Jawa: Bangsa Rendahan
SUDAH jamak diketahui, sejak dulu tatapan Barat (orientalis—meminjam istilah Fatris—“Indonesianis berkulit pucat”) terhadap orang-orang, dan segala hal tentang Jawa—pun wilayah lain di Nusantara—begitu penuh stereotip dan peyoratif. Tulisan-tulisan, atau pendapat-pendapat mereka dinilai ikut mendorong praktik kolonialisme, atau sekadar melihat Nusantara, Hindia Belanda, Indonesia sebagai sesuatu yang eksotis tanpa mengindahkan penderitaan yang dikandungnya.
Beberapa hari ini saya membaca buku gemuk berjudul Jawa Tempo Doeloe (2013) terbitan Komunitas Bambu. Buku ini disusun oleh James R. Rush, associate professor sejarah di Arizona State University, dengan judul asli Java: A Travellers’ Anthology. Benar. Ini memang buku antologi, lebih tepatnya kumpulan catatan pendatang Barat di Jawa, sebagian besar mereka adalah orang Inggris dan Amerika. Mereka datang sebagai penjelajah, ilmuan, jurnalis, dan pengajar, atau hanya sebagai turis.
Ada 35 catatan tentang Jawa yang disusun James dalam buku ini. Catatan tersebut mulai dari tahun 1330 sampai 1985, dari masa kerajaan—yang dinding istana bagian dalamnya dilapisi emas—sampai Orde Baru—yang otoriter. Dan begitulah, sebagaimana sudah saya singgung pada paragraf pertama, tak sedikit catatan dalam buku ini yang penuh stereotip-peyoratif.
Beberapa catatan melihat Jawa melalui kacamata kekuatan dan kolonialisme Barat yang terdistorsi. Beberapa deskripsi, sekali lagi, bersifat merendahkan dan mencerminkan sikap kelompok superior. “Penduduk Pribumi” dianggap unik dan eksotis, berwarna-warni. Di hadapan Kompeni, pribumi tetap terkesan sekadar hiburan menyenangkan, semacam bagian dari sebuah pertunjukan besar—seperti dikatakan Harriet W. Ponder.
Mengenai hal tersebut, dalam pendahuluannya yang panjang, James mengakui bahwa apa yang para orientalis ini sajikan tidaklah mendekati Jawa yang sebenarnya, tetapi lebih merupakan kesan mereka mengenai Jawa. Itu benar, meski, menurut saya, tidak sepenuhnya benar. Sebab, tak sedikit orang-orang berkulit pucat itu merendahkan Jawa alih-alih terkesan—banyak yang menjadi pengamat dengan penilaian berat sebelah.
Lihatlah, pada saat berkunjung ke Jawa (1444), Nicolo Conti menyebut Jawa tidak beradab dan kejam dibandingkan bangsa lain. “Mereka menyantap tikus, anjing, kucing serta segala macam binatang kotor. Mereka melebihi manusia lain dalam masalah kekejaman,” tulisnya. Conti kemudian menyebut “orang Jawa menganggap membunuh manusia lain sebagai lelucon belaka…” Ia juga mengaku melihat burung-burung tidak berkaki.
Pelancong lain, Edmund Scott pada 1606 menyebut orang Jawa sebagai “makhluk pemalas haus darah yang pengecut dan penuh birahi, baik pria maupun wanitanya.” Scott menganggap kota-kota pelabuhan Jawa “sangat tidak sehat” yang menjadi tempat berkembangbiaknya “sejumlah besar penyakit”. Pun Sir Joseph Banks juga menyebut budak-budak Nusantara sebagai “orang-orang yang paling malas yang pernah saya tahu…”
Tak hanya itu, bacalah catatan François Leguat dari Prancis tentang Batavia yang menurutnya penuh dengan kebiasaan aneh. Leguat menganggap kebiasaan mengunyah daun sirih dan pinang sebagai sesuatu yang tidak menarik untuk dilihat. “Orang-orang ini kurang mengerti tentang keelokan mulut yang bersih dan segar,” katanya. Juga tentang Batavia sebagai kota sumber penyakit, dengan udara panas khas daerah tropis.
