Lemari kayu tua itu bercat coklat gelap, berpintu kaca pada bagian atas, dan pada bagian bawah ditutup kain batik coklat pudar bermotif kawung dengan aroma yang samar-samar seperti minyak cengkeh. Ini adalah peti harta karun andalanku. Benda kesayangan dan foto-foto lawas tersimpan di dalamnya bak harta yang selalu mencambuk gairah atau seperti buku sejarah. Setiap benda membawa cerita dan goncangannya sendiri. Tentunya seluruh pakaian keluarga tempo dulu juga tersimpan di sana. Kini, tangan dan mataku sedang sibuk menelisik helai-helai baju kebaya milik Dadong*.
Semua barang-barang itu membaur dalam peti harta karun ini. Yang pasti, tiap helai adalah cerita. Ada banyak helai yang belum aku kenal ceritanya. Jika penasaran, tinggal kutunjukkan pada Dadong. Penglihataanya memang mulai dikaburkan usia tetapi masih tajam menerawang tahun-tahun yang terajut pada helai kain-kain itu, kemudian kedua bibirnya yang mirip tomat layu itu akan membuatku terpaku mendengar kisahnya. Ya, begitulah caraku dan Dadong mengenang masanya dan membangun masaku.
Aku masih sibuk mencari kebaya yang pas aku gunakan untuk memperingati Hari Kartini di sekolah beberapa hari lagi. Pas dengan ukuran tubuhku yang cukup berisi. Pas dengan kulitku yang sawo matang, dan pas dipandang tiap pasang mata. Kuning menyala, hijau tua, biru terang, hitam pekat, tapi semua tidak pas. Sampai akhirnya pada tumpuk terakhir, ada kebaya yang begitu menawan mata. Kebaya coklat kehijauan dengan corak bunga kamboja. Rasanya seperti mendapat hadiah, dan segera ingin aku coba. Namun, dari balik gorden, Dadong menatapku dengan matanya yang meyipit, kemudian tangannya melambai. Aku menghampirinya. Ia kemudian berkata:
“Ini kebaya Dadong saat muda dulu, kebaya kesayangan Dadong sampai saat ini. Tapi tentu sekarang sudah tidak cocok di badan Dadong,” pernyataan Dadong membuatku tertawa. Kemudian, dadong menghela nafasnya berat.
Dadong memang suka sekali bercerita tentang masa lalunya. Ada cerita yang menyenangkan seperti saat Dadong bertemu Pekak dan kemudian menikah. Ada juga yang pilu, yaitu saat Pekak terjatuh dari pohon kelapa dan hampir meninggal. Aku rasa kebaya ini juga punya cerita yang menarik untuk aku dengar.
“Dadong, kalau baju ini bagaimana ceritanya, Dong?” tanyaku pada Dadong yang sedang nginang, mengunyah daun sirih, pamor, gambir dan tembakau.
Dadong mengambil baju itu kemudian duduk di kursi goyang kesayangannya di dekat jendela sambil melihat orang-orang yang berlalu-lalang di jalan. Ia memicingkan matanya, lalu mengambil kaca mata agar dapat melihat detail kebaya itu dan baris-baris cerita yang melekat. Sembari tubuh rentanya berayun ringan ke belakang dan ke depan, ia tetap diam, seperti menunggu datangnya wahyu dewa-dewa dengan matanya yang tetap menerawang. Barangkali, ingatan menariknya jauh pada tahun-tahun yang telah berlalu sehingga matanya yang kini mirip bulan sabit terbalik, mulai berbinar. Ia kemudian meletakkan baju itu di atas kedua pahanya yang dibalut kain batik. Aku tahu, cerita akan segera dimulai.
1946, selamat datang… ini adalah tahun di mana Dadong akan memulai cerita. Tepat setahun setelah gemuruh kemerdekaan memenuhi radio. Meski suara kemerdekaan sesungguhnya kurang lantang untuk membersihkan tiap pelosok dari penjajahan. Agustus 1945 angkatan perang Jepang menyerah kepada Sekutu. Tanda Perang Dunia II telah berakhir. Namun serdadu Jepang menolak dan masih rutin melaksanakan operasi atau yang dalam cerita Dadong, ia sebut “sidak”.
