DI mata orang tua, seorang anak tetaplah anak kecil yang akan disayanginya sepanjang usia. Dalam kondisi apa pun, orang tua adalah tempat pulang: rumah berteduh dengan rekah senyuman yang tanpa syarat dan hangat pelukan yang tanpa batas. Mereka akan menerima anaknya dalam segala kondisi, baik suka duka lara maupun nestapa.
Karena itulah Kakawin Nitīśāstra menyebut tidak ada kasih sayang yang lebih tinggi dari yang dilimpahkan oleh orang tua kepada anaknya: norāna sih manglәwihana sih ikaṅ atanaya.
Kasih sayang orang tua yang demikian tulus, apabila tidak dikendalikan dengan kehati-hatian bukan berarti tanpa konsekuensi. Pustaka Ādiparwa dengan terang menyebutkan dua cerita tentang hal ini dalam kisah Drәṣṭaratta dan Bhagawan Drona. Keduanya diketahui sebagai pemimpin. Drәṣṭaratta adalah pemimpin negara, sedangkan Bhagawan Drona merupakan pemimpin di bidang agama. Keduanya diyakini berhasil memimpin orang banyak, tetapi keliru dalam mendidik seorang anak.
Konsekuensi
Drәṣṭaratta yang terlalu menyayangi Duryoddhana menyebabkannya menghalalkan segala cara agar anaknya itu bisa memegang tampuk kekuasaan tertinggi di Kerajaan Hastina. Bahkan, pada saat Duryodana terbukti bersalah ketika merencanakan pembunuhan kepada Bhīma dengan cara meracuninya, Sang Raja Hastina tidak mau menjatuhkan sanksi apapun untuk menegakkan keadilan. Sikap yang sama juga ditunjukkan oleh Drәṣtaratta kala anak-anaknya melakukan pembakaran rumah lak untuk membinasakan seluruh keluarga Pandawa dan Kunti.
Akibat taksanya hukum yang diterapkan oleh Drәṣṭaratta itu, perilaku Duryoddhana semakin tak terkendali. Drupadi yang dijadikan taruhan oleh Panca Pandawa ingin diperkosanya di balai sidang, sedangkan Krisna awatara Wisnu itu dihina ketika menjadi utusan perdamaian, dan puncaknya berbagai perilaku kriminal dilakukan oleh Duryodana untuk memenangkan perang di Kuruksetra.
Situasi yang tidak berbeda juga dialami oleh Bhagawan Drona. Ia sebagai guru loka juga terjebak pada kasih sayang yang berlebihan kepada anaknya yang bernama Aswatama. Sebagai ayah, Bhagawan Drona merasa ingin memberikan yang terbaik untuk anak semata wayangnya itu akibat penderitaan yang dialami Aswatama ketika ia kecil. Bhagawan Drona dan istrinya nyaris tak pernah mampu memberikan setetes susu ataupun mentega kepada anaknya karena dijerat kemiskinan. Oleh sebab itulah, ia memutuskan untuk menjadi guru di Kerajaan Hastina dengan harapan kualitas dan kesejahteraan hidup yang lebih baik.
Namun sayang, di masa pembelajaran tersebut Aswatama justru lebih banyak bergaul dengan Korawa sehingga tabiat buruk Korawa juga menyusup ke dalam liang hatinya. Hal inilah yang menyebabkan Bhagawan Drona dibujuk oleh Aswatama untuk berpihak pada Korawa ketika perang Bharata Yuddha berkecamuk. Ia tak punya pilihan lain atas ancaman anaknya untuk bergabung ke pihak Korawa. Akibatnya, Guru Drona yang tahu bahwa kebenaran menyala di ujung-ujung panah Pandawa tidak bisa ikut membesarkan cahaya itu. Guru Drona memberikan restu pada kemenangan Arjuna, meski raganya ada di pihak Korawa.
Kakawin Nitīśāstra
Kisah Drәṣṭaratta dan Bhagawan Drona di atas menitipkan pesan bahwa pemberian kasih sayang yang tidak didasari kewaspadaan justru menyebabkan keduanya jatuh pada kesengsaraan. Berbagai situasi tentu dapat mendorong seseorang untuk melimpahkan kasih sayang yang tanpa kendali kepada anaknya, meski tanpa disadari pujian yang terlalu banyak tak membuat anak tahan terhadap ujian kehidupan. Sampai di titik ini, seni melimpahkan kasih dengan cara dan waktu yang tepat perlu dipelajari oleh setiap insan yang bertugas menjadi orang tua.
Pustaka Kakawin Nitīśāstra tampaknya memberikan peta jalan untuk ke luar dari labirin kelindan kompleks hubungan antara orang tua dan anak ini. Karya sastra ini menunjukkan waktu dan cara terbaik untuk mengasuh sekaligus mengasah kemampuan anak sesuai dengan tingkat umurnya.
Karya sastra yang dalam tradisi Bali diyakini ditulis oleh Dang Hyang Nirartha ini menyatakan bahwa: anak yang sudah berumur lima tahun mesti disayangi seperti seorang anak raja (tiŋkahiŋ sutta śaśāṇa kadi rāja tanaya ri huwusiṅ limaṅ tahun). Ketika sudah berumur tujuh tahun, ia diperlakukan seperti pelayan (sāpṭa warṣā wara hulun). Lalu ketika anak sudah berumur sepuluh tahun, ia harus diajari aksara (sapuluhiŋ tahun nikā hurukĕnaŋ akṣarā). Setelah umurnya bertambah menjadi enam belas, anak dijadikan sahabat dengan kehati-hatian tinggi dalam menetapkan hukuman kepadanya (yapwan ṣodaśāwarṣā tulya wara mitrā tinahat-tahat dentā miḍaṇḍā). Demikian pula, ketika anak sudah berkeluarga dan memiliki keturunan, ia wajib dinasihati hanya menggunakan tanda-tanda oleh orang tuanya (yan wuṣ putrā sūputra tiṅhalana solah irā hurukniŋ nayeŋ gittha).
