GUNUNG Merapi erupsi, hujan deras, tangan saya sedang mengetik. Tulisan ini mungkin akan saya buat seolah-olah serius. Agar yang membacapun jadi ikutan serius. saya menulis ini sembari menunggu rebusan mie instan di dapur.
Di benak saya, hujan-hujan makan mie instan. Nikmat. Entah sejak kapan hujan dan mie instan berteman.
***
Tulisan ini hadir setelah saya membaca tulisan Yudi Setiawan yang berjudul Forum Suluh Tulis: Dari Gamelan, Musik sampai Kebudayaan yang Luntur yang dipublikasikan pada 20 Januari 2024 di tatkala.co. Saya tidak punya komplain mengenai cara menulis Yudi. Tulisannya bagus. Lewat membaca saja, dan saya yang tidak hadir ke Forum Suluh Tulis, saya mampu setidaknya membayangkan apa yang terjadi di sana. Walaupun tentu tidak akan sedetail jika hadir lagsung ke forum tersebut.
Lalu apa yang ingin saya tanggapi?
Saya tergelitik dengan beberapa argumen yang dilemparkan oleh saudara Gigih Alfajar Novra Wulanda dan Kadek Anggara yang menjadi narasumber pada acara itu. Selain itu, pemilihan tema Gamelan Bukan Musik menjadi akar permasalahan yang muncul di otak saya. Jadi tulisan ini semacam kumpulan dari keberatan saya terhadap argumen pada forum itu.
Gamelan bukan Musik?
Saya sebenarnya memiliki ekspektasi yang tinggi akan dasar pemikiran terhadap tema ini. Tema yang kontroversial seperti ini (dalam keyakinan saya) mestinya memiliki dasar pemikiran yang kuat, karena terkesan ingin menyimpulkan sesuatu. Tentunya kesimpulan biasanya hadir dari akumulasi berbagai macam pemikiran dan pertimbangan. Saya ijin untuk mengutip beberapa bagian dari tulisan Yudi yang akan menjelaskan di mana letak keberatan saya.
Sebagai seorang etnomosikolog, Gigih mencoba menjelaskan perbedaan gambelan dengan musik. Menurutnya, musik merupakan gabungan dari bunyi yang memiliki ritme, melodi, timbre, dan tempo. Sedangkan gambelan lebih dari itu. “Gambelan itu beyond dari musik,” katanya percaya diri.
Untuk mengklaim gamelan bukan musik, tentunya harus ditelusuri dulu apa yang disebut musik. Pada kutipan di atas, Gigih sudah berusaha menjelaskan apa definisi musik. Sayangnya definisi yang gigih pinjam untuk mendeskripsikan musik adalah deskripsi yang sederhana dan umum, kurang menjelaskan bagaimana dinamika definisi musik hingga saat ini.
Saya sedikit gambarkan bagaimana ketegangan pada upaya pendefinisian musik yang saya temui di berbagai forum diskusi maupun literatur. ABC of Music (1963) menyebutkan bahwa musik adalah gabungan dari ritme melodi dan harmoni. Lewat definisi tersebut bisa kita gambarkan kalau musik merupakan bunyi yang teratur. Definisi ini lantas menimbulkan persoalan.
Jika musik adalah gabungan dari ritme melodi dan harmoni, bagaimana dengan suara burung, gemericik air dan suara knalpot bermotor? Apakah berarti itu bukan musik? Kemudian apakah bebunyian tersebut tidak disebut musik karena tidak teratur? Pada perspektif siapakah “teratur” ini dibebankan?
Untuk berusaha menjawab hal tersebut, mari kita lihat dua pandangan berbeda tentang intensionalitas pada musik. Edgar Varese (1883-1965) memiliki pendapat bahwa musik adalah “organized sound”. Musik adalah apa yang diniatkan produsen sebagai musik.
