BAGIKU, perjalanan menuju gunung adalah salah satu mood swing terbaik dalam hidup. Perlahan, kau bisa merasakan udara panas berganti jadi dingin. Lalu, bising berubah jadi hening. Dari ramai jadi damai. Tandus menjadi pinus. Namun, bahaya juga tak sedikit. Sedetik kau merasakan damai, detik berikutnya bahaya mengintai. Alam memang penyembuh sekaligus musuh yang luar biasa.
Ini mengingatkanku pada perjalananku ke Gunung Ijen, Kabupaten Banyuwangi, pada Agustus tahun lalu. Aku bersama Tusan, Iwan, Gorby, Made dan Redy berangkat dari Singaraja pada 16 Agustus, bermaksud untuk merayakan tujuh belasan di puncak Ijen. Perjalanan ke Banyuwangi terbilang mulus, tanpa hambatan. Kami menyeberang dari Gilimanuk menuju Ketapang sekira pukul 12 siang, kemudian langsung menuju Paltuding di kaki Gunung Ijen.
Sepanjang perjalanan menuju Paltuding, kurasakan udara yang semakin dingin, sementara jalan mulai menanjak. Ada satu tanjakan yang memang ‘kejam’ sekali, bahkan kemiringannya hampir mendekati enam puluh derajat. Motor Made dan Iwan tak bisa menanjak jika diboncengi sehingga penumpang lain terpaksa diangkut dengan metode antar jemput oleh Tusan.
Wah. Petualangan sudah dimulai rupanya, pikirku. Sementara wajahku mulai kebas akibat dingin. Kulindungi wajah dengan kaca helm, tapi dasar kaca helm sudah kusam, aku jadi tak bisa melihat jelas. Padahal pemandangan sudah mulai bagus. Jadilah aku buka saja kaca helm. Kubiarkan angin dingin menerpa wajahku, yang penting aku tidak melewatkan pemandangan indah.
Masalahnya, mendaki gunung bukan perihal melihat pemandangan indah saja. Ada nyawa yang harus dijaga. Ada tubuh yang mesti tetap hangat. Ada tangan yang tak boleh kaku. Ada hidung yang tak boleh beku. Aku sadar itu. Maka dari itulah, dari momen pertama kakimu menginjak zona pegunungan, kau harus sudah sedia perlengkapan seperti jaket, buff, kupluk dan celana panjang. Itu yang paling standar. Aura pegunungan adalah aura bertahan hidup, jadi memang kau tak boleh gegabah apalagi meremehkan kondisi alam. (Entah kenapa aku terbayang Leonardo DiCaprio dalam film The Revenant).
Sampai di Paltuding, kami memilih tempat berkemah di bawah pohon agar ternaungi. Kondisi tanah agak sembab akibat hujan tadi malam. Setelah membangun tenda dan masak, kami pergi ke Kalipahit, air terjun belerang yang tak jauh dari tempat berkemah. Aku menumpang motor Tusan, kali ini tanpa helm. Udara memang dingin, tapi kurasa tubuhku sudah menyesuaikan diri. Kaos dan jaket cukuplah.
Sepanjang jalan menuju Kalipahit, bisa kulihat bukit-bukit savanna yang sangat luas, persis seperti lukisan Monet. Cuma kurang gadis berpakaian ala tahun 30an. Atau kalau kamu tak tahu Monet itu siapa apalagi lukisannya, bayangkan seperti bukit Teletubbies. Kurang lebih seperti itulah. Tentunya tanpa boneka-boneka yang sok lucu itu.
Kalipahit bagiku bukan tempat yang spesial, kecuali dari kenyataan bahwa air yang mengalir adalah belerang. Mungkin rasanya pahit, bukankah namanya juga demikian? Airnya berwarna hijau kekuningan, dengan buih-buih yang mencurigakan. Apakah berbahaya jika terkena kulit? Kupikir belerang baik bagi kulit, tapi air hijau itu terlihat menyeramkan.
Dari kejauhan, kulihat Iwan sudah seperti kijang meloncat dari satu sisi sungai ke sisi lain, berjuang untuk mendapatkan sudut foto yang terbaik. Sementara, teman-teman lain juga sudah mulai mengeluarkan perangkat foto. Aku pun tentu bergabung di setiap foto. Tak apa-apalah narsis, sekali-sekali.
