TELUK BENOA
-kepada investor serakah-
jika suatu saat aku mati
aku tak perlu kuburan
bakar mayatku dan tebar abuku
di laut tempat aku bisa bercanda
dengan ikan-ikan cahaya,
kepiting, ganggang, ubur-ubur, hiu
dan segala penghuni niskala
namun, jika kau paksa mengubur laut
daerah istirahku nanti
jika kau paksa bikin pulau buatan
bersiaplah aku akan terus gentayangan
di saku kemejamu, di meja kasinomu,
di apartemen, di hotel, di restaurant,
di kolam renang, di villa,
di segala tetek bengek yang kau puja
puahhh…aku akan terus meniupkan mantra
dari jiwa-jiwa nelayan dan pelaut teraniaya
dari jiwa-jiwa kaum jelata yang kau tipu
dari jiwa-jiwa pasrah ibu bumi
aku akan menghisap ubun-ubunmu
dari semestaku
maka, dengan mudah pula bagiku
menenggelamkan daratan buatanmu
sekali hisap hancur pesta poramu
musnah serakahmu
hutan-hutan bakau
berkerumun dalam jiwaku
dan kau hanya sepercik debu
yang sekejab sirna
disapu waktu
(2015)
AGUSTUS BELUM PUPUS
-untuk: penyair wayan arthawa-
agustus belum pupus
ketika kau bergegas
meninggalkan kata-kata getas
di pintu pagi yang cemas
tak ada tanda
di pelepah pohon lontar
di mana dulu para leluhur
menakik namamu
mengutuk takdirmu
jadi sang kawi
betapa fana tatap mata
gadis-gadis jelita taman Tirtagangga
betapa jelata ibu-ibu peladang salak
ketika kau terharu menyadap sajak
hingga duri jadi rindu
hingga rindu jadi rinai
di setapak jalan Telaga Tista
tak ada tanda mengurai airmata
cuaca tiba-tiba buta
kata demi kata yang kau tempa
menyerpih di keranjang sayur
ibu pasar Amlapura
agustus belum pupus
aroma tuak mengaliri nadiku
subuh makin rapuh
dalam mabuk
kubaca isyarat itu
hanya kita
dan kata
yang paham
makna kehilangan
(2012)
MALAM MABUK DI UBUD
kuziarahi lagi kau
dengan arak ramuan
mari bersulang
untuk kenang
demi kenang
dan kekonyolan kita
hujan pun henti
dalam kibasan tanganku
malam dan lelampu merkuri
gemetar di ujung jari
di depan Puri Ubud
celoteh berbaur sisa-sisa puisi basah
wajah demi wajah membasuh jiwaku
(masihkah kau kenang namaku?)
di jalan pulang kulihat Tjokot,
si pematung bungkuk itu
tertatih memanggul bongkah kayu:
“akan kupahat tubuhmu subuh nanti
jika bertemu Lempad, sampaikan salamku
belum usai dia gurat garis takdirku…”
aroma arak,
lirih gerimis,
malam igau
wahai, pejalan mabuk
di Ubud tak kau temukan dirimu
(2012)
KOTA YANG DIKUTUK PEMABUK
inilah kota yang dikutuk para pemabuk
ketika kau menziarahi nisan-nisan puisi
yang berlumut di alun-alun tua
matamu menyalakan lampu-lampu merkuri
papan-papan iklan menyihir malam-malam gilamu
inilah kota di mana tapak kakimu akan lunas
di ujung senja penghabisan
diterpa bunyi klakson bertubi-tubi
dan kau pun sekejap lenyap di tikungan itu
tak ada lagi yang mengenali jejakmu
inilah kota ketika suaramu makin sepi
di tengah riuh tawar menawar
di ruang-ruang kantor pemerintahan
tak peduli bayang-bayang linglung kaum jelata
makin kusam
makin melata
makin menggema
di aspal-aspal jalan
(2012)
UBUD, HANYA KELUH DAN RIUH
malam makin mabuk
seorang turis separuh baya
berceloteh tentang Rsi Markandeya
dan masa silam yang hanyut
di sungai Campuhan
aku menenggak arak sembari membayangkan
cahaya kunang-kunang di pematang sawah
turis itu terus berkicau tentang Bali
dan cukong-cukong pariwisata
di Ubud yang sisa
hanya keluh
dan riuh
Lempad dan Tjokot telah lama mati
gemuruh tarian kecak perlahan sirna
ditelan bingar musik kafe
dan cukong-cukong pariwisata
beramai-ramai memberaki Bali
celoteh turis makin berdengung
seperti kerumunan tawon
aku pergi menjauh
duduk di bawah pohon jepun
berteman arak dan sepi
bercengkerama dengan diri
di pelataran pura,
seorang kakek tua menari sendiri
tongkat di tangannya
menunjuk-nunjuk ke arahku
malam makin kelam
langit mencurahkan gerimis
seperti tirta suci
memerciki ubun-ubunku..
(2014)