GALUNGAN kembali tiba. Sebagian orang mungkin akan bersemangat mendengarnya karena merupakan hari raya besar yang ditunggu-tunggu. Sembahyang, mungkin hanya satu alasan. Ada banyak alasan lain kenapa Galungan ditunggu-tunggu.
Orang bilang “lekad di galungane“. Artinya, orang yang lahir di saat semuanya tersedia baik, makanan yang banyak,jajanan melimpah, dan suasana yang ramai penuh rasa gembira serta bahagia. Orang yang kerap dibilang lekad di galungane adalah orang yang lahir ketika usaha orang tuanya sedang jaya, atau orang tuanya sedang menjadi pejabat tinggi. Pokoknya orang yang lahir di keluarga sedang kaya-kayanya, tan kirang artha-berana.
Begitulah orang melukiskan betapa Galungan itu hari besar, hari berbahagia. Hari untuk merayakan kemenangan dharma melawan adharma. Dulu, pada zaman babi makan gedebong dan dagdag, menurut cerita pekak dan dadong, Galungan merupakan hari kemerdekaan dari kemelaratan. Satu hari merdeka, di tengah rentetan hari-hari lain yang penuh kemelaratan.
Bagaimana tidak. Dulu, hanya saat Galungan orang “terpaksa” makan daging, “terpaksa” berpakaian baru, “terpaksa” melancong-lancong ke objek wisata (meski objek wisatanya hanya berupa bendungan sungai di desa sebelah). Mereka hidup mewah dalam sehari, semiskin apa pun kondisi mereka.
Kini orang tak perlu menunggu Galungan untuk makan daging, beli pakaian baru, atau maplesiran ke objek wisata. Kini zaman babi makan konsentrat. Orang bisa makan apa saja, pakai baju apa saja, dan pergi ke mana saja, setiap hari.
Lalu di mana istimewanya Hari Galungan kini, selain tentu saja sembahyang bersama? Maceki atau main kartu ceki. Itulah jawaban bagi penggemar ceki. Karena, kita bisa makan mewah kapan saja dan berwisata kapan saja, tapi maceki tak bisa dilakukan kapan saja. Harus ada moment untuk berkumpul terlebih dahulu, baru bisa bermain ceki. Memang mau main ceki sendirian, atau bersama anak dan istri?
Sebagian orang tua atau muda-mudi zaman sekarang menunggu Galungan demi sebuah kegiatan yang boleh dibilang sudah mentradisi. Yakni maceki. Tiada Galungan tanpa maceki, kata sebagian orang. Apalagi, maceki kini sudah bisa dianggap olahraga. Sudah ada organisasi yang mengayomi, yakni Federasi Olahraga Rekreasi Masyarakat Indonesia (FORMI). Jika sudah sesuai prosedur, jangan takut lagi digrebek polisi.
Maceki, Hiburan Turun-Temurun
Meski maceki (dengan taruhan) melanggar undang-undang nasional, apakah maceki juga dianggap menodai Hari Raya Galungan dan upacara lain di Bali? Tak ada yang bisa menjawabnya dengan baik dan benar serta memuaskan.
Yang jelas, maceki adalah salah satu kegiatan menghibur yang biasa dilakukan orang pada saat magebagan (begadang di rumah duka), atau pada waktu luang dan berkumpul dengan keluarga dan kerabat. Jika orang tak kenal dengan hiburan lain, misalnya hiburan main golf, maka maceki bisa dianggap sebagai hiburan paling sederhana dan mudah dilakukan bersama teman-teman dekat.
Ceki atau cekian, di negara lain bisa disebut koa atau pei. Permainan kartu ini kegiatan yang biasa dilakukan suku kuno secara turun temurun. Dulunya bahkan sering dilakukan kaum wanita. Permainan ini berkembang di Malaysia, Singapura dan Indonesia. Permainan kartu ceki konon bersumber dari permainan kartu purba yang pernah dibuat di negara Cina kuno, bahkan disebut-sebut sebagai asalmula dari permaninan mahyong.
Di negara lain, permaian ceki mulai dikalahkan permainan lain yang lebih modern. Tapi di Indonesia, terutama di Bali, permainan ini makin populer saja. Permainan ini dilakukan berlima mengelilingi sebuah meja dengan duduk bersila. Masuknya permainan ceki ke Bali diduga dibawa oleh para pedagang Cina.
Ketika dikenalkan di Bali, permainan ini sangat digemari terutama oleh kaum bawah yang tak memiliki cara lain untuk menghibur diri. Selain itu, permainan ceki sangat mudah dilakukan karena orang-orang Bali memang lebih sering berkumpul bersama keluarga, kerabat dan warga lain dalam berbagai kegiatan, terutama kegiatan adat.
Dari yang Kecil hingga Turnamen Besar
Maceki biasa dilakukan dalam skala kecil. Skala rumah tangga. Ini tentu tak perlu lapor ke FORMI, ngabis-ngabisin energi. Kalau ketahuan polisi, maceki skala rumah tangga ini bisa digrebek. Urusannya bisa panjang dan melelahkan.
