— Catatan Harian, Sugi Lanus, 6 Maret 2022
1. Ketika orang Bali secara umum tidak lagi mampu membaca puluhan ribu lontar-lontar peninggalan leluhurnya, tradisi keagamaan di Bali akan terguncang. Banyak muncul kesimpangsiuran.
Kesimpangsiuran dalam pedoman lontar-lontar sastra keagamaan di Bali berpotensi mengundang kemunculan 3 kelompok masyarakat yang rentan memicu kericuhan:
a. Kelompok “saklek”. Kelompok ini adalah kelompok yang mati-matian menjadi penerus tradisi tanpa mau dikritik, merasa tidak perlu dijelaskan (padahal tidak bisa menjelaskan) dan berbaris pasang melawan kritik yang dianggap berseberangan dengannya. Kelompok ini dengan segala upaya ingin menjaga tradisi tanpa perlu diperdebatkan, menolak diskusi masyarakat diajak patuh tanpa perlu bertanya apa penjelasan tradisi yang dianut.
b. Kelompok “mie instan”. Kelompok ini adalah kelompok yang lari dari kenyataan dan mencari ajaran luar yang lebih instan. Gampang cerna dan tunggal tidak perlu lagi ditimbang, asal punya guru, asal dirasa memuaskan secara instan. Ini mirip ketika masyarakat sedang lapar, tidak bisa lagi berproses “nyakan” (menanak nasi dengan proses manual — ngalih saang, nginsah baas, ngaru, dan tidak punya payuk-jakan-kuskusan) akhirnya memilih mencari “mie instan”, makan siap saji. Langsung kenyang. Tidak lagi memikirkan resiko bahaya menelan bahan pengawet dan kebanyakan micin.
c. Kelompok “saru-gremeng”. Kelompok ini adalah kelompok yang tidak juga mau belajar soal leluhurnya, dan tidak juga mau ikut-ikutan kelompok “mie instan”, sekalipun sesungguhnya was-was tapi main aman, “milu-milu bawang/tuwung” merapat ke kelompok “saklek” karena tidak mau beresiko dimusuhi.
2. Dalam situasi masyarakat terputusnya sastragama (sastra sesuluh beragama) yang dipegang leluhur, dan tidak bisa lagi memahami pedoman-pedoman tertulis jelas dalam bentuk aksara dan bahasa yang tidak lagi dipahami, yang bentuknya terbatas dari segi kuantitas dan akses, yaitu lontar-lontar sastra-agama, apa yang diperlukan? Bagaimana jalan keluarnya?
3. Ada situasi dimana keluarga rsi, para ksatria, dan rakyat di era perang Kuruksetra, dimana pengetahuan sastra-agama yang kebanyakan masih dalam bentuk ingatan dan tradisi lisan nyaris terputus. Nyaris terputus karena manusia cemerlang Romaharṣaṇa, yang tidak lain adalah murid utama & kesayangan Vyasa, tewas terbunuh.
Romaharṣaṇa adalah penghafal terbaik Catur Veda dan semua Purana serta puluhan ribu sloka.
Dalam situasi itu, semua tergagap. Bersyukur putra dari Romaharṣaṇa bernama UGRAŚRAWA masih hidup. Ia telah mendengarkan ribuan sloka dan kisah-kisah Purana dari Romaharṣaṇa dan bisa menghafalkan apa yang diceritakan ayahnya. Iapun menjadi penyambung ingatan ajaran suci berupa ribuan sloka-sloka dan purana-purana penting yang hampir terkubur bersama tewasnya Romaharṣaṇa.
4. Sivapurāṇa 1.1. memuji Romaharṣaṇa sebagai yang terpuji,
“O Romaharṣaṇa, yang mahatahu, dengan kekayaan inganmu yang berbobot, seluruh pengetahuan Purāṇa, mengandung isinya yang bermakna, telah diamankan olehmu dari Vyāsa. Oleh karena itu engkau adalah wadah dari kisah-kisah yang menginspirasi keajaiban, bahkan seperti lautan yang luas adalah gudang permata yang sangat berharga. Tidak ada apa pun di tiga dunia yang tidak Anda ketahui, dari masa lalu, sekarang dan masa depan. Merupakan keberuntungan besar bagi kami bahwa Engkau sendiri telah datang mengunjungi kami. Oleh karena itu, tidak pantas bagimu untuk kembali tanpa membantu kami”.
