kata yang enak di telinga. Contoh: kami tidak memerangi orang miskin, kami memerangi kemiskinan. Permainan diksinya bermakna.
Itu memang keunggulan Anies dari dua pasangan lain. Tata bahasa terstruktur, khas akademisi. Wajar, dia mantan rektor. Dari sudut pandang retorika, saya menempatkan Anies di urutan pertama. Sayangnya, hal itu juga menjadi ladang serang. Terutama oleh Ahok. Terlalu teoritis bagi Ahok. Ciri khas dosen di kampus, tambah Ahok
Sandi menjadi peserta debat yang paling aman kemarin malam menurut saya. Datar saja. Sebagai pendatang baru, seperti Agus, dia dapat dikatakan cukup sukses untuk debat kemarin malam. Jawabannya cukup mengena. Pembawaannya santai. Tidak ingin kalah saing, dia sempat menyerang Djarot saat membahas topik lapangan pekerjaan dan kewirausahaan. Tentu dia cukup percaya diri, karena dia berlatar belakang pelaku usaha. Sandi dapat mengimbangi Anies. Anies akademisi, Sandi praktisi.
Kalau diperhatikan, ketiga pasangan calon memiliki gestur dan kesibukan berbeda ketika mendengarkan pasangan calon lain berbicara. Agus-Silvy sibuk berdiskusi dan menulis beberapa catatan kecil. Entah untuk memersiapkan jawaban atau sanggahan. Mungkin juga menyiapkan beberapa hal yang harus disampaikan. Yang jelas, mereka berdiskusi serius sembari memainkan beberapa kertas kecil yang saya duga isinya kata kunci.
Ahok-Djarot lebih asik memainkan ponsel pintar di atas meja mereka. Mungkin untuk akses internet mencari data sebagai bahan bicara. Sembari tertawa kecil. Dugaan saya, mereka menertawai hal yang dibicarakan pasangan calon lain yang mereka sudah lakukan atau sudah mereka dapatkan sanggahannya. Mereka terlihat santai, beberapa kali Djarot berbisik ke Ahok. Mengesankan mereka cukup dekat.
Hal berbeda terjadi pada Anies-Sandi. Pasangan ini serius mendengarkan jawaban pasangan calon lain. Beberapa kali Sandi tertangkap kamera menggelengkan kepala, tanda ketidaksetujuan dengan jawaban calon lain. Anies memerhatikan dengan serius, sembari memainkan bibir. Ya, ini ciri khas Anies. Simpulannya, dalam hal ini bagi saya Ahok-Djarot paling santai mengikuti debat.
Bukan debat kalau tidak saling serang. Bahkan pada bagian ini, debat akan menarik bagi para pemirsanya. Hal ini pun terjadi pada malam debat itu. Seru. Serangannya halus, menyindir, tentunya tentang kekurangan masa lalu. Bagi saya manusiawi, karena manusia tidak bisa mengritik masa depan.
Bantuan langsung sementara yang disampaikan Agus menjadi bahan pertama. Ahok menyampaikan bahwa program itu kurang mendidik. Dia pun berargumen besaran Rp. 400.000 per bulan kalau mau diberikan besarannya terlalu kecil.
“Kami memberikan lebih dari itu, hanya saja non-tunai”, kata Ahok.
Agus menepis, bahwa program ini amanat konstitusi. Pemerintah membantu rakyat miskin dan sifatnya hanya sementara.
Beberapa saat setelahnya, Anies mengambil momentum menyerang karena mendapatkan kesempatan menjawab paling akhir. Bagi Anies, kalau Agus menyiapkan ikannya, Ahok menyiapkan kailnya, Anies akan menyiapkan kolamnya. Pemikiran yang lebih luas karena kail tidak akan berguna kalau tidak ada ikan, dan ikan tidak akan hidup tanpa kolam. Anies membuat kolamnya. Katanya.
Tentang penggusuran. Ahok konsisten melakukan relokasi bagi penduduk yang tinggal di pinggir sungai untuk normalisasi sungai. Begitu pula yang tinggal di kolong jembatan. “Akan disiapkan rumah susun dulu, baru kemudian direlokasi”, kata Ahok.
Jawaban itu juga digunakan sebagai pertahanan oleh Ahok dari serangan dua pasangan calon lain yang mengangapnya tidak manusiawi. Anies agak malu-malu. Tidak tegas menyampaikan pro penggusuran atau tidak. Dia hanya menyatakan akan ada dialog dan musyawarah dengan warga. Hal ini berbahaya, jawaban Anies dalam hal ini abu-abu.
Kalau Agus, jelas, kontra penggusuran. Bagi dia tidak manusiawi menggusur penduduk yang sudah beberapa garis keturunan tinggal di tempat itu. Jawaban ini langsung menjadi ladang serang empuk oleh Ahok. Dia bilang akan jauh lebih tidak manusiawi ketika membiarkan rakyat salah (tinggal di tempat yang tidak semestinya) hanya karena kebutuhan pilkada.
Ada lagi, Anies mengungkit kontrak politik Ahok lima tahun lalu yang baginya janji semu, bahkan palsu. Ya, walaupun saat itu bukan Ahok-Djarot tetapi Jokowi-Ahok. Ahok menyerang balik dengan memermasalahkan penolakan kurikulum anti-narkoba. Ketika itu, Anies sebagai mendikbud. Padahal dalam debat itu, Anies dengan tegas menyatakan perang melawan narkoba.
Agus dan Anies juga secara bersama menyerang Ahok tentang kalahnya Pemda DKI Jakarta oleh masyarakat Bukit Duri di PTUN yang mengindikasikan Pemda DKI Jakarta (di bawah Ahok) melanggar hukum dalam melakukan penggusuran/relokasi.
Di sisi lain, saya membaca sesuatu yang janggal pada sesi terakhir debat itu. Ketika Agus dan Anies dengan tegas menyatakan bahwa mereka akan bekerja tuntas selama 5 tahun di Jakarta apabila terpilih sebagai gubernur dan tidak akan maju pada pemilihan presiden-wakil presiden 2019, Ahok justru diam. Dia memilih memberikan Djarot menjawab.
Walau Djarot menggunakan kata ganti “kami” (dia dan Ahok) siap bekerja tuntas, saya menduga Ahok sengaja melakukannya. Ini tetap misterius. Padahal bagi saya, statemen itu penting untuk meyakinkan pemilih, namun kenapa Ahok memberikan kesempatan pada Djarot untuk menjawabnya. Kita tunggu saja di 2019. (T)