Maceki skala rumah tangga ini dilakukan di rumah masing-masing. Usai sembahyang, sebelum sejumlah anggota keluarga kembali ke perantauan, paman-keponakan, sepupu misan-mindon, kadang suami-istri, atau pekak-cucu, bergabung membentuk satu grup yang terdiri dari 5 orang. Siapkan kartu cekian atau sampyan, maka permainan dimulai. Di sini tujuannya tak melulu menang, melainkan sebagai ajang silahturahmi antaranggota keluarga.
Ada juga maceki dalam skala lebih besar. Sejumlah warga berkumpul di suatu tempat, lalu membuat sejumlah kelompok. Kadang permainan di satu tempat itu bisa terdiri dari lima kelompok atau lima meja. Jika pemainnya lebih manja, ada sejumlah orang menjadi pelayan, sebagai tukang kocok kartu sekaligus tukang belanja jika pemain kelaparan atau kehausan.
Dulu, permainan skala lebih besar itu biasa dilakukan di balai banjar, balai subak, atau di teras belakang sebuah warung. Kini, ketika perjudian diurus lebih serius karena tergolong tindak pidana (bahkan kadang dianggap setara dengan tindak pidana korupsi), permainan skala lebih besar ini dilakukan secara tersembunyi di tempat-tempat tertentu. Jika ketahuan polisi, ya, tetap saja digelandang ke sel tahanan. Tak peduli Galungan atau hari apa.
Kini, setelah ada FORMI, turnamen meceki sudah menjadi hal yang legal karena tanpa taruhan bisa masuk olahraga rekreasi. Turnamen ini banyak dilakukan saat hari raya, terutama Galungan. Biasanya turnamen ini diselenggarakan oleh muda-mudi untuk menggali dana di Hari Galungan atau Umanis Galungan karena di hari ini semua orang libur dan punya waktu untuk maceki sekaligus bertemu lebih lama dengan teman lama.
Ajang Hiburan dan Menggali Dana
Main ceki dalam turnamen memang paling asyik. Tak perlu cemas dicokok polisi. Karena prosedurnya sudah ada dan sudah dipatuhi oleh panitia. Apalagi sejatinya, permainan ini memang mengasyikan seperti permainan-permainan kartu di dunia lain, seperti kiu, foker, mahyong, dan sejenisnya. Asyik dimainkan sambil ngobrol kanan-kiri, dari topik yang ringan hingga yang berat.
Ada berbagai sistem dalam turnamen ceki. Ada sistem gugur dan sistem nilai. Dalam turnamen ceki sistem gugur jumlah peserta dibatasi kelipatan 5. Jika jumlah peserta 125, maka terdapat 25 kelompok. Hanya satu peserta dari satu kelompok yang berhak maju ke babak berikutnya.
Setelah satu pemain maju dari satu kelompok, maka akan terdapat 25 pemain yang berhak maju ke babak berikutnya, sementara 100 pemain lainnya gugur. Sebanyak 25 pemain itu dibagi lagi menjadi 5 kelompok. Nah, pemenang dari masing-masing kelompok itulah yang berhak masuk final yang bermain dalam satu meja. Dan setelah itu akan diperoleh satu pemenang saja.
Cara menentukan pemenang dalam satu meja adalah pemain pertama yang berhasil mengumpulkan tiga game (menang) sebanyak tiga kali. Jika, ngandang atau neris, dianggap memiliki dua game atau dua kemenangan.
Turnamen juga bisa dilakukan dengan sistem nilai. Pemenang ditentukan dengan nilai tertinggi yang dikumpulkan seorang peserta. Nilai dihitung dari setiap jenis kemenangan dalam satu game. Jika menang dengan ngandang, nilainya paling tinggi. Menang biasa dan menang dengan nyaga, nilai lebih rendah. Biasanya sistem ini dibatasi dengan waktu, satu jam, dua jam, tiga jam, atau lebih sesuatu aturan panitia.
Dan jangan heran, banyak desa yang hampir semua laki-laki dewasa, juga beberapa perempuan dewasa, bisa bermain ceki. Maka untuk mencari peserta 200 orang dalam satu desa bisa dengan sangat mudah. Tapi jangan pikir semuanya penjudi alias bebotoh. Sebagian besar hanya melakukannya untuk hiburan belaka. Salah satunya menghibur diri dan banyak yang main hanya dalam turnamen.
Dengan membayar uang pendaftaran Rp 100 ribu, jika beruntung bisa membawa pulang Rp 4 juta atau lebih. Panitia pun bisa mendapatkan dana. Apabila pesertanya 125 orang maka akan terkumpul dana Rp 12,5 juta. Setelah dipotong konsumsi dan biaya pengadaan Rp 2,5 juta, sisanya Rp 10 juta. Biasanya Rp 10 juta dibagi dua. Rp 5 jt sebagai hadiah dan Rp 5 juta masuk kas penyelenggara.
Turnamen semacam ini tanpa beban sedikit pun. Semua bersenang-senang. Tujuh bulan sekali, setiap Galungan, mengibur diri dengan Rp 100 tali, tetapi bertemu teman lama dan kerabat tak ternilai harganya. Semua senang, riang gembira. Apalagi menang he he he.
Selamat Galungan. Semoga dharma selalu menang. [T] [editor Adnyana Ole]