DI DEPANMU CERMIN
Terus urai rambutmu, Luh
Dimana saja
Sampai ditiup angin
Mengurai. Mengurai
Rontok. Mati. Jatuh jatuh
Dan tumbuh. Hidup hidup
Adalah keniscayaan
Sementara keringat tetes menggigil garam
Dari matahari siang utara. Gibaskan itu, rambutmu
Percayalah pada bening kasih di sela kulitmu menguar wangi di kepala
Menguar itu Dewa Dewi memberkati setiap pikiran
Penuh cinta. Penuh perasaan
Di cermin,
Dan matamu bening di cermin
Menandakan kedalaman hatimu
Bukan dongeng
O, urai terus rambutmu, Luh
Urai terus
Sampai ke bawah
Sampai ke bawah
Mengurai. Mengurai
Dan antarkan aku mengurai rambutmu dekat
Lebih lama. Lebih lembut. Lebih dalam
O, Antarkan aku ke sana, Luh. Antarkan aku
Atau kemana saja yang kau mau
Singaraja, 13 November 2024
DERU NAFAS KITA SALING MEMBURU
Angin malam tak lagi dingin
Dan laut sedang pasang pasangnya
Senyap. Kita saling menatap
Dan kejang tubuhku–tubuhmu
Tubuh kita semakin panas, Sayang
Dalam pelukkan
Biarlah, katamu. Biarkan itu darah kita mengalir cepat
Dan Kita tak mesti peduli kepada kepiting berjalan di atas pasir tersapu ombak lalu terseret itu
Atau paus orcha di laut lepas
Sedang tidur pulas atau mimpi buruk tanpa kerlip bintang tidur di permukaan laut
Sementara di tepian,
Di balik hotel orang bule di tepian;
Pantai begitu sepi seketika dan senyap
Selain hanya ada orang mabuk di gang sedang teler berat
Sementara seseorang di dalam mobil, pergi ke dalam hotel entah ke lantai berapa ia berjalan.
Dan kita, masih bertahan memburu yang lain dan memberi makna. Yang,
Lebih mabuk pula dari mereka di gang menghabiskan waktu tawarnya itu gelap
O, Nafasku semakin memburu
Dan kita saling memburu deru dekat
Bibirmu manis. Paling puisi di bawah malam kita paling coklat di bibir
Aku bernafas di nafasmu malam ini
Dan kita saling mendekap. Meminjam. Menyesap. Panas
Kemudian menggigil setelahnya, dan Kita kembali memeluk. Angin menyapu kita dingin sepanjang jalan pulang mabuk cinta. Laut menjadi surut
“Sebait lagi, Sayang. O, sebait lagi di kuda besi. Lebih erat.”
Singaraja, 13 November 2024
TERBUNUHNYA PERLAHAN SEORANG SELIR
Di bawah langit paling lepas itu membujur kaku pasir
Cinta. Sangat mungkin tidak ada kemungkinannya, katamu
O, Nasib menjadi seorang selir, kataku
Cinta hanya setengah di ujung malam. Dan,
Hidup benar benar menderaku berlebihan
Dan tak satupun bintang jatuh menghibur itu di malam terakhir untuk berdoa di hadapan laut yang suci
O, wajah bulan remang yang pelit memintalkan cahaya di rambutmu saat kuurai lembut.
Kau menciumiku dengan kesedihan dan tatapanmu berat. Yang sedih
Merupa bayangan kematianku sendiri paling duka di matamu berair
Yang diantarkan ombak angin dengan dingin menusuk itu sampai ke tulang rusuk
Sementara melepas baju jirah pertaruhanku pada hidup. Tentu. Sesungguhnya paling kecut nasibku ini. Di malam itu
Juga pada setiap pelukan yang lama. Atau sebentar kita beberapa malam
Adalah potongan cinta kecil kecil yang kupungut tanpa rumah
Yang akan tumbuh itu menjadi hutan rimba kesunyian paling lebat di kemudian hari kepadaku
O, perlahan mati aku. Tanpa ampun. Dimana saja. Perlahan
Singaraja, 20 November 2024
WALAUPUN AKU PENGECUT. TAPI AKU INGIN TERUS BERTARUH, BUNG!
Untuk Sutan Syahrir
Manusia akan meninggalkan tanggal hidupnya bersama abu ditiup angin
Atau meninggalkan jejak bayangannya sendiri
Di pohon muda basah gundukkan tanah sebotol air. Tinggal di tanah
Tutup usia itu sambil teler makna,
Atau kosong tanpa tualang yang kering masa muda
“Dan aku memilih pertaruhan!”
Sebelum mati. Kapan saja aku masih hidup, Bung. Percayalah—
Mimpi ku timbun ke Banda Naira bersama perempuan paling kasih
Dan kepada Tuhan,
Benamkan Aku disana kapan aku mati saat kalah-bertaruh tanpa cinta itu
Sunyikan aku di jalan. Sunyikan aku di kapal
“Atau kabulkan doaku; Ia mau diajak ke sana setelah merdeka dirinya dari seorang lelaki yang menawannya. Kalau belum?”
Bersama darah pejuang di masa lalu yang diasingkan. Teteskan saja darahku di sana sendiri di sebuah benteng tua: dengan sunyi. Di tanah
“Kubawa kekalahan sendiri. Hanya sendiri. Bukankah aku selalu begitu, Bung?”
Ketawalah di langit dengan nada mengejek
Tapi berdoalah sesekali untukku,
Kemerdekaan semoga menyertainya segera. Semoga
Singaraja, 19 November 2024.
JALANAN SUNYI DESEMBER
Aku tak begitu siap dengan kesunyian akhir tahun.
Dan sebagaimana pengecut, bawalah aku ke tempat paling rahasia
“Tuhan tak mesti tahu. Atau ia tak mesti tahu!”
Aku ingin bersulang. O, aku ingin bersulang
Buleleng, 18 November 2024
- BACA puisi-puisi dari PENYAIR LAIN
- BACA artikel dan puisi lain dari penulis SONHAJI ABDULLAH