Dengan seragam hijau, topi besi, senapan, dan pelatuknya selalu sigap, tentara-tentara itu mondar-mandir pada kampung Dadong kala itu, mampir di tiap gubuk, dan masuk dapur. Tentu saja bukan untuk meminta segelas kopi atau ubi rebus dengan sopan seperti tamu-tamu yang kutahu, tapi memastikan tiap gentong beras kosong, dan tiap bakul nasi hanya berisi ubi. Kemudian mereka pergi setelah itu.
Namun berbeda ceritanya, jika ada pribumi dengan bakul yang berisi nasi di gubuknya, atau gentong beras yang berisi secentong saja beras di dalamnya. Beras, ubi, jagung, dan semua pangan lainnya akan mereka rampas. Tak selesai di sana, pribumi itu kemudian dimasukan ke dalam drum yang penuh tai ayam, untuk kemudian digelindingkan. Pikiranku mulai terbawa cerita, aku meremas tanganku dengan mata yang mulai berkaca-kaca. Kata Dadong, mereka yang memiliki nasi pada masa itu akan menyembunyikannya dalam bakul kemudian bagian atas akan ditutupi dengan ubi. Kekurangan pangan sangat dirasakan para penduduk saat itu, tulang-tulang tercetak jelas dibawah kulit mereka
Hentakan puluhan pasang kaki dengan iringan kegaduhan menandakan kedatangan serdadu Jepang. Dadong yang sedang mencincang pisang sebagai campuran nasi segera berlari kedalam gubuk sambil mengangkat kain lusuh dan compang camping yang membalut tubuhnya. Semua orang gementar, para orang tua bersimpuh sambil mencakupkan tangan mereka di depan gubuk masing-masing. Para gadis remaja disembunyikan di perkebunan, agar tak jadi korban kehausan para serdadu bejat itu.
Senapan seringkali menjembatani pecakapan pribumi dengan para serdadu Jepang. Jika senapan sudah diarahkan ke tubuh pribumi artinya mereka harus bersimpuh, tak boleh menatap mata para serdadu, dan tak boleh bergerak. Tak semua serdadu Jepang dan pribumi memahami bahasa satu sama lain kala itu. Tapi, Dadong berhenti sejenak.
“Ah…ada satu kalimat yang kami gunakan sebagai tameng, yang dimengerti oleh kami dan tentara Jepang, ‘Saya ndak tau, Pak’,” kata Dadong dengan raut wajah yang tak mampu aku baca.
Cerita dilanjutkan, kata Dadong, pernah satu waktu mereka (para serdadu Jepang) dengan begitu beringas mondobrak tiap gubuk. Beruntung dadong dan orang tuanya masih sempat bersembunyi ke perkebunan kopi terdekat. Satu tentara kemudian menghapiri saudara bungsu dadong yang masih berumur tujuh tahun kala itu. Iagemetar dan basah kuyup oleh keringat dingin.
“Tentara itu berteriak ‘Bapak mana? Bapak mana?’, sambil mengarahkan senapan tepat di dahinya.Segera ia bersujud mencangkupkan tangan dan berkata, ‘Saya ndak tau, Pak’. beruntung tentara Jepang itu lekas pergi setelah tentara lain memanggilnya.” Dadong menghela napas.
Ketika serdadu Jepang memburu para orang-orang tua pribumi, anak-anak akan melindungi orang tua mereka yang sedang bersembunyi dengan kalimat itu, meskipun senapan tepat menempel di kening mereka. Wajah Dadong yang keriput menunjukan raut kesedihan yang berbeda. Aroma daun sirih menemani aku dan Dadong. Sesekali Dadong meludah karena air liurnya sudah tak tahan digempur lidah.
Dadong menyambung kembali ceritanya. 1946 adalah tahun yang berat untuk semua pribumi. Bukan hanya karena serdadu Jepang yang enggan mengakui kekalahannya. Pangan juga selalu menjadi hal terbesar untuk dipikirkan, setelah beras-beras di lumbung dan di gentong dikuras habis. Ubi dan tanaman pangan lainnya nampak takut tumbuh, entah karena suara senapan dan meriam yang begitu mengguncang, atau karena banyaknya kematian yang mereka saksikan.
Tak berbeda dengan gentong beras orang lain, gentong beras dadong juga sangat jarang terisi.
“Dalam seperti kondisi itu bapak dan ibu tak kehabisan akal untuk menjaga Dadong dan semua saudara-saudari Dadong tetap hidup,” kata Dadong sambil memilin tembakau dan memasukkannya ke mulut.
Beragam tanaman, hewan, dan serangga mereka olah untuk disantap. Capung panggang, dendeng ulat kayu, nasi usam, yaitu nasi yang dicampur dengan kacang-kacangan, pisang kelapa atau apa saja yang penting bisa disantap. Dalam gubuk kayu dengan anyaman bambu dadong tinggal bersama bapak, ibu, satu saudara, dan tiga saudarinya. Cukup banyak orang dalam satu gubuk yang diajak berbagi makanan.
“Bagaimana rasanya, Dong?Apakah enak?” tanyaku menatap Dadong.
Dadong tersenyum “Tentu saja enak, bagaimana mungkin makanan satu-satunya terasa tak enak? Lagipula rasa tak pernah jadi masalah, yang penting kami tidak kelaparan. Tapi yang membuat makan kami tidak tenang adalah; bagaimana jika tentara Jepang tiba-tiba mendobrak gubuk kami, menyeret ibu dan bapak dan menyiksa mereka karena kami punya makanan untuk disatap, karena kami tidak kelaparan?”
Sesekali air mata Dadong memutus cerita. Kemudian dilanjutkan beberapa saat setelah ia menarik napas panjang. Dadong ditarik lagi makin dan semakin dalam pada ingatan kelam.
“Ada satu hari di mana Dadong sangat beruntung,Bapak pulang dengan membawa sekantong beras, dan setengah ayam potong. Entah darimana ia mendapatkannya,” kata Dadong sambil tesenyum kecil.
Keberuntungan pada hari itu pasti sangat mengenyangkan hati dan perut setiap jiwa pada gubuk yang ditinggali Dadong. ia berkata kegembiraan makan nasi tulen sudah seperti menerima sebatang emas saat ini. Ditambah dengan daging ayam, Dadong dan saudara-saudarinya mengelap ludah yang menetes dari mulut mereka yang tak tahan menantikan daging ayam itu.
“Kami memasaknya dengan sangat hati-hati dan awas, agar tak seorang pun tau, bukan karena tak mau berbagi. Tapi karena ini adalah 1946 kita tidak pernah tahu siapa yang sungguh kawan, dan siapa yang menjadi antek-antek Jepang.” Senyum kecil pada bibir Dadong memudar.
Belum habis kebahagiaan pada gubuk tua itu, nyala obor sudah mengelilingi mereka, serdadu Jepang dengan senapan siaga mengepung sudut-sudut gubuk. Siapa yang tak gemetar dihadapkan pada hal semacam itu, semua gubuk menutup pintunya rapat-rapat. Tapi tidak dengan gubuk Dadong, satu gerakan saja akan dianggap perlawanan, maka tiap pelatuk siap ditarik. Dalam ingatan Dadong tiga tentara Jepang masuk ke gubuknya dengan menghacurkan pintu. Dadong menatap orang tuanya penuh cemas berselimut takut.
“Dua tentara Jepang itu kemudia menyeret Bapak dan Ibu keluar, satu lainnya mengarahkan kami keluar dengan ujung senapan,” suara lirih Dadong sambil menyeka air mata.