Luciano Berio (1925-2003) menyatakan bahwa musik adalah tergantung apa yang ingin kita dengar sebagai musik. Dari pendapat Varese kita bisa melihat kalau intensi produsen yang menentukan itu musik atau tidak. Sedangkan Berio mengatakan musik tergantung dari pendengarnya. Dalam hal ini suara knalpot motor pun bisa disebut sebagai musik tergantung dari intensi produsen maupun pendengar.
Apakah ini menjawab persoalan musik dan bukan musik? Tentu saja tidak sesederhana itu. Pendekatan intensionalitas ini tentunya akan menimbulkan persoalan baru karena tidak menyentuh ranah yang mendalam tentang musik karena sifatnya yang subyektif. Anggap saja kita ganti obyeknya. “Hantu adalah apa yang kita anggap sebagai hantu.” Ini tidak menjawab persoalan mengenai apa itu hantu.
Upaya lain yang sekiranya lebih solutif mengenai definisi musik adalah Andrew Kania yang membuat definisi musik dan merevisinya berkali-kali sebagai upaya pendefinisian yang esensial.
Definisi pertama. Musik adalah (1) bunyi, (2) secara sengaja diproduksi/diorganisasikan, (3) yang sekurang-kurangnya memiliki satu unsur musikal mendasar, seperti nada atau ritme.
Namun definisi ini memiliki kelemahan karena tidak mencakup musik-musik kontemporer. Misalnya karya Toilet Piece/ Unknown (1971) oleh Yoko Ono. Karya berdurasi 30 detik ini merupakan rekaman murni suara flush toilet tanpa diproses sama sekali. Kendatipun tidak memiliki salah satu unsur musik yang disebukan di atas, menurut Kania, Yoko Ono secara sadar merekam suara flush toilet dan diniatkan untuk diperdengarkan sebagai musik yang tentunya perlu dibedakan dengan menyiram toilet tanpa intensi merekam. Kania lalu melengkapi devinisinya.
Musik adalah (1) bunyi, (2) secara sengaja diproduksi atau diorganisasikan, (3) antara yang sekurang-kurangnya memiliki (a) satu unsur musikal mendasar, seperti nada atau ritme, atau (b) untuk diperdengarkan sebagai sesuatu yang memiliki unsur-unsur musikal.
Upaya ini pun masih memiliki kelemahan. Bagaimana dengan kondisi tanpa bunyi? Tanda istirahat misalnya? Atau musik John Cage 4’33 yang tanpa “bunyi”?
Kania pun merevisi kembali definisinya mengenai musik.
Musik adalah (1) segala peristiwa yang secara sengaja diproduksi atau diorganisasikan, (2) untuk didengarkan, dan (3) antara yang sekurang-kurangnya memiliki (a) satu unsur musikal mendasar, seperti nada atau ritme, atau (b) untuk diperdengarkan sebagai sesuatu yang memiliki unsur-unsur musikal.
Kita bisa melihat bagaimana ketegangan dalam upaya pendefinisian musik. Sehingga penentuan mana yang bukan musik dan mana yang musik bukanlah hal yang sederhana. Tentunya definisi yang sederhana pun tidak bisa secara kongkrit menentukan mana yang musik dan mana yang bukan musik. Belum lagi definisi-definisi lain seperti “satu-satunya kebenaran adalah musik”, “tanpa musik, hidup adalah suatu kesalahan” yang ikut menyumbang kebingungan dalam upaya mendefinisikan musik. Mari kita simak kembali argumen saudara Gigih.
Gigih percaya bahwa gambelan telah melampui dan levelnya di atas musik. Sebab, menurutnya, jika berbicara gambelan, maka kita tidak bisa lepas dari yang namanya nilai, makna, dan filosofis. Bahkan, sambungnya, gamelan merupakan salah satu alat atau jalan manusia mendekatkan diri kepada Tuhan.
