BULELENG-BANYUWANGI, sebagaimana umum diketahui, memiliki hubungan yang dekat-erat meski sepertinya lebih banyak terjadi secara alami, begitu saja, dinamis, tak tertulis, daripada terjalin secara legal-formal. Diaspora Banyuwangi di Buleleng, selain sebagai pelajar, banyak pula sebagai pedagang-saudagar, dari warung makan kecil-kecilan, bakso gerobakan, sampai pemasok buah-buahan dan hasil pertanian lainnya.
Sebagai daerah yang saling berdekatan (hanya dipisahkan Selat Bali), Buleleng—atau katakanlah Kota Singaraja—dan Banyuwangi memang saling terhubung dan memanfaatkan satu sama lain. Orang-orang Buleleng mendapat banyak pasokan pangan dari Banyuwangi. Sedangkan orang-orang Banyuwangi, selain mendapat pasar, juga dapat mengakses fasilitas pendidikan tinggi di Buleleng. Banyak sekali mahasiswa asal Banyuwangi yang kuliah di Universitas Pendidikan Ganesha—dan belakangan kuliah di STAH Negeri Mpu Kuturan Singaraja.
Hubungan tersebut barangkali sudah terjalin sejak dulu, sejak legenda Manik Angkeran dan Brahmana Sidi Mantra dari Kerajaan Daha yang membelah Selat Bali diproduksi dan ditutur-tinularkan. Ya, secara historis, Banyuwangi memang memiliki kedekatan kultural dengan Bali—melalui nilai-nilai historisitas yang berkaitan dengan kerajaan Majapahit.
Salah satu faktor relasi antara Buleleng-Banyuwangi adalah faktor kedekatan letak geografis. Jarak Banyuwangi-Buleleng bisa ditempuh hanya 3 jam saja. Ini menciptakan hubungan yang, tak hanya berkaitan dengan usaha perekonomian (perdagangan) atau pendidikan, pula pertalian kesenian dan kebudayaan yang saling memengaruhi—pun sebagaimana Bali pada umumnya. Tari Gandrung, misalnya. Tarian ini berasal dari Banyuwangi, masuk ke Bali hingga Lombok.
Tapi dari keterangan Th. Pigeaud yang dikomparasikan dengan penjelasan Van Eck bisa diketahui bahwa Tari Sanghyang Bali memiliki pengaruh terhadap Tari Gandrung Banyuwangi. Pigeud menambahkan suatu penjelasan yang menyatakan masyarakat Banyuwangi melangsungkan tarian Sanghyang dengan mengundang penari dan dukun dari Bali. Atau barong, atau sebutlah anggapan liar, bahwa kesenian gong kebyar yang populer di Buleleng dipengaruhi gamelan Banyuwangian.
Jadi, muatan historis antara Blambangan dengan Bali (pun Buleleng) yang memiliki suatu ikatan melalui komunikasi kultural dalam ruang ketiga, mempunyai potensi besar untuk menimbulkan suatu hibrida baru dalam kebudayaan. Hasil-hasil dari hibriditas yang muncul dari dua kebudayaaan yang berbeda ini mudah tercerminkan melalui hasil kesenian sebagai wujud olah kreativitas masyarakat. Kesenian di Banyuwangi terbukti memiliki keterkaitan dengan budaya Bali secara terminologis—atau sebaliknya.
![](https://tatkala.co/wp-content/uploads/2025/02/jas.-banyuwangi2-1024x770.jpg)
Sejumlah pedagang buah naga dari Banyuwangi yang setiap hari mangkal di tepi-tepi jalan di Singaraja-Buleleng | Foto: tatkala.co/Son
Zaman dulu, hubungan baik Blambangan-Bali adalah suatu keniscayaan yang harus dilakukan, bukan saja karena kedekatan geografis, historis, pula persamaan kepentingan dalam menghadapi ekspansi Islam dari barat. Dari sudut kepentingan Bali, Blambangan merupakan beranda depan. Jika Blambangan jebol, maka Bali sedang mendapat ancaman serius.
