Ida Ayu Lakmita Dewi (2019) pernah mempublikasi hasil riset tentang cerita rakyat Bali Age pada jurnal Kajian Bali volume 09, nomor 02, Oktober 2019 menegaskan bahwa teks narasi yang terdapat dalam cerita rakyat acapkali hanya dipandang sebagai fiksi sesungguhnya memuat pengetahuan sosial yang merepresentasikan kultur masyarakat pemilik cerita.
Pandangan ini sangat kentara dari pertunjukkan cerita rakyat I Jaum yang digelar pada Hari Kamis, 26 Mei 2022 bertempat di Wantilan desa Pedawa dengan mengusung tema Pemasyarakat Aksi dalam Implementasi Model Perlindungan Sastra Daerah. Di dukung oleh personil di bawah asuhan Wayan Sadnyana (ketua Literasi Sabih, Pedawa) pertunjukkan ini telah benar-benar mampu mengobati kerinduan masyarakat Pedawa yang sudah sangat lama tidak menikmati pertunjukkan seni yang berakar dari warisan leluhurnya.
Mulai pukul 9.00 WITA, anggota masyarakat Pedawa yang terdiri dari anak-anak, remaja dan para orang tua sudah mulai berduyun-duyun datang ke wantilan Desa Pedawa, padahal pementasan baru dimulai sekitar pukul 10.30 WITA.
Foto: Antuasias warga masyarakat menunggu pementasan | Sumber, Sendratari, Mei 2022
Setelah melewati serangkaian acara serimonial yang cukup lama tiba gilirannya para pemain drama “I Jaum” beraksi di atas panggung. Penataan panggungnya mampu menghidupkan memori penulis tatkala di tahun 80an menjadi penonton drama gong yang pentas di Balai banjar di wilayah Denpasar.
Latar panggung dibuat sesuai dengan kebutuhan cerita yang ditunjang dengan proverti yang sesungguhnya mampu bercerita tentang kedekatan masyarakat dengan komponen alam yang menghidupinya hingga saat ini. Ada pohon kelapa, rumah kraras (daun pisang yang kering), ambu (daun pohon jaka muda).
Foto: Properti Pohon Kelapa dan Umah Kraras Dadong Raksasa | Sumber: Sendratari, Mei 2022
Cerita dimulai dari kemunculan I Jaum, seorang perempuan remaja yang tinggal bersama ibunya yang tengah hamil tua. Dikisahkan bahwa I Jaum adalah sosok remaja yang grecep/banyak gerak, sehingga sering tidak bisa fokus ketika mendengar pesan. Berawal dari suruhan ibunya agar I Jaum menemui neneknya yang akan membantu persalinannya.
Pesan utamanya adalah agar saat dia sampai di persimpangan jalan agar memilih arah ke kanan, tidak ke kiri. Jika ke kiri yang akan ditemui adalah raksasa. Karena I Jaum tidak cermat mengikuti pesan ibunya dari sinilah awal petaka yang mengantarkan pada klimak cerita. Pokok ceritanya adalah berikut ini
Kisah I Jaum menceritakan kisah seorang anak yang tinggal hanya dengan ibunya terjebak kejahatan nenek raksasa, akibat anak yang bernama I Jaum tak mendengarkan arahan ibunya dengan baik. Dia yang semula ditugaskan ibunya mencari neneknya untuk membantu persalinan sang ibu salah alamat. I Jaum menempuh jalan yang salah karena tak memperhatikan seksama arahan ibunya. Dia pun tersesat ke rumah nenek raksasa, yang mengantarkannya kepada petaka.
Tak hanya ancaman maut yang dialaminya, bahkan sang ibu yang bersiap untuk melahirkan adiknya disantap hidup-hidup oleh nenek raksasa. Dalam keadaan terdesak di tengah persembunyiannya, I Jaum akhirnya mengingat pesan mendiang ayahnya. Yakni memanggil tiga ekor anjing penghuni surga. Ketiga ekor anjing surga itu pun berhasil mengalahkan nenek raksasa. Di tengah kesedihan dan penyesalannya dia pun memohon dan berdoa agar ibunya dapat dihidupkan kembali. Permohonan sepenuh hati I Jaum akhirnya dikabulkan oleh Yang Kuasa dan dia berjanji tak akan mengulangi kesalahannya lagi.
Melalui alunan musik gerantang yang dimainkan oleh pemuda asuhan pondok literasi Sabih, dan ditunjang oleh para pemain utama dan piguran, anak-anak asuhan pondok literasi Sabih telah berhasil menyajikan tontonan sastra daerah yang apik di tengah-tengah gemuruhnya hantaman literasi media yang telah mampu meninabobokkan masyarakat penontonnya, sehingga lupa kearifan lokal yang tersaji di depan mata.
Setidaknya, masyarakat Pedawa yang saat ini telah menjadi bagian dari masyarakat global, disertai tekad dan semangat kaum mudanya lewat kepeloporan seorang Sadnyana, Made Suije/Ibong dan Putu Yuli Supriadnyana beserta Tim yang terdiri dari para tokoh masyarakat Pedawa telah mampu menunjukkan bahwa masyarakat Pedawa punya nilai moralitas sebagai landasan untuk membangun generasi muda yang berkualitas, sehingga bisa menepis citra/stigma negatif tentang orang-orang Pedawa.
Foto: Sekeha Gerantang Pedawa | Sumber: Sendratari, Mei 2022
Foto: Ekspresi Dadong Raksasa yang Mengundang Sensasi Horor | Sumber: Wibi, Mei 2022
Foto: Sosok I Jaum Saat Menyesali Keteledorannya. Dan memohon kepada Dewata agar ibunya dihidupkan kembali setelah disantap Dadong Raksasa | Sumber: Wibi, Mei 2022
Pertunjukkan yang berlangsung kurang lebih 2 jam terbanyar atas kelelahan Tim prodi Sosiologi Undiksha melakukan perjalanan menuju Pedawa yang disertai dengan suasana kabut dan hujan gerimis. Tontonan kali ini memberi pemahaman tentang setting, karakter pemain di panggung, alur cerita, serta menajamkan kognisi penulis bahwa pementasan sastra lisan benar-benar mampu mendekatkan pemain dengan penontonnya. Hal ini terbukti dari riuh rendahnya reaksi penonton ketika tidak ada jarak bahasa, ketika ilustrasi teks dibuat dengan memanggil orang-orang yang masih hidup saat ini. Terasa tiada jarak antara penyaji dan penikmat.
Bukan hanya terhibur, namun lebih dari itu, kisah I Jaum telah mampu mengusik naluri akademik untuk menemukenali hal-hal mendasar. Dalam percakapan dengan Sadnyana pada tanggal 14 Februari 2022 bertempat di Pondok Literasi Sabih, dia bertutur.
“Saat ini kami sedang fokus melakukan penggalian cerita kuno yang membumi di Pedawa. Dari hasil penelusuran, kami ketemu satu cerita yang paling kuno dibanding yang lain yaitu cerita I Jaum. Bekerja sama dengan Balai Bahasa Provinsi Bali kami akan merevitalisasi cerita ini agar lebih dikenal dan yang terpenting langkah menghidupkan ini sekaligus bisa ditemui nilai kebijaksanaan yang terkandung di dalamnya”
Pada sisi lain, tokoh masyarakat Pedawa, Pak Wayan Sukrata berpandangan: “Kisah I Jaum menyimpan pesan moral kepada generasi muda agar senantiasa sungguh-sungguh mendengar pesan orang tua agar selamat”.
Percakapan yang berlanjut tentang I Jaum, tontonan yang telah tersaji, menghasilkan suatu perenungan tentang cara-cara orang yang hidup di masa lalu mewariskan nilai-nilai moralitas lewat narasi yang perlu dikupas agar ketemu saripatinya. Sesungguhnya, kisah yang terkesan sederhana ini menyimpan kekayaan narasi yang jamak, bukan tunggal.
