Judul: Cangkit Den Bukit – Pupulan Puisi
Penulis: Komang Sujana
Penerbit: Mahima Institute Indonesia
Cetakan Pertama: Februari, 20923
ISBN : 978-623-5435-04-6
Tebal: iv + 70 halaman
PUISI MERUPAKAN REFLEKSI HATI. Begitu pula dengan antologi puisi berjudul Cangkit Den Bukit karya Komang Sujana. Buku ini merefleksikan sejumlah hal berkenaan dengan personal, komunal, serta institusional penulis. Dalam hal ini, ada sejumlah fenomena yang bisa dicermati serta dimaknai sebagai bentuk apresiasi terbitnya buku ini.
Untuk memaknai buku Cangkit Den Bukit perlu dilandasi dengan pemikiran posmo agar mendapatkan pemaknaan melebihi batas positifistik. Sejumlah paradigma, seperti mimetis, heuristik, dan hermeneutik tentunya diperlukan untuk menelisik karya ini. Perlu digunakan sejumlah teori, salah satunya teori semiotika untuk membahas lebih jauh serta dekonstruksi untuk mendapatkan makna dari sudut pandang berbeda. Dalam hal ini, pembahasan akan dilakukan dari dua aspek, yaitu (1) bentuk material dan (2) makna parsial sebagai berikut.
Bentuk Material
Membicarakan bentuk tidak bisa dilepaskan dari material pembangunnya. Dalam hal ini, buku Cangkit Den Bukit dibangun dari sejumlah unsur yang berasal dari teks puisi serta unsur dari konteks puisi tersebut.
Pertama, unsur yang berasal dari teks puisi menunjukkan penggunaan bahasa Bali yang lumbrah dan beberapa menggunakan bahasa yang arkais. Seperti penggunakan kata ‘umung’ yang berarti ramai pada puisi “17 Agustus Mangkin” termasuk bahasa yang arkais. Selanjutnya, penulis banyak menggunakan diksi dengan gaya bahasa pararelisme, seperti pada puisi “Peteng” kata ‘wantah’ yang berarti ‘hanya’ diulang berkali-kali pada setiap alenia. Aliterasi dan Asonansi juga dipraktikan dalam sejumlah puisi, salah satunya pada puisi “Politik” dengan aliterasi konsonan [K] yang diulang-ulang kemudian pada puisi “Nundung Pandung” dengan asonansi vokal [U] yang diulang-ulang.
Sebagian besar puisi menunjukkan fenomena sinekdoke dengan menghadirkan sebagian objek atau subjek sebagai perwakilan utuh dari puisi tersebut, diantaranya: (1) dalam puisi “Lovina” dihadirkan sejumlah simbol laut serta icon khas Pantai Lovina yaitu lumba-lumba, (2) dalam puisi “Ibu” penulis menghadirkan sosok Oka Rusmini sebagai panutan dengan ciri khas emansipasi wanitanya ‘ngigelang emansipasi’, (3) dalam puisi “Kober Merah Putih lan Barak” penulis menghadirkan protes terhadap perlakuan Bendera Merah Putih atas bendera lain.
Tipografi tiap-tiap tulisan menunjukkan keseragaman, normatif, serta teratur. Pada tiap akhir puisi ditambahkan tempat atau tanggal pembuatan puisi mencerminkan adanya kesinambungan rantai-rantai ingatan penulis terhadap karyanya.
Kedua, unsur yang berasal dari konteks puisi ini berkaitan dengan si penulis. Penulis merupakan seorang guru bahasa daerah (Bahasa Bali) sehingga tulisannya banyak berlantar dunia pendidikan, seperti puisi “Malajah Jumah” yang berisi tentang belajar daring masa pandemi, “Kesaman” yang berisi tentang liburan semesteran, dan “Suksma Guru” yang berisi ucapan Hardiknas.
Selanjutnya penulis memiliki keahlian bernyanyi tradisional (Tetembangan), hal ini mempengaruhi sejumlah puisi yang bernafaskan ‘tembang’, diantaranya puisi “Gitanjali” yang berisi tentang nyanyian untuk memohon kedamaian, puisi “Gitanjali (2)” berisi cuplikan pupuh-pupuh yang lumbrah di Bali.
Penulis banyak menulis pada masa pandemi Covid-19 seputar tahun 2020 hingga 2022, oleh sebab itu sejumlah puisi juga menunjukkan kondisi saat pandemi, diantaranya puisi “Covid Siangolas” yang berisikan tentang kesedihan saat pandemi melanda, puisi “Malajah Jumah” yang berisi tentang kondisi pendidikan saat pandemi, dan puisi “PPKM” yang isinya tentang himbauan saat pandemi. Penulis terlihat terburu-buru membuat puisi, dengan interval waktu tahun 2022 penulis banyak menyelesaikan puisi-puisi (rata-rata dua sampai tiga puisi perbulan).
