DALAM dunia sulap, kita mengenal Limbad—sosok yang memperkenalkan citranya sebagai seorang magician yang misterius, tidak pernah mengeluarkan sepatah kata di depan publik, namun selalu memberi rasa takjub kepada para penonton tatkala menyelesaikan pertunjukkannya. Bahkan hingga kini aksi Limbad selalu ditunggu oleh khalayak ramai—pertunjukkan apa lagi ya yang akan disuguhkan?
Sama halnya dengan Limbad, Gibran Rakabuming Raka (cawapres nomor urut 2) kerap kali mempertontonkan aksi diamnya di depan publik. Meski telah memasuki masa kampanye—waktu yang diperbolehkan oleh penyelenggara untuk mempublikasikan visi, misi, dan citra, tampaknya Gibran memilih untuk banyak diam dan memberi kesempatan timnya untuk memaparkan visi dan misinya apabila ia terpilih sebagai pemimpin bangsa. Agak membingungkan memang.
Memang ada sebuah adagium yang mengatakan “diam adalah emas”, tetapi dalam konteks kontestasi apa yang dilakukan Gibran adalah hal yang tidak tepat. Justru di masa kampanye, seorang Gibran harus memanfaatkan momentum ini untuk secara terang memaparkan visi dan misinya kepara rakyat Indonesia. Langkah diam yang dilakukan Gibran tidak saja menunjukkan bahwa dirinya tidak menguasai visi dan misi yang diusungnya, tetapi memberi preseden buruk bagi iklim demokrasi Indonesia.
Ancaman Demokrasi
Gimick dalam politik adalah gincu atau pemanis dalam ruang-ruang demokrasi elektoral. Gimick menjadi penting dalam rangka menggaet ketertarikan pemilih, tapi perlu disadari bahwa gimick bukanlah substansi utama.
Hal paling utama dalam konteks demokrasi elektoral adalah bagaimana calon pemimpin mampu men-delivery ide dan gagasannya ke hadapan publik, dan dalam waktu bersamaan publik dapat mempertanyakan sekaligus menguji kematangan dari gagasan yang dibawa oleh calon pemimpin bangsa, setidak-tidaknya lima tahun ke depan.
Alih-alih gagasan menjadi diskursus publik yang mampu berkembang, diamnya Gibran justru memberi pertanyaan besar kepada publik—apa sebenarnya gagasan yang baru dari calon pemimpin yang digadang-gadang sebagai pemimpin muda masa depan ini?
“Saya datang yang debat resmi”
Belakangan Gibran pun menegaskan sikapnya bahwa dirinya hanya akan datang pada saat debat resmi saja, tanpa alasan yang jelas. Artinya ia hanya akan menghadiri debat yang akan diselenggarakan oleh KPU—belakangan format debat juga menjadi polemik publik. Meski dilaksanakan sebanyak 5 (lima) kali, sudah barang tentu sesi debat yang diselenggarakan oleh KPU tidak mampu memuaskan dahaga rakyat dalam mengakses pikiran-pikiran dari masing-masing pasangan calon.
Di luar sesi debat yang disiapkan KPU, banyak kelompok dan media yang menyediakan ruang-ruang tersebut. Misalnya Perserikatan Muhammadiyah yang berhasil menyelenggarakan dialog publik bersama ketiga pasangan calon (minus Gibran tentunya). Selanjutnya adalah Dialog Interaktif yang diselenggarakan oleh TV One, Gibran kembali tidak hadir dalam kesempatan tersebut.
Dalam kanal YouTube Prof. Rhenald Kasali yang berdialog dengan Okky Madasari, disebutkan terdapat lima mitos di Indonesia saat ini, salah satunya adalah mitos pemimpin muda. Dalam KBBI disebutkan bahwa mitos sendiri adalah sebuah cerita legendaris atau segala sesuatu yang dipercaya oleh masyarakat kebenarannya, tetapi sesungguhnya tidak benar.
Kembali ke konteks mitos pemimpin muda, bahwa pemimpin muda dianggap sebagai sosok yang paling tepat memimpin, kemudian paling memahami problematika yang dihadapi oleh generasi muda, tentu ini bisa dipertanyakan. Apabila pemimpin muda lahir dari proses yang organik, tentu hal tersebut bisa saja diyakini. Sebaliknya, apabila pemimpin muda lahir dari proses yang tidak etis dan lekat dengan nepotisme, apakah hal tersebut bisa dipercaya?
Gibran harus memahami bahwa publik akan mampu mengetahui kemampuan dan seberapa jauh gagasannya apabila diutarakan langsung olehnya. Memilih untuk tidak menjawab setiap pertanyaan yang dilayangkan kepadanya, melempar tanggung jawab untuk menjawab pertanyaan kepada tim sukses, hingga upaya menghindari untuk datang dalam setiap kesempatan debat atau dialog yang diberikan oleh kelompok masyarakat atau media justru mempertebal keragu-raguan publik terhadap kemampuannya sebagai cawapres.
Oleh karenanya, menuju Pemilu 2024 marilah kita bersama-sama menyerap informasi sebanyak mungkin tentang ide dan gagasan dari masing-masing pasangan calon. Jadikan informasi tersebut sebagai bahan pertimbangan utama dalam menentukan pilihan terbaik. Dan jangan sampai gimmick menjadi alasan utama untuk memilih. Kalau begitu terus, kapan demokrasi Indonesia akan berkualitas? [T]
- Baca esai-esai politikTEDDY CHRISPRIMANATA PUTRAlainnyaDI SINI