— Catatan Harian Sugi Lanus, 5 Desember 2020
Lontar berikut ini dibuka dengan kalimat sangat menarik: “Iki pangejukan leak” (Ini adalah sarana penangkap Leak). Inilah rajahnya: “Anak istri pangling ring ratu. Asenggama ring asu” (Seorang perempuan bingung dengan ratu. Bersenggama dengan anjing). Sarananya sesaji disebutkan. Beserta dimana rajah diletakkan.
Rajah ini tidak ditemukan dalam buku hasil riset leak Bali yang dikerjakan oleh P. De Kat Angelino, yang hasil risetnya telah terbit dengan berjudul “De leak op Bali”, yang diterbitkan Penerbitan Weltevreden : Albrecht, 1921.
Dalam buku rajah yang tulis oleh Hooykaas, yang berjudul: “Drawings of Balinese Sorcery”, BRILL, 1980, tidak tercantum rajah ini.
Demikian juga rajah ini tidak dibahas dalam riset dan wawancara soal leak yang dikerjakan oleh Prof Nala yang selintas disajikan dalam buku “Usada Bali” (1992).
Riset lontar leak yang disajikan secara serius memang sangat jarang. Barulah P. De Kat Angelino yang mencoba secara “sistematis” mengkaji lontar leak. Selebihnya riset-riset belakangan tidak semenarik penjelasan dan penyajian “De leak op Bali” (1921). Hooykaas (1980) penyajian berbagai rajah sangat luar biasa, tapi sepertinya buku ini “tidak diniatkan” menjadi buku yang secara khusus sebagai “pedoman kajian teks pangleakan” — kita tidak bisa menggali lebih jauh tentang hal ini mengingat Hooykaas berpulang tidak lama bersenggang usai riset rajah ini dituntaskan.
Prof dokter Nala dalam tulisannya mengakui bahwa:
“Mengenai ajaran leyak ini amat sulit untuk melacaknya. Hampir kebanyakan Balian tidak akan mau menerangkan masalah leyak ini. Mereka menyatakan tidak tahu-menahu mengenai adanya ajaran ngaleyak. Sebab masalah ngaleyak ini di Bali merupakan suatu kejahatan dan dapat dihukum oleh masyarakat. Hukumannya dapat dikucilkan dari masyarakat, diteror, dipukuli bahkan dapat dibunuh. Setiap ada orang yang sakit di sekitar rumah orang yang bisa ngaleyak ini atau pernah disapa atau dipegang olehnya, pasti dituduhkan dialah yang menyebabkan orang itu sakit: Karena risiko ini jarang orang mau mempelajari ilmu leyak atau memberikan penjelasan bahwa dirinya mempunyai lontar pangaleyakan. Sebab kalau ada apa-apa pada orang sekitar, tuduhan pertama akan tertuju kepadanya, walaupun dia tidak berbuat apa-apa. Lebih aman rahasia dipegang teguh sehingga orang lain, bahkan anak istri atau suami tidak tahu bahwa dirinya mempunyai lontar pangaleyakan atau mempelajari ilmu pangaleyakan.”
Ida I Dewa Gede Catra (82 tahun) yang sudah aktif menulis aksara Bali di daun lontar sejak 1972 menyebutkan dalam sebuah wawancara dengan media menyebutkan telah menyalin 4.000 cakep lontar dan menulis naskah asli 120 cakep lontar. Dari jumlah itu, tak ada satu pun lontar terkait pengleakan:
“Dalam istilah Bali, Pangleakan disebut Aji Wegig. Saya juga heran, dari ribuan lontar yang disalin, belum pernah ditemukan lontar tata cara belajar ngeleak. Kalau ditemukan, tentu saja sudah saya salin. Sebab, itu juga budaya Bali.”
Beberapa keluarga keturunan Balian di Bali Utara punya pengakuan menarik:
“Kakek saya Balian. Sebelum berpulang lontar-lontar pangiwa dan yang terkait Pangleakan dan Aji Wegig dilarung. Dimusnahkan”, demikian diakui seorang pewaris koleksi lontar di desa Kayu Putih, Banjar, Buleleng.
Lain lagi cerita seorang cucu Balian dari Nagasepa, Sukasada, Buleleng. Keluarganya tidak mau menyimpan lontar-lontar warisan kakeknya yang dinilai banyak mengandung ajaran Aji Wegig. Lontar-lontar warisan koleksi kakeknya tersebut sebagaian “dilarung” dan sebagiannya “diserahterimakan” ke orang yang dipercaya bisa menjaganya.
Pewaris lontar Balian di desa Ungahan dan Banjarasem memiliki beberapa lontar yang terkait sedikit penjelasan Aji Pangleakan. Namun, seperti umumnya lontar-lontar koleksi keluarga, sifatnya sangat tertutup, tidak mudah mengaksesnya.
Jika ada pihak-pihak yang ingin melakukan riset lontar-lontar leak di Bali tampaknya akan berhadapan dengan kendala yang tidak mudah jika ingin meneliti teks tertulis yang berisi “ajaran pangleakan”. Koleksi Gedong Kirtya dan Pusat Dokumentasi Bali bisa dikatakan minim berurusan dengan “ajaran teknis ngeleak” namun berlimpah koleksinya terkait bagaimana menjadi “usada leak” atau penyembuhan yang ditengarai punya gejala yang dipercaya bersumber dari pangleakan. Usada Bebayi dan berbagai Usada Cetik, serta Usada Buduh, menyebutkan dan memberikan instruksi bagaimana berurusan dengan hal ini.
Mungkin lewat keseriusan mengkaji berbagai lontar usada yang tersedia di berbagai perpustakaan yang isinya “penyembuhan berbagai kekuatan tak tampak” bisa menjadi alternatif untuk melakukan “riset leak”. [T]