Saya mengenal Kambali Zutas dengan panggilan Ali ketika sama-sama bertugas menjadi wartawan di Singaraja, Buleleng. Sejak bertemu kami merasa serasi, setidaknya serasi sebagai teman yang sama-sama suka nongkrong di dagang pecel lele sembari membicarakan hal-hal yang tidak “bernilai berita”. Misalnya kenapa seorang pedagang pecel lele dinamai Mas Gondrong, padahal rambutnya tak gondrong-gondrong amat.
Pagi, siang, hingga saat deadline petang, sebagai wartawan, kami sudah disibukkan dengan urusan berita. Sehingga malam-malam bolehlah terbebaskan untuk bicara soal remeh temeh yang tak layak sama sekali masuk headline di halaman pertama koran kami. Kadang-kadang kami merancang khayalan tentang hal sensitif, yang tetap “tak layak berita”.
Misalnya, bagaimana kalau sesekali kami bernyanyi bersama – benar-benar bersamaaan, bukan bergiliran – di atas panggung hiburan. Ali menyanyi lagu berbahasa Arab, saya menyanyikan kidung Bali berbahasa Jawa Kuno. Bahkan kami berpikir akan menukar ucapan salam. Ali yang seorang Muslim mengucap salam Hindu sebelum bernyanyi, dan saya yang Hindu mengucap salam Muslim.
Tapi khalayan itu tak pernah terjadi, sehingga kami tak pernah tahu bagaimana kiranya respon penonton jika aksi panggung itu benar-benar digelar, misalnya, di Taman Kota Singaraja. Mungkin saja aksi kami akan masuk koran, karena dianggap bernilai berita. Entah berita bagus atau berita buruk.
Saya sebenarnya mencoba menghindar dari niat untuk untuk menghubung-hubungkan puisi yang ditulis Ali dalam buku “Laila Kau Biarkan Aku Majnun” ini dengan kenangan-kenangan kami saat bersama di Singaraja. Namun saya bukanlah kritikus sastra yang punya bekal teori memadai untuk membicarakan puisi seorang teman, maka satu-satunya cara adalah mencoba menemukan semacam hubungan antara apa yang pernah saya tahu dari laku penyairnya dan puisi-puisi yang ditulisnya kemudian.
Jadi, mungkin apa yang saya katakan tentang puisi dari Penyair Kambali Zutas ini adalah sesuatu yang subjektif, personal, dan tentu saja polos tanpa kecurigaan layaknya sepasang teman, karena penyairnya “tak pernah mati”, ia senantiasa hidup dalam pikiran saya, kata per kata.
Satu hal yang saya temukan kemudian adalah bagaimana Ali meramu sesuatu yang tampak,tak “bernilai berita” menjadi puisi yang layak jadi renungan tentang kehidupan manusia, apa pun keyakinannya, apa pun gaya hidupnya, sehingga pada akhirnya puisi-puisinya mengingatkan saya pada berita-berita besar yang terjadi pada manusia, yang terjadi di negeri ini, kadang sebagai berita kecil yang lewat begitu saja, kadang sebagai berita besar yang ditulis berjilid-jilid meski pada akhirnya juga lewat begitu saja.
Tapi memang begitulah tugas sebuah berita. Ia seakan harus didengar dan dibaca secepatnya, tapi kemudian dilupakan secepatnya. Pada saat seperti itu, puisi mencoba mengukuhkannya. Dan Ali, sebagai seorang wartawan, menulis puisi, sepertinya sedang ingin membuat berita menjadi ajeg, setidaknya dalam ajeg dalam renungan tengah malam, sebagaimana kami lakukan dulu, di Singaraja.
Tema yang digarapnya sepertinya adalah sebagian besar tema obrolan kami tengah malam itu, setelah berita dikirim ke redaksi, sebelum kami tidur di masing-masing rumah kontrakan. Obrolan kadang kadang dimulai dengan mentertawakan isi berita yang tadi siang kami tulis, atau kadang obrolan lepas begitu saja, tak ada kaitan sama sekali dengan berita apa pun di dunia ini. Dan, saya pikir, puisi-puisi Ali ini memang digarap dari peristiwa sehari-hari, baik yang dilihatnya sendiri, maupun peristiwa yang didapat dari media, termasuk media tempat dia bekerja sebagai redaktur saat ini.
Hanya saja, selayaknya penyair, ia mengerahkan berbagai kekuatan majas, untuk membuat puisi tak sekadar seperti berita-berita biasa, sebagaimana sehari-hari ia tulis atau ia edit di meja redaksi.
Dan majas yang ia bangun, lagi-lagi mengingatkan saya pada gaya obrolan kami pada tengah-tengah malam di Singaraja itu, yang nakal, tak terduga, kritis, namun sesekali mencoba untuk bijak selayaknya seorang spiritualis. Sehingga puisinya layak dikupas dengan sedikit berkeringat untuk menemukan daging isi yang kemudian bisa dimakan, sekaligus menemukan biji buah untuk kemudian ditanam demi kehidupan yang berlanjut.
Mari baca penggalan puisi “Songkok Beterbangan”:
cerita lain saat sorak kegembiraan. orang lalu lalang tak terhitung. menenteng, mengangkat, dan menyunggi. berbagai bentuk, ukuran, warna, dan merk dari dalam dan luar negeri.
waktu itu musim panas. angin berhembus mengencang. ini hari kemenangan. mereka dan kami merayakan keriangan. mengikuti hingga khusuk. saling menyapa dan bertanya.
“sejak kapan si fulan bersolek seperti itu?” tanya mereka kepadaku.
mereka lantas memegang kepala. waktu itu? si fulan memegang sambil menggelengkan kepala.
“ aku tidak pernah pergi ke mana-mana. aku hanya di rumah.” “kalau begitu, copot! aku sudah muak melihatnya.”
Kuat dugaan puisi itu bercerita tentang sebuah peristiwa, mungkin hanya penyairnya semata yang tahu, mungkin juga peristiwa yang sudah diberitakan secara luas di media massa. Dengan gaya ungkap yang terkesan seenaknya dan sedikit nakal, penyairnya mencoba membangun peristiwa baru, dengan mengedit (kebiasaan seorang redaktur di media massa) peristiwa sebenarnya.
Songkok, kata yang kerap direpresentasikan dengan penutup kepala lelaki Muslim, mungkin memang dimaksud untuk menunjukkan sebuah peristiwa yang berkaitan dengan lakon orang Muslim. Namun sebagai simbol ia bisa menjadi simbol milik siapa saja, simbol bagi gaya hidup siapa siapa.
Songkok hanya ada dalam judul puisi dan tak ada satu kata songkok pun dalam baris puisi. Itu bisa diartikan bahwa songkok hanyalah penunjuk jalan, sementara jalan kehidupan yang dilewati, tahap demi tahap, bait demi bait, spasi demi spasi, bisa milik siapa saja.
Dalam buku yang cukup tebal ini terdapat banyak puisi yang mengesankan ramuan majas dan gaya ungkap semacam itu. Dan puisi “Songkok Beterbangan”, saya kutip karena puisi ini salah satu yang amat saya suka di antara puisi-puisi sejenis yang lain. Mungkin karena begitu sering saya temukan foto Ali dengan gaya berpenutup kepala di media sosial, kadang pakai songkok dengan benar, lebih sering pakai penutup kepala selayak pendaki gunung salju atau seperti gaya penyanyi rap.
Puisi gaya lain yang sungguh memikat adalah “Laila Kau Biarkan Aku Majnun” yang dijadikan judul dalam buku ini. Mungkin saya telanjur tersihir karena sebagai judul buku, puisi itulah yang saya baca pertama kali saat Ali menunjukkan stensilan dari kumpulan puisinya. Namun, sebagai sebuah puisi tentang kegelisahan seorang pecinta, puisi ini terkesan digarap dengan kekuatan literer yang sungguh-sungguh.
Puisi ini merujuk pada kisah klasik Laila-Majnun, lalu memasaknya dengan berbagai kesangsian dan pertanyaan-pertanyaan masa kini, mungkin pertanyaan seseorang dari generasi milenial, mungkin juga pertanyaan penyairnya sendiri, tentang rasa hakiki dalam diri dan rasa gelisah di luar diri. Coba tengok satu bait yang menggetarkan hati:
Tapi tak usah kau pikirkan
Apakah aku seorang basyar, insan atau an-nas
Aku adalah harapan yang tak pernah kau temukan
Saat mengenal Ali di Singaraja, saya tak pernah peduli apakah ia seorang Muslim atau bukan. Jika pun saya tahu ia seorang Muslim, saya tak peduli juga apakah ia seorang yang taat atau seseorang yang biasa-biasa saja. Karena dalam setiap obrolan, kami selalu memandang sesuatu dengan cara pikir yang sama: liar tanpa batas, meski bukan dengan keyakinan yang sama. Tapi dari biodata resmi yang saya tahu kemudian ia punya riwayat pendidikan agama yang mengesankan, di dalam lembaga formal maupun di luar lembaga formal.
Maka dalam puisi-puisi dia, sesungguhnya bisa dilacak perangkat-perangkat ajaran yang digunakan sebagai pengolah data dan peristiwa, sebagai pemicu cara berpikir, untuk mendapatkan puisi bernas dengan nilai-nilai yang dimiliki setiap manusia. Tampak ia selalu menghindar untuk penggunaan idiom keagamaan, dan mencoba menemukan idiom baru sehingga dengan begitu ia berhasil menciptakan puisi-puisi yang justru kritis terhadap pemaknaan tunggal pada satu peristiwa.
Secara umum puisi-puisi Ali bahkan berbicara tentang isu-isu penting di zaman modern, isu yang dihadapi setiap manusia: cinta, kasih sayang, alam, lingkungan hidup, dan juga politik. Lihat puisi tentang anak kecil yang disiksa dan dilenyapkan nyawanya, tentang isu lingkungan di wilayah Benoa, tentang pulau yang hilang, tentang persahabatan, dan tentu tentang hal-hal yang jadi perhatian semua manusia: semesta dan pencipta semesta.
Akhirnya, saya tak perlu menulis banyak kata untuk puisi Ali, karena toh saya akan sibuk membicarakan hal-hal yang telah banyak diketahui orang. Maka itu, selamat untuk Kambali Zutas. Jika menulis berita membuat kita sibuk, mungkin menulis puisi membuat orang lain menjadi sibuk. Dan itulah keberhasilan puisi. [T]