Menurut saudara Gigih gamelan melampaui musik karena terdapat unsur nilai, makna dan filosofis bahkan sebagai jalan manusia mendekatkan diri kepada Tuhan. Argumen ini seolah beranggapan, musik di luar gamelan luput dari (tidak memiliki) unsur-unsur yang disebutkan Gigih di atas. Saya kok ragu. Kita bisa melihat beragam filosofi yang muncul dari karya 4’33 John Cage. Musik gereja juga diperuntukkan sebagai sarana untuk menyembah dan bersyukur kepada Tuhan. Jadi apa yang saudara Gigih maksudkan sebagai melampaui? Pandangan saya, argumen saudara Gigih lebih condong kepada permasalahan politik identitas daripada membicarakan hal yang esensial mengenai perbedaan gamelan dan musik.
Gamelan Langka (?) dan Desakralisasi
. . . . Gigih menyampaikan kesannya kembali berkunjung ke Bali setelah 13 tahun lamanya. Saat ia menginjakkan kaki di Denpasar, katanya, ia kesulitan mendengar bunyi-bunyi gambelan.
“Hanya sekali saya mendengar suara gambelan di Bali, ketika di Batubulan. Itu pun diputar rekaman digital,” sambungnya. Atas kesulitan mendengar suara gambelan tersebut, kemudian muncul pertanyaan-pertanyaan yang memenuhi kepalanya. “Di mana letak gambelan sekarang? Apakah hanya di Pura?”
Pertama, saya sebagai orang Bali yang tinggal di Jembrana (yang tentunya intensitas orang bermain gamelan tidak seintens Denpasar maupun Gianyar) pun masih sering mendengar suara gamelan. Di Bali (setidaknya sampai saat tulisan ini ditulis) anak-anak, orang tua, pria dan wanita bermain gamelan. Tiap-tiap banjar bahkan mempunyai gamelan yang minimal seminggu sekali pernah dimainkan. Belum lagi gamelan-gamelan yang ada di sanggar, pun gamelan milik pribadi.
Pertanyaan yang tepat bukanlah “Di mana letak gamelan sekarang?” melainkan “Saudara gigih mainnya kemana saja?”
Dengan pernyataan ini, idealnya saudara Gigih mempertimbangkan kembali argumen mengenai gamelan yang langka ini. Juga bukankah menjadi kontradiktif untuk saudara Gigih menyampaikan argumen “gamelan bukan musik” dengan kenyataan yang saudara Gigih akui sendiri yakni jarang mendengarkan gamelan (Bali)?
Untuk menghindari desakralisasi tradisi Bali, perlu dilakukan dengan pendekatan-pendekatan yang mendasar. Dimulai dengan diskusi kebudayaan, melakukan berbagai kajian-kajian yang relevan, sehingga upaya untuk memahami nilai dan makna tradisi dan budaya tersebut tidak mengalami desakralisasi. Dengan demikian, keterhubungan pengetahuan antara objek dan orang yang membutuhkan tidak terputus.
Saya setuju dengan argumen bahwa untuk menjawab sebuah permasalahan tentunya perlu dilakukan pendekatan yang mendasar, diskusi kebudayaan, serta kajian yang relevan. Demkian juga untuk menjawab permasalahan gamelan itu musik atau bukan musik tentunya diperlukan upaya-upaya di atas untuk memahami nilai dan makna sehingga bisa ditemukan kesimpulan walaupun masih bersifat upaya yang bisa didebat. Karena tidak bisa hal tersebut disimpulkan berdasarkan datang ke Bali dan hanya melihat fenomena di permukaan.
Saya ijin mengutip kembali.
Sedangkan menurut Kadek Anggara, musik karawitan mempunyai pengetahuan dan tata kramanya sendiri. Hal tersebut berbeda dengan seni musik yang bisa dan bebas dimainkan kapan dan di mana saja. Sehingga, di dalam kebudayaan Bali, musik karawitan masih digunakan dalam berbagai kegiatan yang berkaitan dengan ritual keagaman.
Bagi saya argumen saudara Anggara (akademisi) agaknya bermasalah. Seolah menunjukkan esklusifitas gamelan dan bagaimana musik menjadi sangat sederhana dengan kalimat “bebas dimainkan kapan dan di mana saja”.
