Dulu, untuk bisa menyantap sate lilit, kita harus memilih dua cara: mengolah sendiri dari awal sampai akhir, atau membeli sate yang sudah jadi. Tapi, kini, ada pilihan alternatif: membeli luluh sate dan katik sate, lalu kita tinggal melilit luluh ke katik-nya, lalu memanggangnya ramai-ramai. Aneh, mungkin di zaman sekarang banyak orang lebih suka bekerja setengah-setengah, sehingga pilihan alternatif itu banyak disukai.
Pada perayaan menyambut Tahun Bari 2021, di sejumlah tempat di tepi jalan di Bali bagian selatan, saya melihat banyak orang menjajakan luluh sate di tepi jalan. Di sisi lain, banyak juga orang menjajakan katik sate. Saya tanya-tanya kepada teman yang saya ajak jalan-jalan. Yang aneh, saya tak banyak menemukan orang menjual sate yang sudah matang. Tentu saja. Seorang teman dari Klungkung sempat memberitahu saya; di malam Tahun Baru banyak pemuda merayakan pergantian tahun dengan ramai-ramai memanggang sate.
Kenapa mereka tak sekalian memasak ramai-ramai dari awal sampai akhir, atau sekalian membeli sate yang sudah jadi? Selain mempertimbangkan soal biaya, ikut proses full dari awal hingga akhir mungkin dianggap terlalu merepotkan, tapi untuk tidak bekerja sama sekali mungkin juga dianggap terlalu mudah. Mereka tetap harus bekerja, meski hanya memanggang, agar sate lilit itu tetap terasa sebagai buah tangan sendiri, sehingga matang, terlalu matang atau setengah matang, dan sate lilit yang mereka panggang sendiri itu bisa dinikmati dengan rasa bangga.
Nah, untuk alasan-alasan rumit semacam itulah pedagang luluh sate sangat berguna. Hormat sebesar-besarnya bagi siapa pun yang menemukan ide menjual luluh sate untuk pertamakali di Bali. Menjual luluh sate (adonan untuk kuliner sate lilit) di Bali adalah ide amat brilian. Karena dari ide itu, kemudian muncul ide-ide lain, misalnya banyak orang kemudian menjual katik sate, dan di tempat lain orang menjual bumbu dalam botol. Salah satunya, ya, bumbu sate. Ide untuk menjual bahan-bahan makanan “nyaris jadi” itu telah membuat banyak orang di Bali seakan-akan bisa memasak, lalu memamerkan masakannya di media sosial.
Padahal, jika diintip dengan agak seksama, kini banyak orang tak betul-betul paham bagaimana prosesi memasak dilakukan dari awal hingga makanan siap disantap. Banyak yang mulai gagap jika diminta ke pasar untuk membeli rempah-rempah, memilih daging atau menentukan mana ikan segar dan mana ikan setengah busuk. Atau, jangan-jangan banyak yang tak tahu, mana yang disebut daun salam, mana yang disebut jinten, mana benda kecil yang bernama merica.
Sampai di dapur apalagi, mungkin banyak yang tak tahu cara mengiris daging dengan benar, atau cara mencincang ikan tanpa menyisakan tulang. Soal menggoreng, semua pasti tahu caranya. Tinggal masukkan bahan ke minyak yang sudah dipanaskan dalam cekung penggorengan. Tapi soal seperti apa bahan makanan yang disebut matang, seperti apa disebut setengah matang, masih banyak juga ibu-ibu atau bapak-bapak yang harus tanya sana tanya sini termasuk tanya ke mesin pencari pada aplikasi di smartphone.
Di zaman sekarang, untuk urusan menggoreng daging ayam, lalu membuat sambal kecap dengan sedikit irisan bawang dan cabai mentah, mungkin masih bisa dianggap amat mudah. Tapi untuk urusan menghasilkan menu makanan dengan proses yang ruwet bin ribet, semisal jukut ares, sate lilit dan ayam betutu, tentu memerlukan keahlian dan tingkat kepakaran yang lumayan tinggi. Maka, dulu, di desa-desa di Bali, hanya beberapa orang saja bisa membuat jukut ares, jukut balung, atau sate lilit yang nikmat-maknyus. Ia adalah orang yang langka. Sama langkanya dengan tukang banten, pemangku, atau undagi pembuat bade.
Orang langka yang jago masak itu biasa disebut patus. Seorang patus, sesungguhnya bukan hanya jago memasak. Tapi ia juga lihai dalam memperhitungkan antara banyak sedikitnya undangan dalam sebuah pesta dan upacara dengan seberapa banyak harus membuat lawar, seberapa banyak harus memotong babi, seberapa banyak harus membeli rempah-rempah di pasar. Sehingga, dengan begitu, sebuah pesta atau upacara tak akan menyisakan banyak makanan.
Bayangkan betapa ruwetnya urusan memasak di Bali. Tapi kini semua keruwetan itu seakan ada solusinya. Kini, banyak orang bisa memamerkan masakannya di laman media sosial. Padahal banyak dari mereka tak benar-benar memasak. Mereka hanya mencampur-campur sedikit, menggoreng sedikit, atau mungkin hanya sekadar memanaskan. Mereka bekerja setengah saja, setengahnya lagi sudah tersedia di banyak tempat, dan kita cukup mengambil di rak swalayan atau memesan lewat online. Mau memasak betutu, sambel betutu sudah ada. Bahkan daging yang sudah dipotong-potong bersih pun sudah ada. Tinggal menggoreng ayamnya, lalu mencampur bumbunya. Setelah itu kita bisa berbangga karena semua itu seakan-akan sudah menjadi karya sendiri dan siap dipamerkan kepada teman-teman.
Jadi, luluh sate, dan bahan-bahan makanan setengah jadi, setengah matang, atau setengah ruwet itu, adalah penemuan luar biasa dalam budaya kuliner kita. Penemuan itu menutupi setengah dari masa lalu kita, dan setengah lagi memberi kita peluang untuk tetap tergesa-gesa di zaman modern ini. Atau, jangan-jangan penemuan luluh sate, bumbu rujak dalam botol, atau bumbu basa genep dalam botol itu sudah menutupi setengah dari kemalasan kita, sekaligus menghilangkan setengah dari kesempatan kita untuk belajar. Wah, serius sekali, ya. [T]
- Esai ini pertama kali dimuat dalam kolom Lolohin Malu, Bali Express (Jawa Pos Group) edisi cetak.