Mereka keluar sambil mengangkat tangan yang gemetar. Tak ada tempat bersembunyi kali ini. Kedua orang tua Dadong digiring menuju drum penuh tai ayam. Tentara Jepang itu ada belasan jumlahnya. Dadong, serta saudara-saudarinya hanya bisa bersimpuh tak berdaya, tangan mereka menggengam satu sama lain. Ketika akan digulingkan oleh salah satu serdadu Jepang itu, yang mungkin pimpinan mereka, melihat ke arah Dadong yang pada saat itu merupakan seoranggadis remaja dengan tubuh molek, kulit kuning langsat, rambut hitam yang digulung rapi, dan wajah nan jelita.
“Dadong masih ingat, saat itu Dadong mengenakan kain batik pudar dan kemben pada bagian atas, tentara itu dengan matanya yang penuh birahi menatap Dadong begitu lama.” Dadong menarik napasnya dan menggelengkan kepalanya.
“Tentara itu cukup pasih menggunakan bahasa kita. Dia kemudian memberikan satu tawaran, jika bisa bermain dengan tubuh Dadong yang masih murni maka kami semua akan bebas dari hukuman. Bapak dengan mata memerah menolaknya dengan napas terengah-engah.” Dadong menarik napasnya dalam-dalam.
Tawaran ditolak, maka paksaan yang dilaksanakan. Dadong digiring ke dalam gubuk oleh beberapa serdadu Jepang. Dadong ingin sekali melupakan kejadian itu, tapi tiap detail masih menempel di ingatannya. Dalam penuturan Dadong, tentara-tentara yang menggiringnya tampak seperti srigala kelaparan, mereka begitu ganas. Mata mereka sipit tapi tajam seolah bisa menebus bagian terdalam tubuhnya. Bau mereka anyir seperti darah. Saat Dadong hendak digagahi ia berteriak sekuat tenanga.
“Tulung tulung, Pak, tulung. Begitu jeritan Dadong di tengah ketidakberdayaan. Bapak memberotak mendengar teriakan putrinya dari balik anyaman bambu. Ia melawan serdadu yang tersisa di luar. Pelatuk ditarik, timah panas mendarat pada tubuh Bapak beberapa kali hingga ia tumbang.” Dadong tak dapat membendung tangisnya.
Saat mendengar suara tembakan di luar, Dadong lemas. Ia tak bisa berhenti memikirkan hal mengerikan yang terjadi di sana. Air matanya tak berhenti mengalir, kemudian ia melihat kebaya cokelat kehijauan bercorak bunga kamboja di atas lemari. Kekuatan seolah merasukinya, dengan tangan dan kaki yang dipegang kuat-kuat oleh para serdadu Jepang sekali lagi ia meberontak. Ia membenturkan kepalanya ke arah wajah serdadu Jepang yang mencoba menyesap lehernya. Darah segar megalir dari hidung serdadu itu. Sebagai konsekuensinya Dadong ditampar berkali-kali, hingga suara ledakan menghentikan mereka. Serdadu itu berlari terbirit-birit keluar gubuk, mereka semua mendekati sumber ledakan yang hanya meyisakan kepulan asap hitam. Kata Dadong saat itu ada sekumpulan pribumi yang melakukan pemberontakan dengan meledakan gudang makanan milik serdadu Jepang.
Dengan bibir berdarah dan pakaian yang hampir terlepas dari tubuhnya, Dadong meraih kebaya di atas lemari. Sambil menahan rasa sakit di sekujur tubuhnya, perlahan ia keluar dari gubuk. Menghampiri tubuh bapaknya yang tergeletak di tanah.
“Kebaya ini adalah pemberian Bapak untuk menikah nanti katanya…” Dadong tak sanggup lagi berkata-kata.
Begitulah cerita ini terputus. Aku sangat kebingungan, tanganku gemetar. Kepalaku mulai merancang beberapa skenario.
“Jika saja aku lahir pada masa itu,” gumamku meremas kebaya kehijauan yang telah mejadi saksi kepedihan Dadong. [T]
Catatan:
- Tulung = Tolong
- Dadong = Nenek
- Pekak = Kakek