“Gus, sampun megae?” Sudah bekerja?
“Tiang kari mahasiswa, Pak!” Saya masih mahasiswa, Pak.
Itu dialog teman saya dengan ayah dari pacarnya, suatu hari di hari yang tak begitu cerah. Teman saya menceritakan dialog itu kepada saya sembari menirukan mimik wajah orang tua kekasihnya yang berasal dari keluarga berada.
Itu terjadi ketika teman saya bermain ke rumah kekasihnya dan dijamu lumayan hangat oleh orang tuanya, hingga pertanyaan itu terlontar. Dan, jleb, teman saya merasakan gejala tidak kondusif terhadap kondisi perizinan orang tua kekasihnya terhadap dirinya yang sudah saling menyayangi selama kurang lebih satu tahun.
Hanya gara-gara masih mahasiswa, dan belum bekerja, maka izin pacaran pun terancam dicabut.
“Ape teh pelihne dadi mahasiswa? Apa sih salahnya menjadi mahasiswa?
Demikin teman saya bertanya-tanya dengan nada mengeluh. Kami tidak saling menatap satu sama lain, melainkan sibuk dengan layar ponsel masing-masing. Sebagai sesama lelaki ,kegiatan menatap satu sama lain secara berlebihan bisa saja dikatakan penyimpangan.
Sejenak saya berpikir, mengapa hal itu bisa terjadi? Padahal kekasih teman saya itu juga masih mahasiswa, apakah salah menjadi mahasiswa?
Jika tolak ukurnya adalah dalam hal finansial saya rasa itu keliru, karena sudah banyak mahasiswa yang sudah berwirausaha dan meningkatkan kondisi finansialnya sendiri. Padahal mahasiswa itu adalah pekerjaan, bahkan pekerjaan yang mulia, yang tak digaji, justru membayar.
Sebuah guyonan dari dunia maya pernah mengatakan bahwa mahasiswa lebih rendah daripada budak. Kenapa? Karena mahasiswa itu harus bekerja, tidak dibayar, namun harus membayar. Sedangkan budak tidak membayar, tidak dibayar tapi harus bekerja.
Contoh yang paling sederhana adalah dalam akademik, mahasiswa membayar biaya operasional institusi yang akan mengakuinya sebagai sarjana, mahasiswa yang bekerja demi mendapat pengakuan sebagai sarjana dengan belajar dan mengerjakan tugas, namun ia tidak dibayar sama sekali.
Kalaupun disebutkan bahwa mahasiswa dibayar dengan nilai dan ijazah, perlu diketahui nilai dan ijazah itu didapat dari pemenuhan kewajiban membayar kepada institusi setelah mahasiswa itu belajar dan memiliki kemampuan cukup, kondisinya tetap sama kalaupun mahasiswa tersebut mendapat beasiswa.
Contoh lainnya, ketika mahasiswa tersebut dihadapkan dalam kewajiban bergabung dalam organisasi resmi kampus yang menurut saya seharusnya tidak perlu diwajibkan. Dengan iming iming pengalaman atau poin keaktifan yang berharga, mahasiswa terpaksa mengikuti organisasi itu.
Sekali lagi mahasiswa yang bekerja menggerakkan roda organisasi, setelah bergabung mahasiswa terkadang diwajibkan membayar secara finansial walau tidak selalu dan setahu saya lebih sering bersifat sukarela, kalaupun tidak rela membayar secara finansial setidaknya mahasiswa wajib membayar dengan waktunya menghadiri kegiatan organisasi. Dan tidak dibayar sama sekali.
Pada kolom pekerjaan di KTP tertera tulisan Mahasiswa. Di KTP saya. Itu berarti pekerjaan saya adalah menjadi mahasiswa, yang harus membayar, harus bekerja, namun tidak dibayar.
Terkadang saya tidak ikhlas menjalaninya, tetapi kini saya memenangkan rasa ikhlas menjalani pekerjaan sebagai mahasiswa.
“Anggap saja ngayah!” Begitu kata dosen saya kepada mahasiswanya yang mulia. [T]