Hubungan antara Banyuwangi dan Bali menguat setelah pada tahun 1850 wilayah Jembrana menjadi regentschap di bawah Keresidenan Banyuwangi. Hubungan antarwilayah tersebut kemudian intensif berkat jaringan perdagangan ternak dari Bali dan tekstil dari Banyuwangi. Apalagi dalam Indische Staatsblad Nomor. 123 Tahun 1852 yang mengatur tentang wilayah administrasi pemerintah Hindia Belanda disebutkan bahwa Pulau Bali dan Lombok, mula-mula beribukota di Banyuwangi, sebelum pindah ke Singaraja.
Namun, masalah relasi Blambangan-Bali juga mengalami pasang surut, dulu. Terkadang menjadi teman yang setia—bahkan bisa menjadi pelindung satu sama lain—di lain waktu bisa menjadi penjajah (musuh), seperti Panji Sakti dengan Amangkurat I pada tahun 1546 yang bersama-sama menyerang Blambangan. Atau penjelasan I Made Sudjana yang menyatakan bahwa Raja Gelgel Bali pada tahun 1547 melancarkan serangan ke Blambangan dengan membawa 200.000 pasukan—walaupun perkataan ini perlu dikaji ulang.
(Dalam buku Perebutan hegemoni Blambangan: Ujung Timur Jawa, 1763-1813 (2012), Sri Margana menuliskan bahwa tidak benar bila Blambangan pernah dijajah Kerajaan Mengwi dari Bali. Hal itu disebabkan kerajaan yang ada di Bali biasanya bertumpu pada sektor pertanian dengan konsep religius agama Hindu yang kuat sehingga tidak memiliki kemaritiman yang kuat. Sementara itu, tahun yang disebutkan saat Kerajaan Mengwi menjajah Blambangan juga ganjil. Pasalnya, ketika I Made Sudjana menyimpulkan Mengwi menguasai Blambangan pada 1763-1768, di tahun tersebut Mengwi telah lemah sehingga tidak mungkin di tahun tersebut Mengwi bisa menguasai Blambangan.)
Banyuwangi di Jawa Timur, atau Blambangan dulu ia dikenal, memiliki riwayat yang panjang. Dari peradaban Dinasti Tawangalun yang makmur sampai wilayah “sengketa” yang diperebutkan kekuatan-kekuatan seperti Belanda (VOC), Inggris, Mataram Islam, Madura, dan Bali (termasuk Buleleng).
Dulu, pada masa kejayaan Panji Sakti, Buleleng terkenal sebagai “penakluk” Blambangan (bahkan, Babad Buleleng melukiskan Panji Sakti menikam Pangeran Mas Tawangalun. Dan itu membuat kedua anak laki-lakinya yang bernama Ki Dewa Mas Sedah dan Ki Dewa Mas Pahit menyingkir ke Solo)—walaupun ini ekspansi yang aneh, mengingat, Blambangan adalah kawasan Java’s last frontier (perbatasan terakhir Jawa) untuk agama Hindu.
Tapi barangkali penaklukkan Panji Sakti atas Blambangan tidak ada urusan atau kepentingan dengan agama Hindu, sebagaimana orang-orang Mataram Islam yang ingin menyebarkan agama. Lihatlah dalam konteks perekonomian, misalnya, Panji Sakti sepertinya sekadar ingin menguasai daerah segitiga emas: Bali Barat-Surabaya-Madura—yang merupakan daerah pusat pertumbuhan ekonomi yang sangat potensial saat itu. Dengan begitu, ini bisa dipandangan sebagai semacam usaha seorang raja yang menyediakan lebensraum (ruang hidup) bagi rakyatnya.