Apakah gamelan Bali ekslusif untuk ritual ke agamaan? Mungkin Anggara perlu menonton Yudane, atau Dewa Alit. Putu Septa? Atau Kadapat mungkin?.
Apakah musik bisa dimainkan kapan dan dimana saja?
Belum tentu. Ada yang namanya site-spesific music yang merespon ruang-ruang tertentu. Atau musik gereja yang memang dimainkan untuk kepentingan gereja yang saya rasa juga memiliki tata krama dan pengetahuannya sendiri.
Menurutnya, jika gambelan hanya digunakan untuk kegiatan keagamaan saja, maka semakin banyak orang yang kesulitan mendengarkan suara-gambelan, seperti dirinya. Tetapi, katanya lagi, jika gambelan dijadikan tontotan (kebutuhan pariwisata) bukankah gambelan akan mengalami desakralisasi?
Saya curiga, saudara Gigih sama sekali tidak memaknai gamelan di Bali sebagaimana mestinya. Tidak semua gamelan Bali muncul dan digunakan sebagai sarana ritual. Jegog misalnya, ia lahir dari tradisi agraris masyarakat Jembrana yang jauh dari hal yang sifatnya ritus dan sakral. Atau gamelan rindik yang sekarang (sayangnya) digunakan sebagai penyambut tamu dan pengiring tarian joged.
Jadi gamelan mana yang saudara Gigih maksud?
Pada kutipan di atas dapat kita lihat bagaimana saudara Gigih membenturkan antara gamelan untuk kegiatan keagamaan dan kegiatan pariwisata sebagai sebuah hal yang terpisah, bahkan bertolak belakang. Gong kebyar sebagai sebuah barungan gamelan yang populer di Bali pun hadir di kedua ruang tersebut, dan tidak ada permasalahan langka maupun desakralisasi. Kalau boleh saya sarankan Mas Gigih bisa tinggal di Bali agak lama untuk menyempurnakan argumen mengenai gamelan bukan musik maupun sakral dan desakralisasi pada gamelan Bali.
Sepertinya penutup
Jadi apa solusi untuk gamelan?
Bagi saya pilihan untuk gamelan tidak sesederhana gamelan untuk Pura atau gamelan untuk pariwisata. Ada tawaran pilihan lain yang bagi saya lebih waras untuk menjawab gamelan harus kita apakan. Gamelan penuh dengan pengetahuan yang tidak hanya sekedar wacana dan makna filosofis semata. Itu mengandung pengetahuan esensial yang diturunkan sebagai produk kebudayaan. Pengetahuan yang mengendap di dalamnyalah yang bisa kita manfaatkan untuk menjawab kegelisahan apapun yang kita temui pada permasalahan gamelan.
Singkatnya, kita gali pengetahuannya dan kita kembangkan untuk masuk ke wacana yang global sehingga gamelan tidak berakhir menjadi barang antik yang tentunya akan dijual oleh “pahlawan kesiangan”.
Pandangan bahwa gamelan bukan musik (sehingga itu eksklusif) memunculkan tegangan bahwa ada barier yang membatasi silang pengetahuan antara musik dan gamelan. Yang lebih berbahaya lagi adalah rasa superioritas yang sayangnya tidak mendasar. Merasa adiluhung, merasa mulia, merasa nilai kebudayaan kita paling sempurna adalah upaya menutup diri dan optimis berlebih yang biasanya membuat kita enggan belajar, enggan mempelajari, jarang mendengar namun selalu ingin didengar.
Silang pengetahuan tentu diperlukan sebagai upaya penyempurnaan, atau bahkan menguji, “Jangan-jangan kita tidak se-adiluhung itu.”
***
Hujan reda, mie instan saya direbus kelamaan, alhasil saya memilih untuk tidur. [T]
- Catatan: Tulisan ini adalah bagian dari polemik Gamelan Bukan Musik. Untuk mengetahui secara lebih lengkap, baca juga artikel di bawah ini: