NASI SERE LEMO DAN SEORANG KARYAWAN
- Br. Gerenceng, Denpasar
Setelah berkeliling kota Denpasar
namun tidak juga menemukan apa dan bagaimana
cobalah ke Jalan Sutomo Gang 8 No. 8
tepat di sebelah Banjar Gerenceng
siapa tahu ia menunggu di sana,
apapun itu, siapapun itu.
Sudah berulang kali aku datang
ternyata senyum Ibu Wati lebih tua
dari usia pencaharian kita
di depan lapuk pintu coklat
tembok bata mengikis setiap pertanyaan
dari mana aku beranjak ?
sampai kapan kau akan berhenti ?
Mana hendak kita makan lebih dahulu
ayam sisit merah ? jukut gonda hijau kekuningan ?
kacang goreng asin ? telur krispi keriting ?
atau sambel sere lemo, merah hitam pedas ini ?
karena kita berdua tidak pernah mengetahui
cara lapar yang benar
bagaimana menanggulanginya
agar tetangga lain tidak mendengar.
Ini resep dari nenek moyang
di turunkan dari mimpi-mimpi
bulan purnama asing di merajan
ribuan tumbuk lesung di celah-celah tungku api
menguap entah ke mana arahnya
lalu kita mencari jauh, tanpa sesekali pulang ke rumah.
Seorang karyawan membawa catatan pesanan
satu di antaranya hanya nasi dan kata-kata setengah matang
“Di kantor semua orang sedang merangkai kalimat
tapi mereka lupa sebelum kalimat ada kata
serta kesepakatan antar keduanya
yang tidak pernah tertera dalam kamus” kata karyawan tersebut
Sambel sere lemo kulahap
bersama sayur gonda dan ayam sisit
menerka rasa pedas dari mulut hingga ke ubun-ubun
kacang dan telur nanti saja
setelah nasi habis dan keringat berakhir
botol teh sosro sendiri di ujung meja
seekor lalat bertengger sambil menjilat bibir botol
terbang ke atas piringku, bersiap tidur siang panjang.
“Tenang saja aku selalu menyimpan bekal kata-kata dari ibu
kukumpulkan jadi satu, lalu kumasak di hari minggu
agar Senin, aku terbiasa dengan orang-orang sepertimu” kata karyawan itu kepadaku
.
.
.
.
.
Aku selalu mencari datang
dan tiba saat pergi.
9-10-11 Januari 2021
NB
Sere lemo = sambel terasi dan perasan lemo
Merajan = tempat sembahyang Agama Hindu
TARI TENGKLONG, PRAJURIT MELOMPAT, KAMI TERTAWA
Sanggah Surya di tengah kerumunan
empat prajurit empat sudut, berpakaian hitam, saput poleng
membawa tombak panjang di pundaknya, tanda perang kisah-kisah
tidak sempat kita perankan, waktu jatuh di ujung tombak
menembus tawa hari ini.
Tabuh semakin cepat
tari berlari melingkar semakin pepat
kami berteriak, mereka bersorak
lalu berhenti seketika, empat prajurit bersiap satu kaki
semua tertawa, satu penari ngegol jenaka
terhempas ke luar lingkaran
sejarah lekang di rongga meriam batu
beku jadi sembah pada jingga Penampahan Galungan.
Hari itu orang-orang Kerandan
merayakan kemenangan dari musuh-musuh masa lalu
ibu-ibu membawa gebongan buah setinggi anak lelakinya
bapak-bapak duduk dibelakang
mengamati doa mana senyatanya memberikan nasib baik
anak-anak berkeliling melihat buah warna ungu, jingga, putih dan hitam
dalam kepalanya : semua buah menyenangkan apapun warnanya
aku menangis jika ujung tombak itu menyentuh tanah
mungkin tidak ada berkat lagi
setelahnya Nasi Jinggo dibagikan di atas gebogan
anak-anak berebut bingkisan warung, seperti oleh-oleh pesta ulang tahun
Raja Pemecutan berjinggo bersama rakyatnya
Kami menunggu raja usai makan malam,
sambil menghitung daun-daun ketapang jatuh di atas kepala kami
sambil memperhatikan seekor anjing hitam koreng
menunggu sisa makanan dari upacara.
Raja tertawa, rakyat menahan tawa sedikit
Empat prajurit usai bertaruh arah
Semua senang, semua lelah
Kami pulang membawa gebogan,
ambil menawarkan buah istimewa ke yang lain, kami barter
Sedari tadi adikku sudah mengincar anggur ungu dari eropa,
gebogan milik Ibu Jero
Ibu Jero hanya meminta senyum adikku.
Rabu 13 Januari 2021
13 : 26 WITA
PULANG, KE PANGKAL PITA SUARAMU
Bale Kulkul bata merah di pojok banjar,
piring-piring putih di beberapa sisinya, seseorang memanjat tangga
menatap langit, menggambar awan di tangannya
hari masih panas, was-was seorang anak kecil menyebrang ke banjar
ingin menabuh gangsa, memukul gong berkali-kali.
Gong tersebut menyimpan kisah panjang, melintang dari Sanur – ke Ceramcam
tukar menukar janji, atas lingkar perjalanan tetua-tetua
yang barangkali kita lupakan tanpa sengaja,
terselip di antara lontar daun jaka, di tumbuh serat jamur warna merah
peradaban tetap berjalan, pendongeng masih ulung
menceritakannya kembali kepadamu – kepadaku,
di pangku dalam, temaram mata ibu.
Setiap kata penting, untuk pertumbuhanmu
nyatanya tidak segampang itu, mereka sedang sibuk menjawab pertanyaan
apakah selamat pagi itu di peruntukkan pagi ?
tidakkan sangat arogan mengucapkan salam
sebelum pagi benar-benar ada di halaman
menyisir setiap absen tawa anak-anak, di simpan malam pada bulan.
Kata Bli Wayan Sukadana, bila anak kita belum mampu berbicara
semisal : melafal benda-benda, meniru suara cicak saat menangkap nyamuk
mengucap ibu dengan sempurna, menanyakan sanksi kelahirannya,
sementara usianya sudah terlewat
datanglah hati, ilkhas pada berkat
basuh air cempaka di antara celah gong tembaga
kumpulkan setitik demi setitik di jemarimu
hingga ujung lidah, tenggorokan, usus, sampai ke jantungnya
minum, minumlah…… mandi, mandilah…..
Mereka akan kembali, pulang ke pangkal pita suaramu.
Sedari dulu orang-orang tahu gong itu bertuah
mengembalikan asal bunyi, muasal suara, ke liang – liang sekalipun
terdengar samar jauh lagu ancang-ancagan
senja mengulang kepergiannya sekian kali
leluhur menjenguk sesekali saat upacara suci di gelar berkala
sementara kita menghitung jumlah karat
di antara kerak waktu di badan gong, kulit gendang, ujung kempul, daun gangsa
bahkan di tiang penyangga yang memisahkan nasib kita hari ini.
Upacara usai tepat saat anak-anak mulai belajar menari
sambil menghafal nama sungai yang mengitari desa kita
alirannya sampai di kaki ibu, sebab langkahmu tidak pernah kuduga.
Denpasar, Januari 2020
POLLOK BERMULA, MEMANDANG PANTAI LAPANG
Dari Kelandis Ni Pollok bermula
dari halaman Pura Jurit liku tubuhnya berhulu
dari Rumah Sanur milik Le Mayuer ia bermuara
Aku berkunjung ke rumah tua milik keluarganya
halaman ditumbuhi bunga-bunga merah, rumah kupu-kupu
menyimpan perjalanan menuju pesisir,
menitipkan telur di bawah daun ketapang kering di ujung ranting.
Kata cucumu, Arini, yang kini sibuk di artshop kecil depan museum
gemulai tangan, sudut senyum, serta liku jemarimu
masih tersisa di halaman hatinya,
saat bayang-bayang daun jepun
tepat jatuh di wajah puluhan patung koleksi tuan
begitulah caranya mengingatmu,
sembari menelisik puas warna pada kanvas,
tumbuh di dinding kayu jati merah
seorang anak desa jadi penari legong .
Kemudian kami berdua mencoba menerka
gincu apa kesukaanmu ? selendang apa favoritmu ?
saat suamimu mulai menerjemahkan bias matahari
menjadi berbagai kemungkinan tanda tanya,
sebab tidak ada titik dalam kehidupanmu kan ?
Aku dan Ibu Arini mengira, perempuan yang gemar menari
merupakan persembahan luhur untuk para dewa
tubuh ditempa dari pagi hingga malam hari,
seperti perjalananmu mencari air di sungai,
memberi makan babi dan sapi,
memanen padi, menumbuk jagung
hingga menjaga keseimbangan antara ketiadaan dan kehampaan.
Tubuh-tubuh itu sudah jadi, dikerja ikhlas tak berkesudahan.
Odah, orang banyak mengenalmu sebagai model lukisan
kau masih di situ, memandang pantai lapang,
di pesisir banyak toko oleh-oleh sekarang,
baju barong, kaca mata, topi, udeng, kaos I Love Bali
topeng bondres, serta penjual makanan yang saban hari menunggu
Sesekali pulanglah ke Kelandis
cucu-cucumu gemar menari, setiap piodalan di pura
datang pada kami hujan terakhir bulan kelabu
ajarkan setiap gerak mata dan gerak rapal jemari
sebab hidup ku adalah tarian
tarian panjang untukmu dan dewa-dewa
Januari-Mei 2021
– CATATAN
Puisi-puisi ini hadir dari tulisan semasa saya menjadi wartawan di tahun 2017. Waktu itu saya mengampu rubrik tentang banjar. Setiap banjar di Denpasar saya kunjungi, mencari cerita, legenda, mitos, makanan enak, sistem sosialnya hingga tokoh yang memegang peranan penting dalam satu wilayah banjar tersebut.
Tahun ini 2021 saya mengulik lagi tulisan itu, lalu mengunjungi ulang banjar tersebut secara berkala. Kadang diam-diam hanya duduk di balai banjar, kadang ketemu kelian adat atau dinasnya, kadang hanya menatap balai kulkulnya saja. Tentu puisi ini tidak terlepas dari situasi zamannya, saat mencari data dulu hingga saya merangkainya jadi puisi.
Inilah yang saya sebut sebagai puisi arsip, hadirnya dari data dan pengarsipan walaupun belum lengkap, kemudian dirangkai dengan metafora-metafora logika peristiwa yang saya alami. Tapi memang agak susah menakar puisinya, jika tidak mengetahui latar dibelakang cerita yang mendukungnya.
Terlepas dari itu silahkan nikmati saja, sebagaimana teman-teman membaca puisi seperti biasanya.