Malamnya, temanku, Adidaya, dan beberapa temannya bergabung. Karena tenda yang tidak mencukupi, akhirnya Adidaya bergabung bersama Tusan dan aku, di sebuah tenda yang sebenarnya hanya cukup untuk dua orang. Parahnya, Adidaya juga tak membawa sleeping bag, sehingga terpaksa kami harus berbagi. Percayalah, tidur berbagi sleeping bag sangat tidak nyaman. Apalagi dengan kondisi tenda yang sesak. Tusan dan Adidaya terlalu sering ganti posisi tidur, sehingga menimbulkan bunyi ‘kresek-kresek’ yang berisik.
Sementara aku bergelung sambil menutup telingaku. Menjelang tengah malam, perjuangan belum berakhir. Satu persatu dari kami bertiga mulai berebut sleeping bag. Kantong tidur itu memang dibentangkan sehingga mampu melindungi kami bertiga. Namun, ada saja yang modusnya berganti posisi tidur, tapi pada saat yang bersamaan juga menarik selimut ke arahnya dengan tujuan menguasai sleeping bag. Dasar. Kaupikir aku tak tahu modusmu. Kalau sudah begini, yang lain juga tidak mau kalah. Termasuk aku. Haha.
Akhirnya malam itu aku gagal tidur nyenyak.
PERJALANAN MENUJU PUNCAK
Jam 2 dini hari. Suasana di sekitar tenda mulai ribut. Orang-orang rupanya sudah bersiap mendaki. Aku bangun, kemudian membangunkan Tusan dan Adidaya (yang rupanya telah berhasil menguasai sleeping bag). Ketika kubuka tenda, astaganaga. Orang yang mengantre tiket sudah mengular. Saking banyaknya yang mengantre, aku sampai tak bisa melihat petugas loket karena tenggelam oleh kerumunan manusia. Wah. Kami harus cepat. Adidaya akhirnya melesat ke loket, dan ajaibnya, kembali dengan sepuluh tiket di tangan dalam waktu kurang dari 10 menit. “Aku menyusup,” katanya sambil nyengir. Aku terbahak.
Tepat ketika portal menuju puncak Ijen dibuka, lautan manusia itu pun perlahan bergerak menuju puncak. Aku berjalan bersama Iwan, sementara yang lain berjalan di belakangku. Awalnya kami masih bersenda gurau untuk menghilangkan lelah. Namun tak lama setelah itu, gurauan tiba-tiba hilang berganti sengal nafas yang berat dan pendek, sementara di sekitarku, kulihat manusia-manusia lain perlahan terseok, sama tersengalnya denganku. Rupanya kami sudah semakin meninggi. Oksigen makin menipis. Udara dingin pun terasa panas, tanda tubuh sedang membakar kalori. Tepat saat itu, barulah aku menyadari ada sesuatu yang tak beres. Nafasku kian tersengal pendek, sementara kabut tipis mulai mengambang di sekitarku. Tunggu. Kabut? Tidak mungkin, kabut ini terlihat sangat mencurigakan.
“Belerang,” jelas Iwan. “Itu juga mengapa kau tersengal.” Entah mengapa kini tempat itu terdengar begitu menyeramkan. I think I don’t have any idea about what I am getting into. Berdasarkan anjuran Iwan, aku menutup hidungku dengan buff dan membasahi bagian hidung. Aku terus berjalan, kali ini dengan Made dan Gorby. Sementara, Iwan menunggu Tusan dan Redy. Sedangkan Adidaya dan teman-temannya, entahlah.
Aku tiba di puncak sekitar pukul 5:30 pagi. Keadaan masih gelap, ditambah asap belerang yang pekat. Jarak pandang sangat terganggu, apalagi mata makin perih akibat asap belerang. “Ini lebih parah dari tahun lalu,” Gorby berkata. Dia memang sempat ke Ijen tahun sebelumnya. Kalimatnya membuatku sedikit gelisah, namun tidak kehilangan semangat.
Perjalanan selanjutnya adalah menuruni kawah untuk melihat ‘blue fire’. Blue fire ini adalah satu-satunya di Indonesia dan merupakan yang terindah di dunia. Menurutku, mendaki Gunung Ijen tanpa melihat blue fire seperti menonton Mission Impossible tanpa Tom Cruise. Atau menonton Titanic tanpa Kate Winslet. Kupikir, sudah jauh-jauh ke Banyuwangi, masak tidak melihat blue fire? Akhirnya berangkatlah aku dengan Gorby dan Made menuruni kawah, dilengkapi masker khusus yang kusewa seharga 25 ribu rupiah. Sementara, asap belerang masih mengintai.
