DALAM setiap kelahiran karya seni, ada sebuah proses panjang yang nyaris tak pernah ditampilkan kepada publik, proses itu bernama “permenungan”. Ia menjelma dalam bentuk coretan ide dan narasi imajinatif yang digarap di sela malam, hingga akhirnya terkristalisasi dalam bentuk yang disebut ‘deskripsi’ atau ‘sinopsis’. Ironisnya, dalam ekosistem seni saat ini, bagian inilah yang justru sering kali diabaikan, disepelekan, dan dikesampingkan. Dianggap hanya sebagai formalitas administratif, tulisan pengantar, atau sekadar pelengkap sebelum di pertunjukan dimulai. Tidak lebih dari itu.
Lalu kita bertanya bagaimana bisa karya yang lahir dari ide dan konsep yang nyawanya bermula dari narasi dapat dimaknai tanpa membuka pintu awal yang menjelaskan mengapa ia dicipta?
Deskripsi bukan sekadar penjelasan tentang apa karya itu, tapi mengapa ia hadir. Ia bukan pelengkap visual, melainkan bingkai pemaknaan. Ketika narasi kreatif dianggap remeh, yang sebenarnya terjadi adalah amputasi terhadap proses artistik itu sendiri. Penikmat hanya disodori bentuk tanpa konteks, estetika tanpa etika, berpikir simbol tanpa tafsir. Dan seni pun, pelan-pelan, kehilangan kedalamannya.
Namun menariknya, dalam Pesta Kesenian Bali tahun lalu (2024), Duta Kabupaten Badung justru menunjukkan arah sebaliknya. Mereka memberi perhatian penuh pada narasi deskriptif, menjadikannya pondasi yang kokoh dalam setiap presentasi karya. Alhasil, seluruh pertunjukan dan karya yang ditampilkan tidak hadir dalam kebingungan, tidak membebani penonton dengan pertanyaan kosong, melainkan langsung menyentuh inti pesan. Deskripsi naratif yang kuat membuat karya-karya tersebut tepat sasaran dan sarat makna bukan sekadar tontonan, melainkan pernyataan yang utuh. Tahun ini? Entahlah, semoga geliat narasi tetap mengudara.
Sudah waktunya deskripsi dan sinopsis tidak lagi dimarginalkan. Ia harus dihidupkan kembali sebagai bagian integral dari tubuh karya. Sebuah teks yang bukan hanya menjelaskan, tapi juga menantang, memprovokasi, menggugah. Deskripsi yang bukan sekadar tulisan di atas kertas, melainkan ruang dialektika, medan tafsir, bahkan wahana gagasan. Jika seni adalah ritual pencarian makna, maka deskripsi adalah mantranya.
Jadi, mari kita bertanya lagi, apakah kita menciptakan seni untuk dilihat, atau untuk dipahami? Jika jawabannya adalah yang kedua, maka sudah saatnya kita berhenti meremehkan narasi. Karena di sanalah, sesungguhnya, letak daya ciptanya yang paling purba. [T]
Penulis: I Gusti Made Darma Putra
Editor: Adnyana Ole
BACA artikel lain dari penulis I GUSTI MADE DARMA PUTRA