SUATU malam di Umah Pradja—sebuah kedai tempat nongkrong seniman dan anak muda di kota Singaraja—masuklah seorang lelaki muda. Ia seniman tari dan koreagrafer. Ia kerap dipanggil dengan nama Sentul, sebuah nama yang mengingatkan kita pada buah yang bentuknya bulat, kini sangat langka, dan rasanya sangatlah kecut.
Di Umah Pradja sedang ada pergelaran kecil musik keroncong. Namun, kami—saya dan Sentul—malah membicarakan tabuh dan Tari Wiranjaya. Ini bukan tanpa sebab.
Beberapa hari sebelumnya, di ajang Pesta Kesenian Bali (PKB) 2024, tepatnya akhir Juni, Sentul memicu kontroversi dalam duani seni tari di Bali, khususnya di Buleleng.
Sentul dan teman-temannya di ajang PKB saat itu menampilkan garapan Tari Wiranjaya, ciptaan Ketut Merdana. Dan, banyak seniman lain, bukan hanya seniman di Buleleng, tapi juga guru besar dari ISI Denpasar, mempertanyakan garapannya.
Sentul dianggap mengubah gerak tari, kostum dan tabuh Wiranjaya, bahkan ia dituding telah melakukan “perusakan” terhadap tari Wiranjaya dari bentuk “asli”-nya.
Tapi, semua tudingan itu dihadapi dengan kalem saja, bahkan kadang dihadapi dengan dengan ekspresi wajah yang terkesan bodoh-bodoh pintar. Klingas-klingus.
“Dengan garapan ini (yang kemudian menimbulkan kontroversi), saya ingin mempertanyakan, memberi renungan,” kata Sentul.
Renungan apa yang dimaksud Sentul? Ah, tunggu dulu. Mari saya perkenalkan dulu, siapa sesungguhnya Sentul ini.
***
Sentul memiliki nama asli Gede Adi Setiawan. Ia lahir di Desa Tukadmungga, Buleleng, 7 April 1999. Ia belajar menari sejak kecil.
“Saya senang dengan kesenian di umur lima tahun, tepatnya saat menginjak pendidikan TK,” kata Sentul.
Adi Setiawan alias Sentul (paling kiri) saat pertemuan untuk membicarakan Tari Wiranjaya yang kontroversial itu di Dinas Kebudayaan Buleleng | Foto: tatkala.co/Rusdy
Orang pertama yang mengenalkan kesenian kepada Sentul adalah kumpi-nya. Kumpi itu adalah ayah dari kakek.
“Setiap hari kumpi menyuruh saya menari, meski saya tak tahu agem dan cara menari,” ujarnya.
Yang penting, oleh kumpi, ia disuruh bergerak. Dan tentu saja kumpi terus memuji dia meski gerakan-gerakannya tak jelas.
“Biasalah orang tua pasti mengatakan sudah bagus, sudah bagus, sudah bagus,” kata Sentul menceritakan tentang motivasi yang diberikan oleh kumpinya.
Ketika duduk di kelas 2 SD, Sentul didaftarkan ke Sanggar Santhi Budaya di Singaraja. Ia pun masuk sanggar tari bersama teman-temannya.
Sentul mengakui banyak ilmu yang ia dapatkan dalam bidang seni tari di Sanggar Santhi Budaya. “Saya diajarkan oleh Bli Gus Eka (Eka Prasetya, pimpinan Sanggar Santhi Budaya) dan Bli Dewal,” kata Sentul.
Rasa sakit sekaligus asyik karena ngotot belajar dan kenangan lucu dalam bergaul ia dapatkan di sanggar itu. Hingga kemudian ia meneruskan pendidikannya ke jalur formal.
Ia masuk SMKN 1 Sukasada dan memilih jurusan karawitan. Lalu setahun berikutnya, ia ikut Sanggar Seni Dwi Mekar. “Di sanggar itu saya banyak mendapatkan pengalaman dari Bli Jro Olit selaku pemilik sanggar,” cerita Sentul.
Tamat SMK, ia meneruksan kuliah di ISI Denpasar, dan masuk jurusan Pendidikan Seni Pertunjukan. Namun, meski masuk jurusan Pendidikan Seni Pertunjukan, ia lebih banyak bergaul dengan mahasiswa jurusan Seni Tari, Pedalangan dan Karawitan.
Kesukaannya bergaul lintas jurusan, pikirannya menjadi lebih terbuka. Teman-teman satu angkatan dan kakak kelas, misalnya, kerap memberikan banyak ilmu dan cara berpikir tentang berkesenian, melestarikan dan mengembangkan.
“Pemikiran mereka sangat menjadi inspirasi saya hingga saya bawa sampai sekarang,” kata Sentul.
Di kampus ia bersama teman-temannya membuat Grup Vollos, yaitu perkumpulan mahasiswa kelas sendratasik B dan lelaki tangguh dari semua kalangan. Ada mahasiswa jurusan tari dan jurusan pedalangan.
Ia menyebut sejumlah temannya yang kerap memberi inspirasi. Antara lain Arsen, Ucup, Alit dari Tabanan, Deta asal Klungkung, Dibya Krinyi dari Gianyar, Dibya dari Punggul, Dek Po dari Denpasar, dan masih banyak lagi.
Setelah tamat ISI, Sentul mengaku tetap memegang cara-cara berpikir dan proses berkesenian sebagaimana ia dapatkan dalam diskusi dan pergaulan di ISI dengan teman-temannya itu.
Ada beberapa karya yang sempat ia garap, seperti Tari Baris Megat Sot bersama komposer Komang Lanang, Tari Baris Karang Kurung bersama Komang Trisna, Tari Wong Mina, beberapa fragmen tari, dan banyak tarian lagi.
