GEDE Candra Gupta, biasa dipanggil Aan, adalah seniman muda serba bisa. Ia bisa menari, bisa megambel, bisa main bondres, bisa arja, dan bisa teater. Tahun ini ia mencoba ikut lomba bebanyolan tunggal (semacam stand up comedy) dalam ajang festival Bulan Bahasa Bali (BB) VI-2024 di Taman Budaya Provinsi Bali, Selasa, 20 Februari 2024.
Dan, ia meraih juara tiga. Dan, ia senang. Karena ini adalah pengalaman pertama kali ikut lomba bebanyolan tunggal. Biasanya ia main bersama-sama di atas panggung. Kali ini ia sendirian.
“Tentunya sangat senang karena ini merupakan kali pertama mengikuti lomba bebanyolan dan di tingkat provinsi, yang pastinya saya takuti adalah sainganya berat-berat,” kata Aan, usai lomba.
Aan adalah mahasiswa STAHN Mpu Kuturan Singaraja. Ia orang Buleleng asli. Tepatnya, orang Banyuning, sebuah daerah yang memang punya banyak seniman.
Darah seni mengalir deras dalam nadinya. Ayahnya, Mang Epo, adalah pengelola Komunitas Nong Nong Kling yang cukup terkenal di Bali. Kakeknya dari garis ibu adalah seniman drama gong Puspa Anom Banyuning, Sujana alias Jedur (alm). Dan, kini ia jadi penerus yang setia.
Bagaimana persiapannya sebelum lomba bebanyolan?
“Saya membuat materi dari kejadian yang pernah terjadi di kehidupan saya, terutama kehidupan di Buleleng. Saya sampaikan dengan logat yang kental dengan bahasa Blelengan yang terkesan kasar,” kata Aan.
Barangkali karena penggunaan logat Buleleng yang kental itulah ia bisa jadi juara. Namun, selain logat Buleleng yang kental, gestur lucu yang dilakukan di atas panggung juga membuat juri dan penonton menjadi tak bisa menahan tawa.
“Saya menceritakan suatu kejadian yang unik tentang penggunaan bahasa di Buleleng,” kata Aan.
Untuk urusan bebanyolan barangkali memang Buleleng jagonya. Selain Aan yang mendapatkan juara tiga, dalam lomba itu peserta dari Buleleng atas nama I Kadek Yoga Satria Wardana mendapat juara satu. Sementara juara dua diraih I Gede Dika Agastya Ermawan dari Tabanan.
Lomba bebanyolan itu diikuti kalangan umum dan tiga dewan juri kawakan di bidang bebondresan yakni Prof. Dr. I Wayan Sugita, Dr. I Ketut Kodi dan I Ketut Suanda (Cedil). Rata-rata peserta tampil dengan baik dan mampu membawakan gaya atau versi masing-masing daerah.
Pemerintah Provinsi Bali melalui Dinas Kebudayaan (Disbud) Bali menggelar bebanyolan sebagai upaya untuk lebih membumikan basa Bali di masyarakat. Lomba bebanjolan mengangkat tema “Jana Kerthi Dharma Sadhu Nuraga” yang bermakna Bulan Bahasa Bali merupakan altar pemuliaan Bahasa, Aksara, dan Sastra Bali sebagai sumber kebenaran, kebijaksanaan, dan cinta kasih untuk memperkuat jati diri krama Bali.
Prof. Dr I Wayan Sugita selaku juri mengakui dalam pelaksanaan lomba bebanyolan kali ini patut diapresiasi terutama kepesertaan anak-anak atau pemuda dari berbagai daerah di Bali, mereka luar biasa berani tampil di atas panggung untuk melahirkan kelucuan.
“Jadi antusias anak-anak, pemuda yang mau menekuni bebanyolan cukup merata dan penuh semangat saya amati ada pengembangan yang cukup baik, bagi dunia bebanjolan di Bali, terlebih ajang ini dalam membumikan Bahasa Bali,” kata Prof. Sugita yang juga seniman drama gong itu.
Dikatakan, dalam kriteria yang dinilai adalah bahasa, anggah ungguhin basa, kemudian sesuai dengan tema, selanjutnya kemampuan untuk menampilkan kelucuan mampu disajikan dengan baik.
“Dari penampilan anak -anak saya merasakan ada kemampuan untuk menampilkan kelucuan, namun adapula peserta yang susah untuk mengeluarkan kelucuan. Mereka belum mampu menyajikan cara-cara untuk memancing audien untuk ketawa serta penguasaan materi yang disiapkan sebelumnya,” kata Prof. Sugita.
Yang menarik menurut Sugita adalah kepesertaan dari 10 peserta 4 diantaranya mewakili kabupaten Buleleng.
“Kita tahu gaya Bahasa Buleleng sangat komunikatif, kemudian kemampuan penguasaan panggung juga cukup baik, memang kalau lomba bebanyolan kali ini nuansa Buleleng lebih banyak dan saya senang dalam improvisasi mereka tidak berlebihan, syukur dalam konteks bebanyolan kali ini tidak ada yang mengungkapkan kelucuan dengan menggunakan bahasa jorok atau jaruh,“ katanya.
Terkait dengan bibit bebanyolan di Bali, menurut Sugita semakin merata, terlebih kekhasan masing -masing daerah beragam.
“Mulai muncul versi Negaroa, versi Buleleng semakin merata dan sangat bagus kita nikmati, ini mencerminkan potensi kedepan kesenian bebondresan semakin ajeg dan lestari,” ujarnya. [T][Ado]
Editor: Adnyana Ole