HARI IBU yang diperingati setiap tanggal 22 Desember diharapkan tidak hanya sebuah selebrasi saja. Momen ini hendaknya dipakai untuk memuliakan ibu yang telah melahirkan umat manusia. Jasa seorang ibu sangat besar. Mereka menghabiskan waktu sembilan bulan mengandung janinnya.
Setelah lahir, ibu merawatnya dengan penuh kasih-sayang. Ibu selalu ada dalam membesarkan anaknya hingga menjadi dewasa. Memuliakan ibu bukan hanya pada saat hari ibu saja. Hal ini tidak bermaksud mengesampingkan peran ayah dalam membesarkan dan mendidik anak-anaknya.
Memuliakan ibu sebenarnya berkaitan dengan ideologi dari suatu masyarakat. Ideologi tersebut diibaratkan sebuah lensa yang dipakai untuk melihat masyarakat, isu-isu sosial, segala bentuk aktivitas, dan kejadian-kejadian yang ada dalam masyarakat.
Secara umum ideologi dipakai untuk menentukan kepercayaan, nilai-nilai, dan menkonstruksi prinsip-prinsip personal melalui kehidupan sehari-hari. Thompson (1984:14) menyatakan ideologi tidak dapat dipisahkan dengan kajian bahasa.
Dari perspektif kebahasaan dapat dicermati ideologi. Mengkaji ideologi berarti mengkaji penggunaan bahasa dalam kehidupan sosial. Melalui bahasa direfleksikan ideologi suatu masyarakat. Melalui kajian bahasa dapat ditentukan kekuasaan.
Teori ideologi memandang bahwa bahasa bukan sekadar struktur yang dapat digunakan untuk komunikasi; tetapi dengan pengkajian bahasa terungkap fenomena sosial suatu masyarakat.
Penghormatan kepada ibu dalam masyarakat dinyatakan dalam bentuk ungkapan, misalnya “surga ada di telapak kaki ibu”. Ungkapan ini dapat dimaknai bahwa seorang anak hendaknya menghormati seorang ibu. Ibu yang sudah membesarkan patut diperlakukan secara manusiawi.
Hal ini bukan berarti seorang ibu akan menentukan apakah anaknya akan mendapat surga atau tidak. Ungkapan itu hendaknya jangan dimaknai sedangkal itu. Surga dicari saat kematian kelak (berdasar pada ajaran agama tertentu) tetapi yang lebih penting adalah pencarian surga duniawi dengan memperlakukan ibu dengan layak, membahagiakan ibu yang telah membersarkan kita. Itulah esensi surga dunia bukan surga-surga yang lain.
Ada ungkapan dalam masyarakat seperti “doa ibu sepanjang jalan”. Jika ini dikaji dari ilmu semantik, ungkapan ini merupakan metafora. Kovecses (2010) mendefinisikan metafora itu kiasan untuk membandingkan sesuatu dengan yang lain. Metafora konseptual adalah a systematic set of correspondences between two domains of experience (Lakoff & Johnson, 2003).
Metafora konseptual menghubungkan satu domain dengan domain yang lain. Salah satu domain lebih konkret dari pada domain yang lain (lebih abstrak). Korespodensi ini dibangun untuk memahami domain yang abstrak melalui pemahaman domain yang konkret.
Domain yang konkret disebut ranah sumber dan domain yang abstrak disebut ranah sasaran. Contoh, life is a journey. Ungkapan life is a journey terdapat ranah sumber dan sasaran. Kata journey ‘perjalanan’ termasuk ranah sumber, dan kata life ‘hidup’ adalah ranah sasaran. Maka dapat dipahami bahwa kata life ‘hidup’ memiliki persamaan dengan kata journey ‘perjalanan’.
Hidup memiliki titik awal dan akhir; lahir dan mati. Perjalanan memiliki titik awal dan tujuan; tempat awal perjalanan dan lokasi yang akan dituju. Metafora konseptual mencakup transfer dari ranah sumber (source domain) ke ranah sasaran (target domain).
Ranah sumber digunakan untuk memahami konsep abstrak dalam ranah sasaran. Ranah sumber biasanya berupa hal-hal yang didapat dari kehidupan sehari-hari, ranah sumber bersifat konkret.
Ungkapan (metafora) “doa ibu sepanjang jalan”. Doa ibu merupakan ranah sasaran. Ranah sasaran bersifat abstrak. Sesuatu yang bersifat abstrak agar mudah dipahami diperlukan ranah sumber yang bersifat konkret untuk menjelaskan ranah sasaran.
Doa seorang ibu dimetaforakan dengan jalan. Jalan itu tentu ada titik awal dan titik akhir. Hal ini dapat dimaknai bahwa doa ibu itu ada awal dan ada akhirnya. Padahal doa seorang ibu tidak dapat diukur panjangnya.
Seorang ibu selalu dan terus berdoa tiada henti untuk keselamatan dan keberhasilan anaknya. Ibu selalu berdoa apabila anaknya mendapatkan musibah atau kegagalan selalu berdoa dan terus berdoa agar anaknya kuat menghadapi cobaan hidup. Hal inilah sebenarnya makna yang terkandung dari metafora “doaibu sepanjang jalan”.
Oleh karena itu, akan lebih tepat jika ungkapan itu diperbaiki menjadi “doa ibu tidak sepanjang jalan”. Hal ini menyiratkan makna bahwa ibu selalu berdoa untuk kebaikan, keberhasilan, dan keselamatan anaknya. Ibu selalu berdoa untuk anaknya tidak mengenal lelah dan tidak mengenal waktu. Doa terbaik untuk para ibu dari anak yang telah dibesarkannya.[T]