DALAM dunia pewayangan Bali, pengalangkara merupakan bagian pembuka yang memegang peran penting dalam menyampaikan kisah kepada penonton. Dalam sajian wayang kulit Parwa, sesi ini dikenal sebagai Penyacah Parwa, sementara dalam wayang kulit Ramayana disebut Penyacah Kanda. Saya mengartikan kata penyacah berasal dari akar kata nyacah atau ngerecah, yang dalam bahasa Indonesia berarti memotong atau memilah. Hal ini mencerminkan fungsi pengalangkara sebagai sesi dimana seorang dalang memilah segmentasi cerita yang akan dibawakan.
Namun, lebih dari itu, pengalangkara memiliki dimensi yang lebih luas, ia menjadi momen penggerak suara bagi dalang, yakni sebuah momen yang dapat menghidupkan atau memperkuat ekspresi vokal dalang, baik dalam hal intonasi, emosi, maupun komunikasi cerita.
Dalam seni pewayangan Bali, struktur alur sudah memiliki pakem tertentu, dan pengalangkara menjadi bagian baku yang mendukung narasi. Pada tulisan ini, saya ingin menyoroti pengalangkara dalam konteks penggerak suara, sebuah aspek yang sering terlewatkan namun esensial dalam pertunjukan wayang.
Jika kita amati, pengalangkara biasanya terdiri dari empat hingga lima bagian, yang masing-masing memiliki karakteristik nada dan intensitasnya sendiri. Contohnya, dalam wayang Style Bebadungan, bagian pertama dimulai dengan nada rendah, seperti pada kalimat, “Dadia ta pira pinten, gatikunang ikang kala”. Nada ini secara bertahap naik menuju klimaks pada bagian akhir, “Sanghyang Kawiswara murti, tansah amunggel punang tatwa carita” di mana suara dalang mencapai puncak dengan nada tinggi dan bergelora. Ini menciptakan alur dinamis yang tidak hanya menarik secara estetika tetapi juga secara fisik membantu dalang mempersiapkan kekuatan suaranya.
Setelah sesi pengalangkara, dalang biasanya melanjutkan dengan pengalang ratu, yang disampaikan dengan pola lebih lembut dan santai. Fase ini menjadi semacam peregangan vokal setelah eksplorasi nada tinggi di bagian pengalangkara. Dengan pola yang lebih menenangkan, dalang dapat mengatur napas dan memberikan jeda pada pita suara sebelum masuk ke bagian cerita utama.
Pentingnya penggerak suara dalam pengalangkara sejalan dengan kebiasaan para musisi, terutama dalam tradisi vokal. Dalam dunia musik, vokalis sering melakukan latihan vokal sebelum tampil untuk menghangatkan pita suara, seperti humming atau pernapasan terkontrol. Pemanasan ini tidak hanya melindungi pita suara dari ketegangan tetapi juga meningkatkan kualitas suara yang dihasilkan. Demikian pula, seorang dalang yang melalui sesi pengalangkara dengan baik akan memiliki fleksibilitas suara yang optimal, memungkinkan ekspresi nada yang lebih kaya dan bertenaga saat membawakan dialog maupun narasi tokoh wayang.
Dalam konteks pewayangan, pengalangkara juga dapat dipandang sebagai bentuk meditatif untuk seorang dalang. Melalui pengaturan nada dan ritme, dalang tidak hanya mempersiapkan fisiknya tetapi juga mentalnya, membangun koneksi dengan penonton dan menyelami energi cerita yang akan disampaikan.
Pengalangkara, meski terlihat sederhana, memiliki peran yang kompleks dan mendalam. Ia tidak hanya sekadar pembuka narasi, tetapi juga menjadi medium penggerak suara, adaptasi ritmis, dan penghubung emosional bagi dalang. Dalam tradisi pewayangan Bali, detail-detail seperti ini menjadi bukti kedalaman seni, dimana setiap elemen, sekecil apa pun, memiliki makna dan tujuan yang berlapis.
Semoga pengalangkara tidak hanya dipandang hanya sebagai bagian teknis dalam wayang, tetapi juga sebagai elemen yang memadukan seni dan fisiologi dalam harmoni sempurna.[T]
- BACA artikel lain dari penulisI GUSTI MADE DARMA PUTRA