WANGSA, trah, soroh, atau apa pun namanya, adalah identitas yang meringkas individu ke dalam rumusan-rumusan yang berdimensi genetis, latar sejarah, profesi, kadang wilayah geografis.
Bicara manusia Hindu-Bali, belum lengkap tanpa menyertakan pergumulan sengit sebagian dari mereka dalam upaya menemukan rumusan-rumusan tadi. Dalam terminologi lokal dikenal sebagai sesulur, kawitan atau silsilah.
***
Perangkat acuannya bermacam-macam. Dari babad, isi lontar, prasasti, simbol-simbol tertentu (Seluang, simbol rasa hormat kepada jejak Mpu Kuturan, contohnya), wangsit hingga petunjuk para wikan yang dianggap memiliki kompetensi di bidang ini.
Menapaktilasi sejarah yang hulunya jauh, ratusan bahkan mungkin ribuan tahun lalu, selain panduan referensi – tulis maupun lisan – tafsir serta asumsi-asumsi turut berperan. Pada titik ini orang butuh menyeimbangkan antara sisi rasionalitas ilmu pengetahuan dengan endapan pengalaman masa lalu berupa warisan genealogis yang kita terima turun temurun. Orang harus ‘bertempur’, selain dengan dirinya, juga dengan apa yang berasal dari luar dirinya, yakni realitas-realitas berbeda akibat penggunaan variable yang berbeda.
Kemungkinan ‘Salah Peta’
Dalam kosmologi kepercayaan masyarakat Hindu-Bali, persoalan silsilah ibarat keping penting sebuah puzzle. Keping berisi jejak-jejak keberadaan para leluhur yang nantinya merujuk tindakan pengkategorian tertentu. Katakanlah, pura sungsungan, pedarman, petirtan atau sarana-sarana yadnya (misalnya kajang pada waktu pelaksanaan upacara pitra yadnya, ngaben atau nge-yehin).
Yang rumit, belum tentu setiap variable berujung kepada hasil yang sama. Tidak jarang kita jumpai sebuah keluarga yang merasa tidak kunjung ketemu, yang harus melalui jalur berliku dan dibuat pangling oleh peta atau lantaran beragamnya panduan yang dijadikan rujukan. Banyak terjadi, misalnya, sebuah lontar menyebut klan keluarga A berasal dari alur purusa wangsa X. Kali lain, melalui referensi berbeda, didapat temuan berbeda pula bahwa klan keluarga A tadi berasal dari soroh Y atau Z.
Sebagai penawar, semacam jalan tengah, orang-orang tua punya petuah bijak, “napi je kacunduk, nike sampun adungin sareng sami.” Dengannya, benar-salah, tepat-tidak tepat bukan lagi soal yang paling utama.
Sebuah Tawaran Metoda
Saking samarnya cabang dan reranting sebuah pohon silsilah, ilmu pengetahuan modern pun (seperti uji DNA) tidak cukup gamblang mengurai riwayat genetis seseorang. Terlebih sesudah mengalami percampuran dengan anasir gen lain selama proses regenerasi dan evolusi berlangsung.
Kendatipun penelusuran silsilah klan keluarga di Bali ‘disederhanakan’ hanya berdasarkan alur purusa, namun pesan sesungguhnya adalah : tiap individu sejatinya terhubung – setidaknya sangat mungkin terhubung – dengan individu lain melalui pertautan genetis tak terduga yang tidak terpikirkan sebelumnya.
Pertalian genetis sering memuat kejutan. Nah, berikut, saya kutip utuh salah satu tulisan Dahlan Iskan di kolom regular, “Hope”, Jawa Pos 15 April 2015, judulnya : Ternyata Ada Darah Lim, Tan, Sudjana, dan Mojahed Garoot. Masih dalam konteks penelusuran silsilah. Hanya berbeda format, tepatnya memakai format sains. Tidak apa-apa, minimal sebagai pembanding. Selamat membaca.
***
Ternyata Ada Darah Lim, Tan, Sudjana, dan Mojahed Garoot
Inilah hasil tes DNA saya. Tiga hari lalu saya menerima hasil tes yang dilakukan tiga minggu sebelumnya di Amerika. Sebagian besar hasil tes itu sesuai dengan perkiraan saya. Sebagian lagi berupa kejutan. Ternyata benar, saya adalah orang Jawa. Artinya bukan orang dari benua lain. Hanya memang tidak jelas-jelas menyebut Jawa. Dalam pengelompokan DNA itu, darah Jawa dimasukkan dalam kelompok Asia Tenggara.
Yang juga tidak terlalu mengejutkan adalah saya memiliki darah Tionghoa. Baik dari jalur bapak, lebih-lebih dari jalur ibu. Hanya, persentasenya kecil. Kurang dari 2 persen. Menurut hasil tes DNA itu, dari jalur ibu, saya punya darah marga Lim. Sedangkan dari jalur bapak, saya memiliki darah marga Tan. Atau dalam bahasa Mandarin dikenal dengan marga Chen.
Persilangan dengan darah Tionghoa itu, masih menurut hasil tes DNA tersebut, terjadi sekitar 10.000 tahun lalu. Saya memang masih berusaha tahu darah Asia Tenggara saya itu aslinya dari mana. Jawa? Sunda? Kamboja? Vietnam? Belum ada perinciannya. Rupanya DNA Asia Tenggara itu masuk dalam sub-besar tersendiri.
Sebagaimana sub-besar Asia Timur: Jepang, Korea, dan Tiongkok. DNA Korea dan Jepang adalah perincian dari sub-besar Tionghoa. Hanya, penyebarannya ternyata dari Tiongkok ke Korea dulu, baru ke Jepang. Bukan ke Jepang dulu, baru Korea.
Sub-besar Asia Tenggara belum terperinci sampai ke subkecil seperti itu. Dengan demikian, masih terbuka perdebatan dari mana asal usul sub-besar Asia Tenggara itu. Apakah orang Jawa yang dari Malaysia, Vietnam, dan Kamboja atau orang Malaysia, Vietnam, dan Kamboja yang dari Jawa. Harus diingat satu riwayat bahwa Asia Tenggara itu dulunya satu daratan. Tidak ada laut yang memisahkannya. Bahkan, bukankah buku Atlantis, The Lost Continent menyebutkan, Asia Tenggara itu dulu sebuah benua tersendiri yang sangat makmur? Lalu benua itu lenyap akibat ledakan-ledakan gunung berapi yang mahadahsyat. Juga oleh tsunami-tsunami besar masa lalu.
Dari peta DNA saya itu, terutama dari jalur bapak, peta Jawa di asal usul darah saya terlihat lebih kental daripada peta wilayah lain di Asia Tenggara. Itu saya tafsirkan sebagai Jawa lebih tua daripada wilayah lain. Tentu Jawa pada saat itu bukan Jawa sebagai pulau tersendiri. Sedangkan menurut buku ”benua yang hilang”, pusat Benua Atlantis yang lenyap itu ada di tanah Sunda. Sangat mungkin yang dimaksud Sunda zaman itu adalah Jawa atau yang dimaksud Jawa saat itu adalah Sunda.
Hasil tes itu memang menyertakan peta-peta asal usul penyebaran penduduk. Ada warna-warni gradasi di peta itu yang menunjukkan arah penyebaran DNA. Termasuk arah DNA saya dari mana. Baik dari jalur ibu maupun bapak.
Dunia memang berubah drastis akibat bencana alam. Satu letusan Gunung Tambora saja sudah bisa membuat Amerika tidak mengalami musim panas di tahun itu. Rakyat Inggris kelaparan jadi peminta-minta. Panen apa pun gagal total. Kehancuran lebih hebat di wilayah yang lebih dekat seperti India dan Tiongkok.