Namun, terlepas dari narasi-narasi penaklukkan Blambangan oleh kerajaan-kerajaan di Bali yang masih simpang-siur, pada kenyataannya saat ini banyak orang Banyuwangi yang tinggal dan hidup di Buleleng atau mungkin sebaliknya, banyak warga Buleleng yang bermukim di Banyuwangi dan saling menciptakan hubungan sosial-masyarakat yang harmonis dan menguntungkan. Dan secara formal pemerintahan kedua daerah tersebut kini memiliki beberapa bentuk kerja sama, seperti pengembangan pariwisata, pertanian, sumber daya manusia, dan meningkatkan kerja sama antardaerah di Bali dan Jawa Timur lainnya.
Relasi Sosial Masyarakat
Sebagaimana telah disinggung di awal, Banyuwangi dan Buleleng kini memiliki hubungan yang dekat. Tak hanya bidang ekonomi, tapi juga pendidikan, kesehatan, dan hubungan-hubungan lain seperti kekeluargaan (perkawinan dan pertemanan), organisasi, komunitas, dll.
Dalam bidang ekonomi jelas sangat kentara. Banyak pedagang buah—biasanya buah naga—dari Banyuwangi yang menjajakan dagangannya di sepanjang jalan Ahmad Yani Singaraja dengan mobil bak terbukanya. Pedagang serupa juga dapat kita temui di sekitaran Jl. Desa Kalibukbuk-Anturan. Pun banyak orang Banyuwangi yang membuka warung makan di Buleleng, sama halnya dengan banyak orang Madura di Singaraja.
Seperti Mas Priyanto, sejak tahun 2016 ia memanfaatkan perlintasan jalur laut Pelabuhan Banyuwangi–Ketapang untuk membawa buah Naga Merah (Hylocereus Plyrhizus) ke Bali.
“Terkadang juga buah jeruk, buah jambu. Tergantung musimnya,” kata Mas Priyanto, penjual buah naga asal Banyuwangi (9/2/2025).
Sudah sekitar delapan tahun ia menjadi penjual buah naga di Singaraja. Menetap sementara menyewa kost-kostan di daerah Skip. Kini, Mas Priyanto hanya tinggal menunggu kiriman dari distributor di kota asalnya untuk kemudian tinggal menjual tanpa repot pulang. Sistem kerja sudah terjalin diantara distributor dan pedagang.
Pada Minggu malam, lelaki itu menjajakan sekitar 500 kilo gram buah naga di Jalan. Ahmad Yani atau dekat kantor KPU Buleleng. Ada tiga penjual buah naga di sana. Di tengah musim buah naga di Banyuwangi sekarang, persaingan di antara mereka pun terjadi secara sehat.
“Untuk mengakalinya, kita harus cepet-cepatan soal waktu. Saya di jam lima pagi, itu sudah nyeles (kirim-kirim) buah naga ke beberapa pedagang di Pasar Anyar dan Banyuasri, dan pedagang lainnya di sekitar Singaraja. Sekali kirim, itu satu kerat (keranjang),” katanya.
Di sana, lelaki itu sudah memarkirkan Viar—kendaraan motor dengan pick up di belakangnya, rodanya ada tiga. Sekitar ada sembilan kerat buah di motor itu. Tiga kerat buah jambu batu, sisanya buah naga bertumpuk-tumpuk di enam kerat. Perkilonya 15 ribu rupiah baik untuk buah naga maupun buah jambu.
Tidak lama menunggu pembeli, seorang ibu-ibu memarkirkan motornya tepat di samping jajakan Mas Priyanto. Jaraknya mungkin hanya satu langkah kaki anak umur sembilan tahun. Pembeli itu hendak membeli buah naga dan buah jambu. Malam itu, cukup ramai pembeli memang. Kurang lebih sudah satu kerat buah naga sudah ludes sejak jam dua Siang mangkal. Dan satu kerat buah jambu.
