SEBAGAI jurnalis, saya sering bertemu dan berkenalan dengan banyak orang – dengan latar ideologi, agama, etnis, atau kebiasaan yang bermacam-macam.
Saat bertemu penyamun, tukang bully, presiden, makelar kasus, pencopet, provokator, aktivis LSM, menteri, politikus, polisi, hingga romo atau ulama, saya lebih banyak mengajukan berbagai pertanyaan – dan mendengarkan, tentu saja.
Dari pertanyaan itu lahirlah jawaban. Dengan kesadaran, informasi itu kemudian saya bagikan, dengan titik tolak akal sehat yang telah disiapkan sebelumnya.
Selesai? Tidak! Saya sebagai pribadi pun belajar langsung dari wawancara dan pertemuan itu. Semua itu bisa berarti makin meneguhkan sikap, kritik diri, dan bahkan semacam desakan kuat agar saya berubah.
Desakan agar saya berubah, begitulah. Agak klise, memang. Tapi itulah yang terjadi, ketika saya pada akhirnya mesti bersikap terbuka terhadap dunia. Pikiran mesti dibuka selebar-lebarnya.
Dan, akhirnya, puluhan tahun bergumul dengan fakta yang tidak pernah bisa dipersepsikan secara utuh, membuat pijakan lama – yang pernah ngendon di otakku – menjadi mirip baju yang kekecilan.
Kenyataan yang terus berubah, dan nyaris hadir terus-menerus, akhirnya menyodorkan sebuah cara pandang baru.
Dan, cara pandang lama, yang tidak lagi meyakinkan, saya gudangkan – untuk sementara.
Dalam kebaharuan yang terus-menerus, membuat saya tidak lagi memiliki cara pandang tunggal dalam melihat kenyataan. Atau dalam kalimat sederhana: Kesepakatan-kesepakatan sesaat perlu dibuat – tetapi niscaya pula untuk ditinjau ulang.
Ditempa dalam cara pandang seperti itu, dan logika jurnalistik purba yang meminta awaknya untuk setia berada di perbatasan (tapi percayalah, batas itu sering saya loncati ketika harus bersikap menyikapi ketertindasan terhadap orang-orang yang tidak mampu bersuara), tidak berarti semuanya kemudian mulus-mulus saja.
Hampir pasti ada ketegangan, utamanya ketika disadari ada hasrat, tubuh, dan sejarah pribadi, yang terus berkelindan dengan – apa yang disebut – akal sehat. Namun pada saat bersamaan, akal sehat – yang terus dilatih dan ditempa – bekerja keras untuk meyakinkan hal-hal absurd itu tadi.
Dalam bingkai seperti inilah, hari Selasa, 9 Agustus 2016, sebagai jurnalis, saya menjadi enteng hati, lunak, dan kadang-kadang mata tiba-tiba basah (tetapi kemudian otak bekerja untuk berkata ‘hapus air matamu’), ketika meliput kerja keras anak-anak muda yang gelisah melihat masa depan praktek hubungan antar umat beragama.
Melalui Yayasan ‘Sabang Merauke’, mereka – dengan caranya sendiri – mengumpulkan belasan remaja tanggung di berbagai pelosok Indonesia untuk mengalami dan merasakan langsung praktek toleransi.
“… Karena toleransi tidak bisa hanya diajarkan, toleransi harus dialami dan dirasakan,” begitulah frasa yang sering saya dengar dari acara tersebut.
Dan pada Selasa itu, saya mengikuti sepenggal perjalanan mereka mendatangi sebuah kuil Sikh, Gereja Katolik dan Masjid, sekaligus belajar dari para pemimpinnya masing-masing.
Walaupun tetap dibayangi skeptisme (“bukan wartawan, kalau kau tidak skeptis,” kalimat ini terus bersemayam di otakku, sejak belajar jadi jurnalis), dan terus bertanya-tanya tentang efektivitas acara ini, seperti halnya yang sudah-sudah, saya pun pada akhirnya mencoba mereguk apa-apa yang terjadi di hadapan saya.
Dan, siang itu, ditingkahi bunyi lonceng Gereja Katedral dan sayup-sayup suara orang mengaji dari loudspeaker Masjid Istiqlal, saya berkenalan, mengobrol dan mewawancarai Romo Stanislaus Lirmanjaya Sastra.
Dalam wawancara, Romo masih percaya “harapan baik” dengan adanya program pertukaran pelajar tersebut. Hal ini dia tekankan berulang-ulang ketika saya bertanya apa yang bisa diharapkan dari acara dua minggu ini ketika mereka pulang ke kampungnya dan disuguhi lagi praktek dan nilai-nilai yang tidak toleran.
“Belum lagi, suguhan dari media sosial yang banyak menyuguhkan postingan anti-toleran,” kataku agak menyela. Romo Jaya tetap meyakini hasil interaksi anak-anak tersebut dengan program ‘praktek toleransi’ itu akan membekas kuat.
Begitulah. Di luar itu, sebagai makhluk nostalgis, kami pun mengobrol ringan tentang latar kota masa kecil kami yang sama, yaitu kota Malang.
“Asal saya dari Donomulyo, Kabupaten Malang,” kata Romo Jaya. Rupanya, kami sama-sama tumbuh dan besar di Kota Malang, Jawa Timur.
“Podo Arema-e,” ujarku setengah kelakar. Kami tertawa, lalu muncullah cerita-cerita agak omong kosong tentang bakso, cwie mie Dempo (“Saya dulu di SMA Dempo,” ungkapnya), kemacetan dan segala tetek bengek kota itu.
Pagi hingga menjelang sore, saya dan Romo Jaya mengikuti program tersebut. Saya meliput, sementara Romo menjadi relawan. Kami bersama terjun langsung dalam peribadatan kaum Sikh di kuilnya, lalu semacam diskusi di Gereja Katedral dan terakhir tanya-jawab di ruangan dalam Masjid Istiqlal, Jakarta.
Usai acara, badan memang terasa letih, tetapi saya lantas memaklumi dan kemudian berpikir: bukankah jiwamu makin kaya setelah terlibat dalam acara tersebut. (T)