BUAT sebagian besar masyarakat Indonesia, nama Prabowo Subianto adalah nama yang tidak asing. Sosok yang dipercaya memimpin Kementerian Pertahanan RI di dalam Kabinet Indonesia Maju di bawah kepemimpinan Presiden RI, Joko Widodo.
Nama Prabowo kembali jadi pembicaraan publik di tengah perhelatan demokrasi elektoral di Indonesia. Oleh Komisi Pemilihan Umum Republik Indonesia (KPU RI), Prabowo Subianto kembali ditetapkan sebagai calon presiden yang akan berkontestasi dalam Pemilu 2024 mendatang—benar sekali, ini sudah menjadi kali ketiga Prabowo Subianto menjadi calon presiden dalam pemilu.
Berbeda dengan pemilu sebelum-sebelumnya, Prabowo lebih lekat dikenal dengan sosok yang tegas, memiliki pendirian yang teguh, hingga pantang menyerah. Hal ini tidak terlepas dari latar belakangnya sebagai purnawirawan tentara. Namun dalam menghadapi pemilu hari ini, tampak Prabowo menggunakan strategi yang berbeda.
Jika dalam pemilu sebelumnya kesan tegas sangat ditonjolkan, kini justru sebaliknya. Prabowo memilih untuk mencoba mengikuti perkembangan zaman, sesuai apa yang diminati oleh gen Z hari ini. Istilah ‘gemoy’ pun menjadi salah satu strategi dalam rangka pemenangan Prabowo Subianto yang bisa dikatakan sudah sangat berpengalaman sebagai peserta pilpres.
‘Gemoy’ adalah istilah yang digunakan untuk menggambarkan suatu hal yang menggemaskan—celakanya pihak Prabowo telah berhasil mengkooptasi sekaligus menyebarluaskan citra ini di masyarakat. Citra ini pun diperkukuh dengan menyebarkan gambar diri yang dimodifikasi menggunakan teknologi AI, makin kokohlah citra gemoy dilekatkan pada diri Prabowo Subianto.
Citra ini sedikit tidaknya telah berhasil membuat generasi sekarang lupa bahwa capres satu ini memiliki latar belakang militer. Namun, di balik keberhasilan pihak Prabowo dalam membangun citra gemoy di tengah masyarakat, terdapat pergeseran yang terjadi dalam ruang-ruang demokrasi bangsa.
Politik Pasar
Pergeseran yang terjadi bukan mengarah menuju hal-hal lebih baik, justru sebaliknya. Menonjolkan citra diri melalui perubahan kepribadian yang mulanya dikenal sebagai sosok yang tegas, kemudian merebranding diri menjadi seorang yang menggemaskan tentu tidak memberikan kabar baik kepada alam demokrasi Indonesia. Dalam politik elektoral, rakyat membutuhkan pemimpin yang mampu menyampaikan visi dan misinya kepada masyarakat secara meyakinkan.
Tidak hanya itu, calon pemimpin bangsa diharapkan dapat terlibat aktif dalam diskursus-diskursus publik yang kemudian dapat dielaborasi oleh calon-calon pemimpin bangsa. Apabila calon-calon pemimpin bangsa mampu melakukan itu, maka demokrasi Indonesia berhasil mewujudkan partisipasi bermakna, tidak hanya sekadar memandang rakyat sebagai objek saja.
Namun, realitas politik hari ini yang ditunjukkan pihak Prabowo justru sebaliknya. Citra gemoy yang diglorifikasi di banyak media tentu tidak menimbulkan diskursus yang memberi dampak konstruktif bagi bangsa. Sebaliknya oleh pihak Prabowo, citra gemoy justru diidentikkan kepada sosok yang cocok dan layak memimpin bangsa Indonesia.
Tentu ini merusak substansi dari partisipasi bermakna, karena calon pemimpin hanya menyajikan tontonan yang menarik dan kekinian kepada rakyat tanpa melibatkan rakyat lebih jauh lagi—misalnya elaborasi aspirasi rakyat. Pertanyaan selanjutnya, apakah sosok yang gemoy dapat langsung dikatakan sebagai sosok yang layak memimpin Indonesia dengan ruet-nya permasalahan yang dimiliki? Ayolah jangan tertipu citra yang semu, karena citra hanyalah lapisan dangkal dari proses politik elektoral.
Peran Sentral Pemilih
Penggunaan istilah ‘gemoy’ dan dipercantik melalui teknologi AI sebagai materi kampanye pihak Prabowo sudah pasti menyasar pemilih muda. Menurut data KPU RI jumlah pemilih muda sebesar 115.629.247 jiwa atau sekitar 56 persen dari total jumlah pemilih dalam Pemilu 2024.
Menggunakan strategi semacam ini tentu bukanlah hal yang salah, menurut saya justru pihak Prabowo selangkah lebih jauh dibanding calon lainnya, setidaknya dalam membaca demografi pemilih. Tetapi, apabila pembacaannya hanya berakhir pada generasi muda hanya sebagai pemilih yang tidak perlu dilibatkan lebih jauh, tentu ini adalah hal yang sangat keliru.
Berangkat dari jumlah, sudah tentu generasi memiliki kekuatan yang besar dalam menggalang wacana-wacana politik yang dapat digunakan menguji calon-calon pemimpin bangsa yang kini tengah berkampanye keliling Indonesia. Keresahan-keresahan yang dirasakan oleh generasi perlu untuk dielaborasi bersama, kemudian disuarakan sehingga para calon pemimpin bangsa memahami bahwasannya citra politik hingga konten joged-joget sama sekali tidak menjawab permasalahan.
Generasi muda yang memiliki hak pilih hingga 56 persen ini harus menyadari bahwa citra yang dibangun oleh calon-calon pemimpin bangsa hanyalah gincu belaka, perlahan akan lenyap seiring dengan kekuasaan yang sudah berada di genggaman—belajarlah dari pengalaman bahwa kekuasaan sering bikin orang lupa diri, hehe. [T]
- Baca esai-esai politik TEDDY CHRISPRIMANATA PUTRA lainnya DI SINI