“Kadang rame, kadang sepi. Tapi, biasanya kalo mendekati hari raya (Hindu) Bali atau ada upacara apa begitu, itu cukup banyak yang beli. Lumayanlah,” katanya.
Bagi Mas Priyanto, Singaraja menjadi satu tempat pasarnya. Ia enggan pindah ke kota lain walaupun Denpasar menggoda soal kepadatan penduduk. Lelaki itu mengandalkan hari-hari raya. Satu motivasi yang mendepaknya ke Singaraja, salah satunya itu. Hari raya.
“Ya, hari raya. Dan juga jaraknya kan gak terlalu jauh,” katanya.
Di Banyuwangi sendiri, mata pencaharian masyarakatnya tidak jauh-jauh dari aktivitas pertanian di samping ada juga yang menjadi PNS atau tenaga kerja kantoran, atau kuli bangunan.
Lelaki itu kemudian menyahut, menjadi petani justru lebih menguntungkan dari pada menjadi pedagang. Orang-orang bisa beli apa saja setelah panen.
“Jadi pedagang semacam saya, justru gak terlalu untung-untung amat. Tapi saya syukuri. Tapi kalo boleh memilih, saya pengen jadi petani saja,” ujar Mas Priyanto, menyoal nasib. “Sedang ke arah sana (menjadi petani) sih.”
Petani Banyuwangi memang cukup terkenal, selain dengan buah naga warna merahnya, jeruknya juga sudah bisa memenuhi perindustrian di Jakarta. Bahkan bisa mendoping satu pulau Bali. Bahkan tak hanya soal buah, daun janur kelapa juga kerap dikirim dari Banyuwangi. Termasuk daun pisang, buah pisan. Bali, juga Buleleng, menjadi sasaran empuk soal pasar bagi mereka. Tentu, sama-sama menguntungkan. Sama-sama saling menghidupi.
Pada 2023, Pemerintah Kabupaten Buleleng melalui Perusahaan Umum Daerah (Perumda) Pasar Argha Nayottama setiap hari memasok 2-3 kuintal cabai rawit merah dari Banyuwangi. Buleleng juga kerap mendapat ikan tongkol, janur, dan kebutuhan lainnya dari Banyuwangi. Ini membuktikan bahwa posisi Banyuwangi sangat penting bagi Buleleng, pun sebaliknya di bidang yang lain, Buleleng juga penting bagi Banyuwangi.
![](https://tatkala.co/wp-content/uploads/2025/02/jas.-banyuwangi3-1024x770.jpg)
Pepi Rahmawati, mahasiswa asal Banyuwangi yang kuliah dan bekerja di Singaraja | Foto: tatkala.co/Son
Dengan adanya hubungan tersebut, harga komoditas cabai, misalnya, bisa menjadi stabil di daerah yang membutuhkan karena pasokannya banyak. Di sisi lain, di daerah surplus cabai tidak terjadi penurunan harga secara drastis karena stok yang berlimpah. Penurunan harga yang signifikan bisa berakibat negatif bagi upaya peningkatan produksi sehingga dapat mengganggu ketahanan pangan.
Soal pendidikan pun demikian. Pemuda-pemudi Banyuwangi berbondong-bondong menambang ilmu di Undiksha dan STAHN Mpu Kuturan dan lembaga pendidikan lainnya. Dan tak sedikit pula remaja-remaja Buleleng yang menimba ilmu agama Islam ke Banyuwangi—seperti orang-orang Pegayaman yang sering mengirimkan putra-putri mereka ke pondok pesantren di daerah Blokagung, Banyuwangi.
Salah satu alumni Bahasa dan Sastra Indonesia Universitas Pendidikan Ganesha (Undiksha), Kadek Nara Widyatnyana, mantan mahasiswa Banyuwangi itu, orang tuanya adalah petani buah naga. Lelaki itu tentu telah menyecap manis dari tanaman ini, bahkan telah memberinya kelulusan S1 di Singaraja.