Tragisnya, Romaharṣaṇa disebutkan dibunuh karena dianggap tidak hormat atau dicap tidak mengikuti tata-titi kerajaan, gara-gara ia tidak bangun ketika penguasa datang. Ia tetap duduk ketika para rsi menyambut dengan berdiri kedatangan Dewa Balarama. Ia dianggap terlalu lancang berani duduk tetap duduk di balai Vyasasana— padahal banyak kaum terpelajar yang berasal garis brahmana atau brahma-resi yang murni dan agung yang berdiri menyambut Dewa Balarama. Ketika semua orang berdiri dan memberi salam hormat untuk menyambut Dewa Balarama, Romaharṣaṇa tetap duduk. Iapun dibunuh atas sikapnya yang dianggap tidak pantas.
5. Tewasnya Romaharṣaṇa membuat seluruh rsi suci dan kaum terpelajar merunduk diam. Umat manusia kehilangan murid terbaik Vyasa. Dunia sesaat tertegun, lowong, rasa diliputi kehilangan “kehilangan ingatan kitab suci”.
Di sanalah muncul Ugraśrava, putra Romaharṣaṇa menggantikan ayahnya. Seluruh kisah Mahabharata dan berbagai purana penting dan utama, diingat oleh Ugraśrava berdasarkan ingatannya. Ia mendengar dan hafal semua apa yang pernah dikisahkan oleh ayahnya. Dikisahkan bahwa versi Mahabharata yang kita warisi di dunia sekarang adalah versi yang diingat oleh Ugraśrava. Begitu pula Purana-Purana penting dan ribuan sloka-sloka penting lainnya.
6. Ugraśrava adalah narator Mahābhārata dan beberapa Purana penting, seperti Śiva Purana, Bhagavata Purana, Harivamsa, Brahmavaivarta Purana, dan Padma Purana; seperti diceritakan kembali atau dikisahkan kembali dihadapan para rsi dan brahmana terpelajar oleh Ugraśrava di di Hutan Naimisha.
Yang sangat menarik dicatat, Ugraśrava bukanlah dianggap keturunan brahmana yang murni. Kakeknya adalah seorang “sutā”, artinya dari garis neneknya bergaris brahmana dan kakeknya bergaris penyair yang bukan brahmana. Ada yang menyebutkan kakeknya seorang kusir kereta perang. Dalam sejarah ajaran sloka-sloka dan wahyu peran Ugraśrava sangat dihormati di kalangan para brahmana. Bahkan orang tuanya sampai kini dipuja di kalangan banyak brahmana. Sebagai contoh, di Buleleng sampai kini masih ada rumah keluarga pendeta purohito (pendeta penasihat raja) dari era Kerajaan Buleleng bernama Griya Romaharṣaṇa.
7. Pelajaran penting dari sejarah pewarisan kitab Mahabrata dan ribuan sloka yang dihafal oleh Ugraśrava, didapat gambaran bahwa tradisi ajaran suci bisa diwariskan dan teruskan oleh orang yang tidak berdarah brahmana murni. Tradisi suci Weda dan Purana berjalan dan terwariskan sampai kini karena ada tradisi guru-sisya, atau kelompok dan sosok murid dari brahmin suci bernama Rsi Vyasa yang berhasil mendidik muridnya sampai menjadi pengingat sloka-sloka, dan tidak harus dari garis lelaki brahmana.
8. Seluruh epos Mahābhārata yang menyebar di dunia sampai kini, diriwayatkan berdasar babon atau bersumber dari penuturan atau penceritaan kembali oleh Ugraśrava. Mahābhārata disusun sebagai dialog antara Ugraśrava Sauti (narator) dan seorang rsi bijak Saunaka.
Narasi sejarah keluarga Bharata oleh resi Vaisampayana kepada raja Kuru Janamejaya tertanam dalam penceritaan kembali oleh Ugraśrava Sauti. Demikian juga narasi Vaisampayana yang berisi narasi Perang Kurukshetra oleh Sanjaya, kepada raja Kuru Dhritarashtra. Demikianlah Mahābhārata memiliki sebuah cerita di dalam sebuah struktur cerita yang sangat Panjang, diriwayatkan terselamatkan oleh sosok penyambung tradisi bernama Ugraśrava.
9. Sampai kini, sebagaimana ditulis dalam lontar-lontar Bali yang merupakan kelanjutan tradisi Kawi (Jawa Kuno), diingat oleh para bangsawan dan para rsi dalam kitab-kitab Jawa Kuno, yang tercatat dalam lontar-lontar, nama Ugraśrava (dan juga ayahnya Romaharṣaṇa) dipuji sebagai “juru sambung tradisi yang cemerlang”, penyelamat dan narator Mahābhārata dan berbagai sloka-sloka yang masih terselamatkan dan tercatat dalam lontar-lontar Bali. Sosok penyambung tradisi ini sangat dihormati dengan penuh keseriusan di masa lalu di Bali — dulu… ketika masyarakat Bali masih fasih membaca dan mengartikan lontar-lontar sebagai pedoman upakara dan etika berkehidupan sebagai krama Bali yang paham muasal drestanya.
10. Demikianlah alasan kenapa kita di Bali sangat dinanti dan perlu “sosok-sosok Ugraśrava” tampil kembali untuk “menyambung ingatan” dan “membuka kembali sastra-dresta” yang terancam tewas.
Sebagaimana tewasnya Romaharṣaṇa, sebagai pengingat kitab dan sastra pedoman dalam kehidupan beragama, kehadiran pelanjut seperti Ugraśrava diperlukan. Bentuknya bisa berupa pegiat-pegiat sastra-agama yang mau merawat, menjaga, membaca kembali lontar-lontar yang berisi kandungan suci sastra-agama (Jangan campur aduk dengan lontar-lontar yang tidak mengandung sastra-agama).
Kehadiran “sosok-sosok Ugraśrava” berupa paguyuban para dalang yang serius membaca dan mempedomani membaca sastra-agama Bali dan memasukkannya ke dalam narasi pedalangan secara actual, sangat dinanti. Diperlukan lahirnya kelompok-kelompok pesantian modern yang bisa membagikan isi lontar-lontar tetuah-petuah sastra-sastra-agama ke dalam media baru yang komunikatif sesuai era sekarang. Diperlukan kesadaran bersama dan pengakuan diri bahwa “ingatan Bali terancam tewas” dan perlu diumumkan secara terbuka pentingnya mengkader dan mengundang sosok Ugraśrava kembali tampil dalam pentas kehidupan orang Bali, yang berdasarkan sastra-sastra-agama yang berdasar dan punya penjelasan. Diperlukan tradisi “mabebasan” atau “mababaosan” yang lemes lentuk, tidak saklek, berani cerdas berdiskusi merujuk pada sastra-agama.
11. Jika di Bali tidak tampil sosok-sosok berkesadaran Ugraśrava, maka sosok-sosok yang “berkesadaran mie instan” akan mengambil alih dan menyapu bersih generasi pelanjut Bali.
Jika di Bali tidak muncul “kesadaran Ugraśrava”, lambat laun, dan bisa dipastikan, generasi Bali kedepan akan dikuasai oleh pemikiran “kesadaran mie instan”. [T]
*Tulisan ini terinspirasi dari Adi Parwa, bagian pertama Mahabharata. Gambar: Lontar Adi Parwa (koleksi Griya Toko Lod Pasar, Sanur) dan lukisan Silsilah Bhagawan Adi Parwa [foto Virtual Museum of Balinese Painting — https://heuristplus.sydney.edu.au/]