KALAU sedang rikuh, kalau sedang tak kuat menahan pusing karena televisi terus saja menayangkan cerita-cerita seram, maka marilah kita mencoba mengingat satu sosok: Ibu. Kita akan sampai pada satu titik di mana otak tak lagi mampu bekerja dengan baik. Kita akan segera tidak paham kenapa ibu begitu menyayangi kita, kenapa ia begitu tulus mengorbankan apa saja untuk kebahagiaan kita.
Kita, memang, acap tak pandai memaknai cinta. Kebudayaan kita, hingga kini, tetap saja tak pandai memberi tempat pada yang bukan ”jagoan”. Kebudayaan kita adalah otot laki-laki yang hanya mampu mencatat hal-hal spektakuler, hal-hal yang lahir dari genderang perang dan kekerasan. Pahlawan adalah mereka yang mampu membunuh lawan. Orang besar adalah mereka yang mampu membangun kemegahan, kendatipun —untuk itu— sakit dan kematian mengiringi.
Karena itu monumen hanya untuk laki-laki. Monumen adalah otot-otot. Dewi kesuburan, dewi cinta, dan dewi ilmu pengetahuan tinggal dalam cerita-cerita dan pemujaan apa adanya. Tak ada yang terlalu bangga menjadi sosok Wisnu yang memelihara, menjernihkan, dan menumbuhkan. Orang-orang selalu berlomba menjadi Brahma atau menjadi Syiwa. Kita selalu menghargai penciptaan dengan berlebihan. Kita pun takluk oleh otot-otot penghancuran.
Kebudayaan kita, kini, dibangun di atas otot-otot. Karena itu kita sering beringas. Otot tetap saja otot. Ia hanya bicara atas kekuatan fisik. Bahasa otot adalah pertempuran untuk mengalahkan. Bahasa otot hanya mengenal kalah dan menang, sekutu dan musuh. Kesuksesan hanya diukur dengan kemampuan menguasai, tidak dengan kemampuan menghargai, kemampuan menyayangi, dan kemampuan untuk saling menunjang.
Kekuasaan. Itulah kata akhir setiap perjuangan dalam hidup. Kekuasaan berarti menundukkan orang lain. Untuk itu segala sumber yang mampu membuat orang lain tunduk pun harus pula diraup. Uang, jabatan, pengaruh, dan kepemilikan menjadi rebutan setiap orang.
Ibu adalah kebalikan dari semua itu. Ibu senantiasa memberi untuk kebajikan dan pertumbuhan. Ibu tak hendak menguasai, tak hendak menundukkan. Ia malah tunduk pada cinta, pada segala yang dianggap baik untuk anak-anaknya. Sayangnya kita tidak berusaha membangun kebudayaan dengan cara-cara ibu menebarkan cintanya. Sayangnya kita tidak berusaha memberi tempat bagi mereka yang dengan gigih membersihkan kotoran dari dinding bangunan, mereka yang dengan tekun mengajarkan huruf demi huruf kepada anak-anak, mereka yang dengan ikhlas menyiram padi saban pagi.
Pada dasarnya kita telah membangun kebudayaan ini dengan ketololan yang sombong. Kita membangun jaringan kekuasaan otot hingga ke relung-relung terdalam dari kehidupan. Lihatlah kecenderungan kaum feminis yang ingin berotot, ingin mengukuhkan dan memasuki kekerasan secara paksa. Mereka memasuki ruang politik dengan kesiapan untuk beradu panco. Sungguh hebat bila mereka memasuki politik, misalnya, dengan cara menurunkan tensi kekerasan di dalamnya dan mengganti kekerasan itu dengan keteduhan cinta, kelembutan sayang, dan kecermatan dialog.
Planet ini telah terlampau tua. Ia telah terlampau ringkih akibat ketololan sombong kita. Bumi ini membutuhkan Dewi Sri. Bumi ini membutuhkan kebudayaan yang ”perempuan”, kebudayaan yang santun, kebudayaan yang merdu. Ini saat lelaki mesti belajar menjadi ”perempuan” dan berkata ”ya” untuk kebudayaan yang lebih perempuan.
Merombak tatanan kebudayaan harus dilakukan, memang. Sebab masa depan bukan milik kita. Masa depan harus dibangun tidak dengan sempritan peluit penuh larangan, tetapi dengan kecerdasan dan kelembutan. Masa depan adalah perjalanan waktu dengan warna-warna yang kita coretkan kini. Kalau kita terus saja membeliakkan mata, maka masa depan yang bakal dihuni anak-cucu kita pun hanya akan berisi rasa takut dan ketertindasan.
Kebudayaan adalah ruang tempat kita memilih cara kita hidup dalam masa dan tempat yang kita huni. Perubahan selalu terjadi. Kebudayaan adalah juga cara kita menanggapi perubahan-perubahan itu. Kalau kita hanya mampu mengayunkan kapak, maka kebudayaan kita pun penuh darah dan hutan-hutan menjadi botak. Itulah yang kini kita lakukan, sebab kita terlanjur sangat ”laki-laki”, sangat bangga pada otot. (T)