Bersama Gorby dan Made, kami berusaha menyalip pendaki yang lelet, pendaki yang sibuk foto-foto, pendaki yang romantis (selalu memegang tangan pacarnya walaupun antrean mengular. Hello. Kita tak punya waktu untuk melihat drama itu ya), pendaki yang sedikit-sedikit minta istirahat, pendaki yang selalu minta bantuan padahal tak ada bahaya, dan pendaki tipe lain. Tujuanku Cuma satu. Melihat blue fire.
Makin turun, asap belerang makin pekat. Mata jadi perih. Hidung pun berair. Kulihat di sekelilingku orang orang sudah memasang masker wajah khusus asap. Pemandangan itu mengingatkanku kepada foto-foto korban Nazi yang akan masuk ke ruang gas. Ini lumayan menyeramkan, pikirku. Tapi aku terus bersemangat turun demi si api biru. Batu-batu belerang berkeresak setiap aku berpijak. Tangan juga makin kuat mencengkram dinding kawah. Beberapa meter di depanku, orang-orang tampak berkerumun mengelilingi sebuah ceruk di salah satu sisi kawah. Gorby dan Made berkata bahwa tempat blue fire tinggal sedikit lagi.
Dari kejauhan, kulihat cahaya biru berpendar-pendar, memantul di dinding kawah. Saat tiba di kerumunan orang-orang, aku mencari celah agar mendapatkan pemandangan blue fire terbaik. Kudapati diriku berdiri di tepi batu besar. Beberapa meter di bawahku, kulihat blue fire menjilat-jilat dengan begitu angkuhnya. Asap kekuningan mengepul hebat setiap api biru itu meletup.
Sementara, suara mirip gas bocor makin terdengar garang. Aku terpana. Kendati menyeramkan, namun api biru itu terlihat sangat ‘ajaib’. Aku pikir tempat ini mungkin seperti neraka. Nah, beberapa spot blue fire juga terlihat di beberapa sisi kawah. Sungguh. Pemandangan itu sangat luar biasa. Spektakuler. Aku begitu bersemangat, kuambil gawai dan mulai memotret. Kusuruh Gorby memotret diriku berlatar api biru. Sayang, hasilnya tak terlalu bagus karena kondisi cahaya yang minim.
Tak puas dengan pemandangan itu, aku makin mendekati api biru itu untuk mencari sudut yang lebih bagus. Gorby berada di belakangku. Udara makin terasa mencekik. Aku bergabung dengan beberapa fotografer yang juga sibuk mengatur kameranya. Berbekal gawai, aku mulai memotret si api biru. Gorby juga turut memotret dan kami bergiliran mengambil foto diri masing-masing. Aku dan api biru hanya berjarak sekitar beberapa langkah saja. Bau belerang kian menyengat hingga membuatku mual. Asap belerang makin membumbung tinggi, bergabung dengan asap dari beberapa titik api biru.
Tepat pada saat itulah, entah dari mana datangnya, angin kencang berhembus ke arahku. Tanpa dikomando, asap kuning pekat itu dengan ganasnya menyerangku dan mengepungku tanpa ampun. Aku panik. Kudengar orang-orang berderap menjauh, sementara aku masih terkepung asap. Ya Tuhan. Matilah aku. Tanpa bisa menghindar, asap itu terhirup menusuk paru-paru. Perih sekali. Masker yang kupakai tak menolong.
Aku meronta, berusaha menjauh dari sumber asap. Dalam kepanikan, aku berusaha menggapai dinding kawah. Jari-jariku menerkam apa saja yang bisa kuterkam. Aku harus segera keluar dari kepungan asap ini. Berkali-kali aku mencoba memanjat ke tempat yang lebih tinggi untuk menghirup udara bersih, namun asap itu demikian pekat sehingga menghalangi pandanganku. Aku terperosok, tapi aku segera bangkit lagi. Mata sudah tidak bisa melihat lagi karena berair.
Kudengar bunyi api terus menggelora silih berganti dengan bunyi kibas angin yang makin bising. Orang-orang berteriak. Aku tersengal. Terbatuk hebat. Kurasakan asap belerang sudah menguasai paruku. Aku berteriak memanggil Gorby, tapi Gorby entah dimana. Aku sadar aku tengah berkompromi dengan maut. Saat itulah aku sadar bahwa aku harus bertahan. Aku harus keluar dari lingkaran setan ini. Entah bagaimana caranya. Aku hanya punya waktu sekitar beberapa detik saja agar tetap hidup sebelum belerang meracuniku.