Pertama, Narasi Kanan dan Kiri. Ini adalah narasi kuno tentang oposisi biner (dua hal berbeda tetapi selalu ada). Kanan dipandang mewakili segala hal yang baik, sedangkan kiri mewakili keburukan/negatif. Dari sisi ini pesan moral cerita ini jelas hitam putihnya. Kontruksi sejenis ini sudah mengakar dalam cerita rakyat, misalnya cerita I Bawang, I Kesune adalah cerita yang dulunya sangat populer di Bali. Dalam cerita I Jaum Dadong Raksasa menjadi simbol kebatilan yang mesti dijauhi, sedangkan Dadong I Jaum mewakili simbol kebaikan.
Kedua, Narasi Pengorbanan. Pesan moral dalam wujud pengorbanan seorang ibu juga menonjol di kisah ini. Pengukuhan ideologi gender yang direpresentasikan melalui pengorbanan seorang ibu menjadi model konstruksi yang tidak pernah lekang oleh perjalanan waktu. Narasi ini pun bergandengan erat dengan ketangguhan sosok ibu menjadi orang tua tunggal bagi anaknya. Menjadi janda dikurung pula dengan jargon2 yang menjadikan kewajiban sebagai ibu dikekalkan, misalnya di bali dikenal pesan moral bagi seorang janda – “yasaang panakke” (amalkan diri pada anak). Pesan peran gender pada narasi pengorbanan sebenarnya dapat dilihat dengan mata telanjang dalam tontonan ini.
Ketiga, Narasi Spiritual. Narasi ini sesungguhnya tidak begitu kentara dalam pementasan. Namun, dari perbincangan dengan Sadnyana atas dasar penelusuran nara sumber tentang cerita I Jaum, dengan memakai kacamata semiotika – ilmu tanda sampailah akhirnya pada suatu pemaknaan bahwa cerita I Jaum sesungguhnya menyimpan pesan moral yang memuat tahap perjuangan yang harus dilalui seseorang agar bisa mencapai tingkat kebijaksanaan.
Pemahaman ini diperoleh, ketika I Jaum dikejar oleh Dadong Raksasa, dalam pengejaran ini, I Jaum bersembunyi dari satu pohon kelapa ke pohon kelapa lainnya sampai pada pohon kelapa yang ke 7 dia teringat dengan pesan ayahnya agar I Jaum memanggil binatang surga tatkala dalam bahaya. Angka 7 dalam kisah ini dikaitkan dengan pengabadian pemakaian beberapa alat-alat upakara di Pedawa yang selalu harus berjumlah 7. Menurut kepercayaan Hindu, angka 7 dikaitkan dengan lapisan alam semesta yang terdiri dari 7 lapisan.
Bhurloka = lapisan paling bawah tempat bumi berada; Bhuwahloka = lapisan alam pitara atau alam roh; Swahloka atau swarga loka = kediaman para Dewa yang dipimpin oleh Dewa Indra Sang Dewa hujan ; Mahaloka = kediaman Rsi Bhrigu (salah satu dari tujuh orang bijak/penyair suci dan salah satu dari banyak prajapatis (fasilitator penciptaan) yang dibuat oleh Brahma (Dewa Pencipta); Janaloka = Kediaman Sapta Rsi (Tujuh orang suci yang mengetahui secara baik kebenaran wahyu Tuhan); Tapaloka = kediaman Weragi semacam ras mahluk Agung; Satyaloka atau Brahmaloka adalah kediaman penguasa satu alam semesta yakni Dewa Brahma yaitu Dewa pencipta, pengetahuan dan kebijaksanaan
Makna yang tersirat dari perjuangan I Jaum agar terhindar dari sergapan Dadong Raksasa bahwa pengetahuan dan kebijaksanaan itu bukan pemberian namun adalah hasil perjuangan yang dilalui secara bertahap. Setiap orang harus terdorong untuk berjuang dalam menggapainya. Inilah nilai moralitas yang paling kontekstual ketika manusia tersesat dalam kubangan dangkalnya moralitas akan hasrta yang ingin serba cepat dan instan. Catatan yang tersisa dari tontonan ini berupa untaian kata: “ Ditengah semerbak bunga cengkeh dan legitnya kopi Pedawa yang disuguhkan lewat senyum teduh seorang ibu, melahirkan spritualitas kebijaksanaan nan abadi”.
Tentunya, membumikan cerita ini, tidak akan berhenti hanya pada pementasan, namun internalisasi secara terus menerus adalah keniscayaan. [T]