Bertitik tolak dari penjelasan di atas, karya sastra Kakawin Nitīśāstra mengajak kita untuk menyadari bahwa seorang anak tidak saja bertumbuh dari segi usia, tetapi juga bertambah dari segi pengetahuan dan pengalaman hidupnya. Oleh sebab itu, orang tua mesti memperlakukan anaknya dengan sikap yang berbeda dalam setiap jenjang umurnya. Perlakuan seperti rāja tanaya‘pangeran’ atau ‘putri’ wajib diusahakan ketika usia anak lebih dari lima tahun. Dalam situasi ini seorang anak memang sedang membutuhkan kasih sayang yang penuh dari orang tuanya. Maka berbagai keinginannya biasanya akan dituruti oleh orang tua sesuai batas kemampuannya.
Setelah anak berusia tujuh tahun, cara memperlakukan anak seperti pangeran atau putri raja harus dihentikan. Kakawin Nitīśāstra menyarankan agar ia dididik seperti seorang warahulunatau pelayan. Pada masa ini, seorang anak mulai dibiasakan mengikuti berbagai disiplin diri di tingkat keluarga. Ia diajarkan untuk seaktif-aktifnya untuk menyerap berbagai laku baik orang tua dan lingkungan terdekatnya. Ketika masa agraris dulu, anak yang biasa diajak untuk mengolah sawah pasti menjadi petani yang mampu hidup dari tanah di masa dewasanya. Demikian pula seorang anak yang terbiasa diajak untuk membantu orang tuanya di laut. Kelak ketika dewasa, ia akan menjadikan ombak sebagai sahabat yang membantunya untuk memindahkan ikan dari samudra hingga sampai di meja makan orang-orang yang hidup darat.
Selanjutnya, ketika usia anak menginjak umur sepuluh tahun, aktivitas literasi mesti ditanamkan. Pustaka Kakawin Nitīśāstra menyarankan agar anak mulai hurukĕnaŋ akṣarā atau diajari aksara. Dengan mempelajari berbagai tanda-tanda grafis itu, seorang anak diharapkan dapat mengakses berbagai pengetahuan tertulis. Kemampuan menulis yang sekaligus berhubungan erat dengan membaca ini pasti menjadi gerbang baginya untuk membuka dunia dan cakrawala pengetahuan yang lebih luas, baik di hulu masa lalu maupun masa yang akan datang. Kemampuan membaca aksara, akan membuatnya tidak buta dalam hal pengetahuan.
Lalu setelah anak berada di tangga umur enam belas tahun, Kakawin Nitīśāstra menyarankan agar anak diperlakukan sebagai wara mitrā‘sahabat’. Kenapa demikian? Karena pada masa krusial ini seorang anak sudah mulai beranjak dewasa. Dengan menjadikannya sebagai sahabat, anak akan lebih cenderung terbuka untuk menyampaikan berbagai tantangan hidup yang tengah dihadapinya kepada orang tuanya, terutama dalam hal cita-cita dan cinta. Keterbukaan komunikasi antara orang tua dan anak dalam masa transisi ini menjadi sangat penting agar anak tidak mencari pelarian keluar dari pagar-pagar yang telah ditetapkan oleh orang tuanya.
Terakhir, ketika seorang anak sudah berkeluarga dan memiliki keturunan, Kakawin Nitīśāstra menyarankan agar orang tua memberikan kepercayaan kepada anaknya untuk mengarungi bahtera rumah tangga bersama keluarga kecilnya sendiri. Orang tua mesti sadar dengan sepenuh hati untuk menarik diri dari kehidupan pribadi anaknya. Ia tak boleh lagi mengintervensi anak yang tengah berusaha menata dan meniti kehidupan barunya. Kalau seorang anak melakukan kekeliruan, ia cukup menasihatinya dengan memberikan tanda secara tidak langsung atau hanya mengandalkan nayeng gita. Dengan demikian anak akan memiliki ketangguhan dan keteguhan dalam menapaki tangga-tangga kehidupan untuk kelak diajarkan lagi kepada keturunannya.
Demikianlah Kakawin Nitīśāstra memberikan kita peta kognitif tentang momentum-momentum terbaik dan seni mendidik anak sesuai dengan tingkat umurnya. Waktu dan cara yang tepat ini penting disadari oleh orang tua agar anaknya kelak tumbuh menjadi pribadi yang matang dari segi fisik, mental, dan spiritual. Kematangan pendidikan anak dalam setiap jengkal perkembangannya juga akan menentukan bagaimana sikap anak dalam memperlukan orang tuanya di kala mereka sudah memasuki usia senja kelak.
Ketika tubuh orang tuanya sudah merenta, pikirannya tak lagi tajam, dan hidupnya secara penuh sudah digantungkan kepada anak, maka pada saat itulah ia akan memetik hasil dari buah kesabarannya dalam mengasuh dan mengasah anak dengan penuh kasih. [T]
Paris, 27 Mei 2025
Penulis: Putu Eka Guna Yasa
Editor: Adnyana Ole
- BACA artikel lain dari penulisPUTU EKA GUNA YASA