Setengah berlari, aku kembali menggapai dinding kawah. Dinding belerang itu keropos ketika kugapai. Samar-samar kulihat beberapa jejak kaki di tanah. Kuikuti jejak itu dengan tergesa. Bagai keajaiban, kutemukan celah untuk menempatkan kakiku, lalu dengan sisa tenagaku, aku pun memanjat ke tempat yang lebih tinggi. Aku sudah tidak peduli dengan apapun, yang penting aku bisa menemukan udara bersih. Beberapa undakan kulalui. Satu, dua, tiga. Bibirku bergetar, lututku lemas.
Akhirnya, dengan penuh perjuangan, aku berhasil mencapai tempat tinggi. Udara terasa dingin. Kulepaskan masker dan segera kuhirup udara bersih. Aku masih tersengal. Belerang masih terasa di pangkal lidahku. Namun, aku merasa jauh lebih baik. Ketika perih mata agak berkurang, aku melihat Gorby tak jauh dari tempatku, menempel pada dinding kawah. Dia tersengal dan terlihat shock. Kami bertukar pandang, masih tak percaya horor yang baru saja kami lalui.
Bodoh. Benar-benar bodoh, makiku.
Aku segera pergi dari tempat ini, pikirku. Persetan api biru. Bersama dengan beberapa orang yang terkepung asap tadi, aku menuruni tebing itu dengan gontai. Nafasku masih tersengal, kini makin jelas terdengar di rongga masker. Belerang masih terasa di pangkal lidahku. Aku bertemu Gede di salah satu sisi kawah. Sementara, Gorby menghilang. Kupikir tadi dia di belakangku, namun sosoknya tak terlihat. Aku pun meninggalkan tempat itu bersama Gede.
Perjalanan kembali naik menuju bibir kawah sekitar sejam hingga dua jam lagi, jadi aku harus cepat. Sekalian berburu matahari terbit. Aku dan Gede berpikir lebih baik nanti bertemu dengan Gorby di atas saja. Toh juga Gorby tahu bahwa dia harus segera pergi dari tempat itu. Ketika berjalan kembali ke atas, aku menoleh kembali ke blue fire celaka itu. Dia masih tampak angkuh di kegelapan. Aku tak akan kembali kesini lagi, dengusku.
Sementara, orang-orang masih terus turun untuk melihat api-biru.
Jam 6:30 pagi aku sampai di atas. Dari kejauhan, terlihat asap belerang masih mengepul. Semburat jingga perlahan tampak tanda pagi sudah tiba. Gorby sudah kembali dengan aku dan Gede. Diam-diam aku mengucap syukur karena masih hidup. Utuh. Aku dan Gorby berbincang seru tentang pengalaman tadi. Kami sepakat bahwa pengalaman itu sangat seru—sekaligus bahaya (bukankah pengalaman seru seringkali berkaitan dengan bahaya?)—yang tentunya tak akan terlupakan.
Bertiga, kami menyusuri jalan setapak mengelilingi kawah, menuju sisi lain gunung. Aku menerobos rumpun paku yang sangat indah, berfoto di hutan mati, dan menikmati sarapan dengan pemandangan kawah biru Ijen (yang masih berasap).
Iwan, Tusan, Redy, Adidaya, entah di mana.
Setelah beberapa saat, kami kemudian turun. Perjalanan turun sama sekali tak menarik. Aku berjumpa dengan banyak orang, persis seperti berada di pasar malam. Hutan dan gunung rupanya sudah menjadi ramai. Tiba di perkemahan, ternyata Iwan, Tusan dkk belum kembali. Ya sudah.
Kusempatkan untuk beristirahat. Ah, Gunung Ijen. Sungguh perjalanan ini eksepsional. Yang jelas, ini semua membuatku berpikir (lagi dan lagi), kenapa sih aku kembali lagi ke gunung, padahal sudah jelas membahayakan nyawa? Ibuku bahkan melarang keras jika aku pergi, sehingga aku seringkali ‘kabur’ (dalam artian memberikan kabar setelah berada di tujuan. Percayalah, aku masih anak baik). Tapi tetap saja aku pergi.
Sepertinya ada kekuatan aneh yang selalu berhasil membuatku kembali pada dinginnya puncak gunung. Atau angin yang menyeruak di antara jarum pinus. Mungkin memang benar aku cinta pada hal-hal seperti itu. (T)