Dan ia, meski hanya sekadar rumor, percaya bahwa wanita Jawa sangat mudah jatuh cinta dan kerap menggunakan Ramuan Cinta (jampi-jampi) untuk memikat pria yang disukai. Lebih lanjut, selain sering menggunakan ramuan pelet, wanita Jawa menurut Leguat juga senang meracuni pasangannya yang tak setia.
Pandangan-pandangan di atas sangat khas orientalis yang lebih kepada—mengutip kata-kata Edward W. Said dalam bukunya Orientalisme (1978)—“tanda kekuasaan Atlantik-Eropa terhadap Dunia Timur daripada sebagai wacana yang murni dan jujur mengenai Timur.” Catatan mereka bukan saja berfungsi sebagai kerangka konseptual untuk menyaring dunia Timur ke dalam kesadaran Barat, tetapi juga untuk mendominasi, menata ulang, dan menetapkan kekuasaan Barat terhadap dunia Timur.
Mengenai hal ini, bacalah pikiran Edward Said atau Michael Adas yang mengajarkan kepada kita bahkan seorang pengelana biasa dan berpikiran terbuka dari Barat mau tidak mau terlibat dalam urusan besar Kerajaan. Oleh karena itu, tulis James R. Rush, catatan perjalanan mengenai Jawa tidak terlepas dari sebuah bagian wacana imprealisme.
Jawa yang Eksotis
Selain merendahkan orang-orangnya, beberapa pelancong dalam buku ini juga secara terang-terangan mengungkapkan ketakjubannya terhadap Jawa. Bagaimana alamnya yang subur dan sarana transportasi yang sudah maju dengan Jalan Raya Pos yang dibangun Daendels. Selain itu, banyak pula puja-puji bahwa Belanda mengurus koloninya dengan baik. Juga pengakuan bahwa Jawa pada masa lalu memiliki peradaban maju dengan bukti reruntuhan Borobudur dan Prambanan sebagaimana diungkapkan Thomas Stamford Raffles.
Soal haru-biru orang Eropa mengenai keelokan Jawa, bacalah catatan Sir John Barrow. “Tidak ada yang lebih indah untuk dipandang mata selain pemandangan alam di daerah sekitar Batavia,” kata Barrow. Lebih lanjut ia menyampaikan bahwa di daerah Batavia tidak ada tanah yang gersang, lahan yang tidak subur atau lahan gundul, bahkan pada tanah yang terletak di antara perkebunan kopi, tebu, lada, padi dan hasil bumi berharga lainnya. Batavia, tulisnya, walaupun wilayahnya tidak tergolong besar ataupun memiliki bangunan yang pantas dikagumi berdasarkan desainnya yang elegan atau ukurannya yang besar, kota ini masih bisa dianggap setingkat dengan kota-kota teratur dan tercantik di dunia.
Lebih dulu, seorang biarawan Odoric kelahiran Italia mengaku pernah mengunjungi Jawa pada 1330 M. Odoric mengatakan bahwa pada saat itu Jawa sama sekali tidak berpenghuni dan banyak ditumbuhi cengkeh, kemukus dan buah pala, serta berbagai macam rempah lainnya. Dalam catatannya ia seperti menyampaikan khayalan dan kenyataan yang dicampur menjadi satu. Raja Jawa, katanya, sangat kaya dan mendiami istana yang berlapis emas dan perak.
Sementara itu, bersamaan dengan olok-oloknya terhadap Pemerintah Belanda yang dinilai tidak kompeten dalam mengembangkan sumber daya di Jawa, Charles Walter Kinloch, turis asal Inggris, juga mengakui keindahan Jawa. “Kami sendiri harus mengakui bahwa kami belum pernah melihat negeri mana pun yang memiliki alam begitu indah dari Pulau Jawa,” tulisnya.
Sama seperti Kinloch, J.W.B Money, orang Inggris juga, sangat terkesan dengan Jawa yang ia sebut sebagai “obat ajaib bagi orang yang sakit.” Bahkan Batavia yang memiliki reputasi buruk, disebut sebagai “salah satu kota paling bersih dan cantik,” sebuah catatan yang (agak) berbau penjilatan. Dan ini yang membedakannya dengan catatan Kinloch yang justru mengkritisi orang-orang Belanda—dengan mengatakan “masakan Belanda tidak akan pernah cocok untuk perut orang Inggris” atau “kaum wanitanya tidak mempedulikan masalah sopan santun, kaum prianya justru tidak memiliki sifat itu sama sekali” atau “Pemerintah Belanda tidak kompeten” dan seterusnya—alih-alih memujinya. Sama seperti pengelana George Windsor Earl yang mengatakan, “Bangsa Belanda bukanlah penguasa terbaik.”
Risalah Money mengenai Jawa—yang tebal—dianggap bagian dari kolonialisme. Ketidakakuratannya mengenai wajah pemerintahan Belanda di Nusantara, memengaruhi beberapa penulis setelahnya dan membantu Belanda menciptakan reputasi sebagai bangsa kolonial yang baik. Tampaknya Money hanya terpukau pada lapisan luar saja, atau justru itu merupakan suatu kesengajaan? Yang jelas, hampir keseluruhan catatan Money dalam Java, or How to Manage a Colony (1861) sangat memuji-muji Belanda sebagai penjajah.
Tak jauh berbeda dengan para orientalis eksotis lainnya, seorang Alfred Russel Wallace juga mengatakan bahwa “Jawa adalah pulau tropis terbaik di dunia”. Wallace sangat terkesan dengan kesuburan, kekayaan alam di Jawa dan betapa baiknya Pemerintah Belanda mengelolanya. Namun, terlepas dari sumbangsihnya terhadap pengetahuan flora-faunanya, lihatlah, sejak paragraf pertama dalam catatannya, Wallace sudah mengakui bahwa risalah Money tentang kehebatan Belanda dalam memerintah Jawa adalah suatu kebenaran.
“Menurut saya, sistem pemerintahan Belanda merupakan sistem pemerintahan terbaik yang bisa diterapkan pada negara yang ditaklukkan Eropa dengan penduduk yang rajin bekerja tetapi masih agak terbelakang…” tulis Wallace dalam The Malay Archipelago (1869). Pada pergantian abad ke 20, banyak penjelajah Amerika setuju dengan pendapat tersebut. Eliza Scidmore, orang Amerika yang menulis buku Java: The Garden of the East (1897), menganggap Jawa sebagai daerah “ideal”, bahkan Multatuli menyebut Jawa sebagai permata berharga di “kerajaan Insulinde (Kepulauan) yang sangat indah dan menghiasi khatulistiwa seperti rangkaian zamrud.
Jawa yang Tak Sama
Terlepas dari definisi yang merendahkan dan eksotis, beberapa catatan dalam buku ini mengungkapkan tentang Jawa yang tak lagi sama. Misalnya Henry O. Forbes, seorang naturalis yang berkunjung ke Jawa 20 tahun setelah Wallace, yang membandingkan Batavia lama dengan yang baru. Forbes menyebut Batavia lama dengan “sebuah permukiman di dataran rendah yang rapat dan berbau busuk”, tapi “semua ini sudah berubah,” lanjutnya. “Siang dan malam, kereta datang setiap beberapa menit dengan seluruh penduduk Eropa… dari dan menuju ke daerah permukiman yang baik, kota baru, dengan rumah-rumah berkebun yang indah.”
Pada 1897, Eliza Scidmore menceritakan bahwa “seluruh tanah Jawa [sudah] bisa dikatakan sempurna layaknya Belanda itu sendiri, seluruh pulau telah diolah dari satu sisi ke sisi lain seperti sebuah taman tulip besar dan dihubungkan oleh jalan-jalan pos yang terbentang rata dan mulus layaknya jalan taman… Seluruh lembah, dataran dan perbukitan ditanami oleh deretan tanaman yang rapi, dipagari, dipangkas, dibelokkan, dikeringkan, dan secara teliti disiangi dari tanaman pengganggu seperti sebuah petak bunga.”
Pada masa ini, Jawa—pulau yang dikuasai Belanda—digambarkan oleh para orientalis sebagai daerah yang aman. Penyakit yang dulu sangat ditakuti sudah dapat diatasi berkat pelayanan kesehatan yang sudah jauh berkembang. Perjalanan berbahaya dan liar mudah saja ditaklukkan dengan kereta koloni yang baru dan mewah—seperti diceritakan Eliza Scidmore. Efeknya, gambaran-gambaran semacam ini—alam Jawa yang indah, penduduknya yang lugu dan polos seperti anak kecil, infrastrukturnya yang sudah modern—mengaburkan realitas yang diderita orang-orang yang mereka sebut “pribumi”.
Perasaan bahwa Jawa yang tak lagi sama ini juga diungkapkan Harriet W. Ponder, wanita Inggris yang menulis buku Java Pageant. Pada saat Ponder menyelesaikan buku keduanya mengenai Jawa—Javanese Panorama—perang sudah berkecamuk dan ia mengaku daerah Jawa kekuasaan Belanda yang dulu ia kenal sudah tidak ada lagi. Bahkan di bagian akhir pendahuluan dalam bukunya Ponder berharap, “Semoga Jawa segera kembali ke masa kebebasan, bahagia, dan kemakmurannya seperti dulu kala.”
Saat Jepang merebut Jawa dari tangan Belanda, para pengelana orientalis mencatat Jawa sebagai dunia yang jauh berbeda. “Sudah tidak ada hidangan rijsttafel yang berlimpah,” tulis Peter Kemp saat ia menginap di Hotel des Indes—yang dulunya disebut sebagai salah satu hotel Eropa terbaik di Timur Jauh—sebelum kedatangan pasukan Inggris di penghujung perang. Pada masa ini, Kemp, dan banyak pengelana yang datang ke Jawa setelahnya, seperti kata James R. Rush, merasa “kebingungan dan sendirian”—karena mereka tidak lagi dalam perlindungan Belanda dan dominasi kalangan elit Eropa perlahan mulai memudar.
Pada masa kolonial Belanda, bagi orang Barat, Jawa telah menjadi milik “bersama”. Namun, setelah Indonesia merdeka—yang menurut Poder sebagai “sesuatu yang mengganggu”—Jawa tidak lagi bisa dianggap demikian. Kata James R. Rush, Jawa telah berubah dari “dunia kami” menjadi “dunia mereka”, yang tidak lama kemudian diberi julukan sebagai Dunia Ketiga. Tetapi, alih-alih menggerutu dan mengutuk perubahan, orientalis yang datang belakangan macam Harold Foster—yang datang untuk mengajar di Universitas Gadjah Mada—memilih untuk menyesuaikan diri.
Namun, menurut James R. Rush—penyusun buku ini, tidak ada satu pun dari pengelana dalam buku ini yang berhasil “menjadi orang Jawa”, seperti yang disampaikan oleh Thomas Turner dari kapal Palestine, meskipun pada tahun-tahun belakangan beberapa pengelana datang ke Jawa dengan niat tulus untuk mengenal masyarakat Jawa dengan lebih baik.
Kini zaman sudah berubah. Tapi buku Jawa Tempo Doeloe tetap penting untuk dibaca. Sebab sejarah memang menyisakan banyak hal, pelajaran, sekaligus menawarkan alternatif kebajikan—yang buruk dari masa silam dibenamkan, yang baik ditegakkan. Bukankah sejarah serupa tetumbuhan makna? Kita ditantang merawatnya agar kehidupan tidak lantas menjadi pasak-pasak dengan pucuk yang serat beban hingga kita mungkin saja tergopoh memikulnya. [T]
Penulis: Jaswanto
Editor: Adnyana Ole
- BACA JUGA: