ALKISAH ada sebuah buku bertebal 1330 halaman terbit. Jenakanya, yang menulis tak pernah punya ijazah, Ayip Rosidi. Judul bukunya: HIDUP TANPA IJAZAH.
Penulis dengan gelar berbaris tentu masih ngos-ngosan menulis 1.330 halaman. Bukan hanya itu, rasanya gelar dijejer-jejer juga sulit mengalahkan harga buku ini. Ini menjadi salah satu buku koleksi saya dengan harga termahal: 5.000.000 rupiah. Mungkin hanya beberapa koleksi buku antik saya saja yang bisa melampaui harganya.
Mahal karena ini edisi khusus, dengan mencantumkan nama saya (pembeli) dan tandatangan Pak Ayip dan penerbit, sebagai salah satu cara menggalang dana untuk kegiatan kebudayaan (kalau tidak salah) Yayasan Rancage.
Untungnya buku 1.330 halaman yang mahal ini untuk dibayarin sahabat saya.
Sahabat saya yang bayar itu ngakak menghubungi lewat telpun: “Tanpa ijazah saja menerbitkan buku 1.330 halaman. Belum lagi ratusan judul buku karya dan yang diedit beliau. Juga mungkin mencapai seribuan lebih artikel”.
Saya jawab: “Justru kalau cari gelar sibuknya baca buku-buku orang dan sibuk kutip sana kutip sini. Kalau tidak langsung mengutip dari buku teori, biasanya cari PDF agar gampang copy-paste. Lagi pula kalau orang bergelar jarang sekali pernah berpendapat sendiri. Ngomong saja penuh kutipan teori”.
Kami ketawa.
Teman saya ini adalah orang Indonesia, tapi kuper karena SMA dan S1-nya di Inggeris, SD dan SMP di Singapura. Dia tidak percaya kalau ada banyak orang dengan gelar berjejer tapi punya kebiasaan nyontek.
Hari ini saya kirim foto cover buku ini ke teman saya. Saya bilang ada rektor juga masih dan ketahuan nyontek. Tentu bukan satu-satunya cerita. Saya tambahkan link berita maraknya berita ‘plagiat’ dari kalangan akademis.
Memang lebih baik dah seperti pak Ayip, tanpa ijazah tapi menulis ribuan halaman tiada henti dibanding berjejer gelar tapi nyontek atau bayar orang menulis ini itu.
Buku HIDUP TANPA IJAZAH terasa mengena buat saya karena adanya foto Prof. Bagus menerima Hadiah Sastera Rancage 1999 disertai kisah-kisah pergulatan kesastraan daerah dibahas dan persoalan serta kemungkinan kedepannya.
Banyak hal lain dibahas dalam buku tebal ini, tentunya. Bagian favorit saya ketika ada terselip kisah-kisah tentang Gus Dur dari buku ini membuat saya ngakak.
Suatu hari Pak Ayip ke Kairo. Diantarlah oleh Fudoli Zaini, teman Gus Dur ketika belajar di Universitas Al-Azhar. Fudoli Zaini yang sedang berusaha menyelesaikan S3 itu lantas berkata pada pak Ayip, katanya, “Sayang Saudara Ayip tidak datang bulan lalu?”
“Mengapa?”
“Kalau datang bulan lalu niscaya bertemu Gus Dur. Dia mampir dan sempat mengadakan pertemuan dan berbicara dengan kawan-kawan disini,” katanya.
“Oh, ya? Apa yang dia bicarakan?”
“Katanya, untung dia tidak terus belajar di Azhar sehingga sekarang bisa jadi orang,” jawab Fudoli.
“Maksudnya apa?”
“Maksudnya ya… saya ini bukan orang.”
Buku ini saya dapat 10 tahun lalu, diterbitkan dalam menyambut Bapak Ayip Rosisi 70 tahun, 31 Januari 2008. Kemarin menjelang 80 tahun usia beliau, beliau masih aktif hadir berdiskusi ke Perpustakaan Nasional, dan menulis ini itu.
Ironis memang, dan terasa nendang judul buku ini di tengah heboh berita orang bergelar berjejer kok nyontek, plagiat.
Jangan-jangan benar mungkin dawuh Gus Dur, kalau mau jadi orang, tak usah tamatkan kuliah? (T)
Catatan Harian 4 Februari 2018