Tambora (di Sumbawa) meletus pada 1815. April ini ulang tahunnya yang ke-200. Baru 200 tahun. Tiga bulan lalu saya ke Tambora melihat lahan yang akan ditanami kaliandra. Awalnya tinggi gunung itu 14.000 kaki. Setelah meletus tinggal 9.000 kaki. Bayangkan betapa hebatnya letusan Gunung Toba, entah tahun berapa, yang sampai membuat Gunung Toba hilang sama sekali. Bahkan meninggalkan sebuah danau yang dalamnya sampai 1.000 meter! Itukah yang membuat Benua Atlantis hancur? Yang membuat Asia Tenggara menjadi pulau-pulau Nusantara?
Yang juga masih belum terjawab adalah Taiwan. Menurut penjelasan DNA di situ, suku asli Taiwan ternyata sangat tua dan menyebar ke mana-mana. Termasuk ke Jepang dan Asia Tenggara. Sangat banyak bahasa asli Taiwan yang mirip dengan bahasa Batak.
Kejutan terjadi saat saya melihat hasil tes berikutnya. Saya sampai tertawa ngakak sendirian di depan komputer. Hasil tes itu memang dikirim melalui e-mail yang hanya bisa dibuka setelah memasukkan password. Saya tidak siap dengan kejutan ini. Ternyata, darah saya kecampuran darah suku Indian di Amerika. Atau yang sekarang disebut dengan ras American-Indian. Itu terjadi sekitar 50.000 tahun yang lalu. Masih sulit mencari literatur bagaimana bisa darah asal Asia tercampur dengan darah suku Indian.
Satu lagi yang membuat saya kaget. Ada darah Neanderthal di tubuh saya. Perannya pun lumayan : 2,9 persen. Persentase itu sama besar dengan yang dimiliki teman saya yang orang Amerika kulit putih. Teman saya itu, yang sudah lebih dulu melakukan tes DNA, darahnya campuran antara Jerman dan Inggris dalam persentase yang seimbang. Lalu ada darah Indian 5 persen dan Neanderthal 2,9 persen. ”Kita ternyata masih bersaudara,” teriaknya sambil tertawa. ”Sama-sama punya darah Indian dan Neanderthal,” tambahnya.
Neanderthal adalah makhluk mirip manusia yang hidup di dalam gua-gua yang ditemukan lebih dari 100.000 tahun lalu di dekat Düsseldorf, Jerman. Untuk melihat hasil tes ini, terakhir saya masuk ke ”menu” hubungan keluarga. Saya sudah menduga tidak akan banyak nama dari orang masa lalu yang bisa ditemukan masih punya hubungan keluarga dengan saya. Ini karena penelitian DNA pada tokoh-tokoh masa lalu di Asia masih belum banyak dilakukan.
Kalau misalnya makam-makam para kaisar Tiongkok diteliti untuk diambil DNA-nya, tentu akan banyak kejutan. Akan diketahui siapa saja yang masih keturunan kaisar A atau kaisar B. Apalagi, para kaisar itu dikenal punya banyak selir. Penelitian tokoh-tokoh masa lalu baru menyangkut ”abad ke berapa” atau ”kebudayaan”-nya seperti apa. Belum sampai DNA.
Sebagian mungkin ada masalah keagamaan. Misalnya, apakah mungkin makam nabi diteliti untuk diambil secuil tulang atau bagian apa pun untuk diambil DNA baginda. Ini akan bisa menjelaskan siapa saja yang sebenar-benarnya ahlul-bait. Demikian juga rasanya, tidak mungkin mendapat izin meneliti DNA para ulama besar di zaman dulu.
Ternyata betul. Hanya enam nama yang disebut punya hubungan keluarga dengan saya. Itu pun bukan nama-nama orang terkenal. Ada nama Sudjana, ada nama Muliawati, ada nama Tionghoa, Tan Teng Teng, ada nama Korea, dan ada nama Mojahed Garoot dari Arab Saudi. Saya sungguh terhibur oleh kejutan-kejutan hasil tes DNA saya itu.
***
Tulisan tadi saya harap cukup menjadikan kita tercenung. Kemudian pelan-pelan menyepakati bahwa, sekali lagi, kita semua terhubung. Kalaupun tidak dalam pertalian genetis, paling tidak dalam dimensi kemanusiaan. (T)