Ia menghabiskan kuliah S1-nya di Undiksha, dan S2-nya di kampus yang sama. Dalam pertemuannya menemukan Singaraja cukup melewati monolog batin. Sempat lelaki itu berada di sebuah belantara kebingungan ketika lulus SMA mau kuliah di mana.
“Nah kemudian, ada SNMPTN, seleksi masuk jalur rapot. Aku ikut-ikut aja kan, disuruhlah aku milih universitas dulu. Karena aku gak punya tujuan nih, aku pengen ke Bali aja awalnya. Aku pengen tahu Bali, itu aja,”
Kemudian lelaki itu memilih secara acak kampus yang ada di Bali tanpa tahu lokasinya di mana. Ia pilih Undiksha—yang sebelumnya ia tak pernah tahu jika kampus ini, ternyata berada di kota tempat ibunya lahir. Ibunya lahir di Tejakula, setiap libur semester sesekali ia menjumpai neneknya di sana.
Sepanjang perjalanan aktivitas perkuliahan, lelaki itu akhirnya nyaman dan memilih bekerja di kota ini sebagai pengajar di SMP Negeri 4 Singaraja.
“Saya merasa cocok dengan Singaraja, mungkin karena jarak yang gak terlalu jauh. Kemudian permasalahan ekonomi. Ekonomi di sini lebih gampang (tidak terlalu menyedot rekening). Pengeluaran atau biaya hidupnya lebih murah di sini,” katanya.
Sampai di sini, ia juga bercerita punya cita-cita ingin tinggal di kota yang sepi. Ia tidak suka dengan tempat yang ramai penduduk, seperti di Denpasar atau Surabaya itu, katanya terlalu ramai penduduk, dan kesan Banyuwangi dengan Singaraja nyaris mirip.
“Tapi mungkin Banyuwangi lebih ramean sedikit,” lanjut lelaki itu. “Tapi kalau untuk hidup selamanya di Singaraja, kayaknya enggak, yah. Karena saya anak terakhir, sisa hidup saya, ingin dihabiskan untuk orang tua saya. Kalau orang tua tidak bisa dibawa ke sini, ya saya yang harus pulang. Jadi gitu.” Jelas Kadek Nara.
Soal kenyamanan, Pepi Rahmawati mahasiswa semester 4, Prodi Pendidikan IPA dari Undiksha itu juga kepincut nyaman. Tapi bagaimana soal pertaliannya dengan Undiksha, Singaraja, tak jauh berbeda dengan Kadek Nara. Berawal dari memilih kampus.
Namun, Pepi lebih soft, tidak terlalu cemas. Ia lebih dulu mendapatkan sedikit cerita tentang Undiksha dan Singaraja dari Guru BK-nya ketika hendak memilih kampus. Mulai dari biya hidup, dan jarak yang dekat antara Banyuwangi dan Bali, menancap di pikirannya.
“Benar. Di awal-awal semester, satu bulan bisa pulang satu kali ke rumah di Banyuwangi. Tapi sekarang, sejak ngambil pekerjaan sampingan di semester 3, sudah jarang. Dulu pulang seiring bareng sama teman pake motor. Sekarang sudah masing-masing, dan juga jarang pulang karena sibuk bekerja,” kata Pepi.
Perempuan itu bekerja di Coffe To Go, di Jl. Udayana, No. 12. Saat ditemui, perempuan itu sedang sibuk melayani pembeli. Di sana, ia bekerja di bagian Kitchen, dan sesekali mendapatkan tugas menjaga kasir. Sejauh ini, katanya, nyaman-nyaman saja hidup di singaraja. Murah, dan Slow Living.
![](https://tatkala.co/wp-content/uploads/2025/02/jas.-banyuwangi4-1024x770.jpg)
Kadek Nara Widyatama, mahasiswa asal Banyuwangi yang betah di Singaraja | Foto: tatkala.co/Son
Relasi sosial masyarakat Banyuwangi dan Buleleng tak berhenti di situ. Banyak orang Banyuwangi menjalin hubungan kekerabatan, kekeluargaan, dengan orang-orang Buleleng—pun sebaliknya. Mereka menikah, berkeluarga, dan beranak-pinak.