Dari kedua material tersebut, Cangkit Den Bukit dapat menunjukkan bentuknya sebagai sinekdoke dari penulis serta kegundahan penulis pada kondisi yang ia alami saat menulis puisi-puisi tersebut. Kesan indah banyak disajikan berkaitan dengan lango yang sering dinikmati penulis lewat kemahirannya bernyanyi tradisional.
Makna Parsial
Memaknai puisi hendaknya memperhatikan sekuen-sekuen puisi secara utuh serta susunan-susunan puisi terhadap buku tersebut. Misalkan dalam sejumlah sekuen terdapat kata-kata keceriaan tentu puisi ini mengandung unsur kebahagiaan, begitu sebaliknya. Dalam Cangkit Den Bukit sekuen-sekuen tersebut dapat dimaknai dalam pemaknaan denotatif, konotatif, maupun ideologis sebagai berikut.
Pertama, makna denotatif dari Cangkit Den Bukit dapat dilihat dari arti harfiahnya. ‘Cangkit’ berarti tipuan dengan kata-kata yang ambiguitas dan ‘Den Bukit’ berarti ada di sebelah utara bukit atau sebutan Kabupaten Buleleng. ‘Cangkit Den Bukit’ secara denotatif dapat dimaknai sebagai “Tipuan dengan kata-kata ambiguitas ala Den Bukit”.
Kedua, makna konotatif dari Cangkit Den Bukit dapat diamati dari makna ‘Cangkit’ yang bertujuan untuk bergaul dengan bercandaan dan ‘Den Bukit’ yang berarti Buleleng. ‘Cangkit Den Bukit’ secara konotatif dapat dimaknai sebagai “Cara bergaul ala Buleleng yang mengedepankan bercandaan”.
Dalam hal ini, pemaknaan atas Cangkit Den Bukit tidak bisa dilepaskan dari keutuhan karya tersebut. Mulai dari sampul yang menyajikan pemandangan laut dengan pura di sebelahnya dapat dimaknai sebagai bentuk kecintaan penulis terhadap hal-hal yang indah, keinginan penulis yang luas seperti lautan untuk menerbitkan buku ini, doa-doa penulis yang disimbolkan lewat pura dengan meru bertumpang 11.
Selanjutnya, puisi yang disusun berdasarkan bulan jadi yang berurutan kemudian puisi pertama yang dibuat (berangka tahun 2012) ditaruh paling belakang sekaligus menjadi judul buku Cangkit Den Bukit dapat dimaknai sebagai tonggak awal penulis dalam menciptakan tulisan.
Muatan-muatan yang ringan, lugas, dan kontekstual dalam tiap-tiap puisi dapat dimaknai sebagai bentuk penjelmaan penulis yang bersahaja di dalam tulisannya. Selain itu, buku ini terlalu banyak menawarkan keindahan sehingga tidak mencerminkan Buleleng sebagai kota yang ‘lugas’ dengan perkataan yang ‘keras’ namun hatinya yang tegas tanpa bahasa muslihat atau Macangkitan, penulis menghadirkan antitesis dirinya.
Ketiga, makna ideologis dari Cangkit Den Bukit berkenaan dengan sejumlah pengetahuan yang cobak dimasukan, disajikan, dielaborasi ke dalam sejumlah karya. Pengetahuan-pengetahuan tentang sejumlah tempat di Kabupaten Buleleng, sejumlah suasana religius kepercayaan masyarakat, serta keyakinan penulis terhadap tulisannya.
Tulisan-tulisan tersebut ada yang saing berkaitkan, mengaitkan diri, bahkan bertentangan satu sama lain sebagai ideologi penulis yang menginginkan karyanya lahir. Selain hal tersebut di atas, perlu kiranya penulis membungkus sebagian kecil puisinya agar menimbulkan rasa penasaran bagi pembaca untuk membuka sekuen demi sekuan yang disajikan; ibaratnya kita diberikan kado yang sudah terbuka, maka ada hal yang kurang ketika kita memaknai hadiah tersebut. Penulis vulgar dalam membahasakan puisi — ia teringat nyanyian tradisional Bali yang jarang menggunakan kias.
Akhirnya buku ini terbit sebagai individu yang mandiri dan siap untuk menantang kerasnya dunia. Selamat Bli Mang Zadam! [T]