Sentul sepertinya memang suka berdiskusi dan suka berorganisasi atau berkomunitas untuk mengembangkan pikiran-pikirannya dalam berkesenian.
“Dalam berkesenian ini saya, Ucup, dan Arsen menggagas sebuah ruang bertukar fikiran dan berkarya, dengan nama Jansmoni,” kata Sentul.
Tari Wiranjaya Duta Buleleng di PKB 2024 | Dokumentasi Panitia Duta Pementasan GKD, Dharma Pradangga
Di perkumpulan itu banyak hal ia dan teman-temannya lalui dan pikirkan yang mungkin di luar kapasitas mereka sebagai seniman. Lalu di rumahnya di Tukadmungga ia dan teman-temannya membangun perkumpulan juga yang dinamai Semeton Wirasa.
“Dalam perkumpulan ini banyak hal menarik yang saya temukan untuk merangsang saya melantunkan ide-ide dari teman-teman dan saya sendiri,” katanya.
Sekarang Sentul mencoba membuat sebuah pondok seni yang bernama Parasara. Pondok seni ini lebih banyak mendidik penari laki-laki karena, menurut dia, di Buleleng masih sangat sedikit penari laki laki.
***
Pada PKB 2024 di Taman Budaya Provinsi Bali, Sentul menjadi “tulang punggung” Sekaa Gong Darma Pradangga, Desa Tukadmungga, sebagai duta Kabupaten Buleleng, dalam Parade Gong Kebyar Dewasa. Saat itu, duta Buleleng mebarung bersama sekaa gong dari Kabupaten Gianyar. Salah satu garapan yang ditampilkan di PKB itu adalah Tari Wiranjaya.
Adi Setiawan alias Sentul dalam sebuah garapan tari | Foto: Dok. Adi Setiawan
Eh, ngomong-ngomong, bagaimana tentang Tari Wiranjaya di PKB yang kontroversial itu?
“Sebelum pentas di PKB, kita melakukan proses latihan. Nah, sejak proses latihan Tari Wiranjaya itu saya merasa ada hal-hal yang perlu dipertanyakan terkait Tari Wiranjaya itu,” kata Sentul.
Saat latihan, kata Sentul, ketika para penari diminta mencoba menarikan Tari Wiranjaya, ada sejumlah gerak dari beberapa penari berbeda-beda. Sehingga ia merundingkan kembali, gerakan mana yang dipakai.
Setelah disepakati, penggarap menambah bayu gerak atau penegasan gerak tanpa menghilangkan maksud atau makna dari gerak itu. Sehingga terbentuk Tari Wiranjaya yang dipentaskan sekaa gong kebyar dewasa Dharma Pradangga Tukadmungga itu di PKB.
“Memang sedikit agak berbeda dari segi pandangan dan pola lantainya, karena satu sisi tari yang sejatinya tari duet harus dijadikan tari kelompok atau lebih dari dua penari,” kata Sentul.
Lalu berlanjut pada proses ngadungang atau menyingkronkan tari dan gending atau tabuhnya, hingga menjadi satu keutuhan.
“Pada setiap usai latihan saya selalu berpikir tentang betapa hebatnya penglingsir dahulu dalam membuat karya karena banyak sekali gerak gerak maknawi yang menurut saya sangat unik,” ujar Sentul.
Adi Setiawan alias Sentul menunjukkan foto-foto Tari Wiranjaya saat pertemuan untuk membicarakan Tari Wiranjaya yang kontroversial itu di Dinas Kebudayaan Buleleng | Foto: tatkala.co/Rusdy
Sebagaimana diketahui, di media sosial, Tari Wiranjaya garapan Sentul itu mendapat respon beragam dari seniman. Ada yang menganggap Tari Wiranjaya yang digarap Sentul berbeda dengan Tari Wiranjaya asli, terutama kostum dan gelungan. Bahkan, ada yang menyebut Tari Wianjaya garapan Sentul itu sebagai Wiranjaya Thailand, karena gelungannya mirip dengan gelungan atau penghias kepala yang biasa digunakan dalam tari-tarian atau pakaian tradisional di Thailand.
“Dengan adanya kritikan, masukan, dan komentar-komentar itu, saya harap semua ini direnungkan kembali, mana sesungguhnya tari-tarian asli, dan mana sebenarnya hal-hal yang tak boleh diubah. Saya sendiri, sebagai seniman ingin tahu semua itu dengan sejelas-jelaskan agar kami sebagai seniman-seniman muda tak dianggap salah di kemudian hari,” kata Sentul.
Semua hal yang dialami Sentul itu ia anggap sebagai bagian dari suka duka sebagai seniman tradisional di Bali.
Sukanya, kata Sentul, banyak hal menarik yang dialami saat berproses dalam berkesenian, misalnya bagaimana berkaya dengan baik, menikmati proses latihan hingga menjadi rangsangan untuk diri sendiri menikmati hidup.
Dukanya, kata Sentul, ya, itu tadi, banyak hal yang terkadang tidak sesuai dengan jalan pikiran kita, sehingga ada beberapa hal sering menjadi perdebatan yang akhirnya bisa menimbulkan konflik antarteman.
Khusus masalah Tari Wiranjaya itu, bagi Sentul, akan terus ia jadikan bahan renungan dan pelajaran. Bahwa ada hal yang belum disepakati secara jelas, apakah pelestarian berarti sesuatu yang kaku, dan apakah pengembangan dengan mengikuti gerak zaman selalu dianggap sebagai sesuatu yang salah.
“Saya tetap menganggap ini pelajaran bagi seniman, terutama bagi saya. Namun, yang jelas, saya akan berkarya terus,” ujar Sentul, eh. Adi Setiawan. [T]