Hubungan-hubungan—dari interpersonal, komunal, sampai asosiatif—di atas bisa sangat menguntungkan kedua daerah tersebut jika dapat dikelola dan dijaga dengan baik. Relasi sosial dapat menjadi modal penting pembangunan.
Relasi Formal Pemerintahan
Secara ekonomi-politik, relasi antara Buleleng dan Banyuwangi sebenarnya tampak menguntungkan. Faktor akses yang dekat dan potensi yang dimiliki kedua wilayah tersebut dapat digabungkan menjadi kekuatan ekonomi-politik yang kuat. Banyuwangi dan Buleleng sama-sama memiliki destinasi (sebut kekayaan alam) yang tak kalah dengan Bali Selatan.
Baru-baru ini, dalam upaya memperkuat sektor pariwisata di kawasan Banyuwangi, Bali Barat, dan Bali Utara (3B), pemerintah Buleleng, Jembarana, dan Banyuwangi mengadakan rapat konektivitas pengembangan pariwisata yang digelar sebagai inisiatif strategis untuk meningkatkan kerja sama antara Bali dan Jawa Timur. Kolaborasi lintas daerah ini menjadi langkah konkret untuk memperkuat daya saing pariwisata di kawasan 3B.
Pengembangan infrastruktur transportasi menjadi salah satu topik utama dalam rapat tersebut. Jalur laut direncanakan akan ditingkatkan untuk mempermudah aksesibilitas antarwilayah 3B. Langkah ini diharapkan dapat meningkatkan daya tarik kawasan 3B sebagai destinasi wisata unggulan yang saling terhubung. Selain infrastruktur, pengembangan sumber daya manusia dan promosi bersama juga menjadi bagian penting dari strategi ini.
Lebih dulu, saat masih menjabat sebagai Bupati Banyuwangi, Abdullah Azwar Anas pernah berujar akan meningkatkan kerja sama dengan Provinsi Bali. “Karena faktanya, Banyuwangi menjadi pemasok berbagai kebutuhan hasil pertanian dan perkebunan bagi Bali,” kata politikus yang pernah menjabat sebagai Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi itu. “Selain itu, sebagian warga Banyuwangi juga berkontribusi bagi geliat perekonomian di Pulau Dewata,” lanjutnya.
Pada 2018, Pemerintah Kabupaten Banyuwangi dan Kabupaten Buleleng berusaha menjajaki kerja sama di bidang pertanian hortikultura. Kerja sama ini dirancang untuk pemenuhan kebutuhan pasar domestik dan pemenuhan kebutuhan ekspor. Manggis dan buah naga yang menjadi komoditas unggulan kedua kabupaten tersebut berpotensi menembus pasar ekspor.
“Kedatangan kami ke Banyuwangi untuk mendiskusikan peluang pasar hortikultura antara Banyuwangi dan Buleleng. Kami juga ingin belajar pengelohanan pascapanen dan peningkatan hasil produksi dari Banyuwangi terutama di sektor hortikultura,” ujar Bupati Buleleng Putu Agus Suradnyana saat itu.
Sebagai Bupati Buleleng saat itu, Agus Suradnyana mengatakan pihaknya berharap bisa menyediakan kebutuhan hortikultura bagi masyarakat Banyuwangi. Demikian pula sebaliknya, Banyuwangi bisa menyediakan kebutuhan bagi masyarakat Buleleng. Namun, saat ini, sepertinya kerja sama ini tidak lagi banyak—dan serius—dibicarakan. [T]
Reporter: Tim Tatkala [Jas, Rus, Son]
Penulis: Jaswanto
Editor: Adnyana Ole