Virtualitas, Jiwa, dan Atma
Temuan paling mengagumkan dunia manusia semenjak kemunculan makhluk pertama dari suku primata sekitar 70.000.000 tahun yang lalu adalah rasa penasarannya kepada sesuatu yang tidak kasat mata. Manusia semenjak periode purba telah memiliki dugaan bila yang tidak kasat mata belum tentu tidak ada. Salah satu sumber rasa penasaran yang masih menjadi misteri menarik hingga saat ini adalah keberadaan roh. Antropolog E.B. Tylor menyebut keberadaan roh mulanya diidentifikasi oleh manusia dengan dua cara. Pertama dengan membedakan antara makhluk yang masih hidup dan telah mati. Meskipun secara fisik keduanya tampak tidak berbeda namun lama kelamaan manusia menyadari jika terdapat kekuatan tak kasat mata yang menghidupi tiap makhluk hidup. Apabila unsur hidup yang tak kasat mata tersebut tidak lagi menghuni badan wadag maka suatu makhluk dinyatakan mati. Cara yang kedua adalah melalui pengalaman mimpi. Manusia ketika tidur sering merasakan keberadaannya di tempat lain yang jauh dari badan fisiknya. Melalui pengalaman kedua ini manusia menyadari bila unsur tak kasat mata dalam tubuhnya bisa keluar dari badan kasarnya.
Dalam kepercayaan Manusia Bali roh dipersamakan dengan atma atau pada istilah yang lebih terbaru juga disebut dengan jiwa. Kendatipun jiwa berasal dari istilah Sanskerta jiv yang juga berarti daya hidup, namun belakangan maknanya dianggap lebih dangkal dari atman dan seringkali hanya digunakan untuk menggambarkan aspek psikis. Sementara atma sendiri digunakan untuk penggambaran yang lebih luas, bahkan tidak terbatas. Menariknya Festival Seni Bali Jani II yang dilaksanakan dari tanggal 31 Oktober sampai 7 November 2020 mengangkat tema ‘Candika Jiwa: Puitika Atma Kerthi’. Tema tersebut tampaknya berangkat dari istilah jiwa dan atma sekaligus sebagai dua unsur yang sama-sama abstrak namun dianggap sangat penting. Media virtual yang menjadi sarana pendukung utama FSBJ II tahun 2020 mirip dengan cara kerja untuk menghubungkan diri dengan jiwaatau atma yang nirbatas. Meskipun demikian kenirbatasan itu menjadi penghubung penting antara seniman dan penonton serta antara tubuh fisik dan unsur nonvisual.
Kerangka pikir orang yang merenungi keberadaan jiwa dan atma mirip dengan prinsip penonton seni virtual yang mulai marak sekitar akhir tahun 1980an. Orang yang menghubungkan diri dengan jiwa, atma, maupun pertunjukan seni virtual tidak perlu kemana-mana namun bisa mendapatkan kesadaran sebagaimana yang dapat diperoleh dimana-mana. Suatu hal yang perlu dipersiapkan hanyalah kekuatan koneksi yang kuat untuk terhubung dengan objek yang diinginkan. Prinsip ngubeng (menghayati atau memuja dari jauh) telah lama menjadi jiwa cara beragama Manusia Bali dan membuatnya tidak kaku. Mereka bisa melakukan pemujaan dari manapun tanpa persyaratan khusus yang beraroma fisik. Ide ngubeng berkesenian inilah yang tampaknya diadopsi dalam FSBJ II tahun 2020. Ngubeng dalam berkesenian bisa mengefisienkan banyak hal seperti ruang, waktu, jarak, biaya, dan unsur sampingan lainnya yang sesungguhnya tidak terlalu penting. Seperti yang dinyatakan Gubernur Bali Dr. I Wayan Koster, pagelaran seni virtual yang telah diadakan sebelumnya mampu menampung 202 komunitas seni untuk melakukan pagelaran. Sedangkan pada FSBJ kali ini melibatkan 1000 seniman dan pekerja seni.
Membicarakan seni pertunjukan, khususnya yang ada di Bali secara mendalam tentu tidak terlepas dari hal-hal yang tidak kasat mata. Hingga kini masih terlacak bila benih seni pertunjukan di Bali adalah religiusitas. Pada mulanya seni diciptakan dan diabdikan untuk kepentingan-kepentingan yang berurusan dengan kekuatan maha kodrati. Seniman maupun orang-orang yang terlibat di dalamnya merasakan ekstasi tiada tara ketika mempertunjukkan garapan-garapan terbaiknya kepada kekuatan adikodrati yang dianggap serba tahu. Kenikmatan melakukan pertunjukan kepada kekuatan tak terbatas itulah adi lango (keindahan tertinggi). Seniman merasa berhutang kepada pencipta pertama yang mengerjakan seluruh alam. Mula penciptaan tergambar dalam karya berjudul Angkus Prana yang dibawakan Yayasan Symphony Kasih. Sampai saat ini di Bali masih dijumpai produk-produk kesenian yang hanya diperuntukkan bagi kegiatan-kegiatan keagamaan (seni wali). Peralihan seni sakral yang awalnya menjadi ‘tontonan dewa-dewa’ meluas menjadi tontonan manusia sejatinya menunjukkan proses yang alamiah. Mata manusia yang haus keindahan dengan sendrinya tergerak untuk menonton pertunjukan-pertunjukan yang menakjubkan. Meskipun barangkali sang seniman pada mulanya tidak meminta agar hasil karyanya ditonton.
Ide besar Pemerintah Provinsi Bali yang memiliki kepedulian besar kepada seniman tergambar dalam cuplikan teater pentas virtual yang telah diadakan sebelumnya dengan judul Gejolak Sang Legong yang dibawakan oleh Sanggar Seni Budhi Manik Mas. Dalam lakon itu tercitrakan adicita seorang seniman desa ketika berhadapan dengan pilihan-pilihan yang tidak mudah. Tari legong mulanya adalah tari sakral yang hanya ditarikan untuk keperluan-keperluan ritual. Hingga kini masih dapat ditemui tarian-tarian legong yang hanya dipertunjukkan untuk keperluan sakral. Dalam sejarahnya kemunculan tari legong juga berawal dari pengalaman mistis raja Sukawati yang bernama I Dewa Agung Made Karna. Gerakan-gerakan legong dilihat sang raja dalam mimpnya ketika tengah menderita sakit parah. Hal itulah yang menyebabkan awalnya tidak ada yang berani menarikan legong sembarangan, takut terkena murka para dewa. Celakanya dalam perkembangannya Legong kemudian dipentaskan untuk keperluan profan seperti untuk menyambut tamu atau pada acara-acara politik.
Pertunjukan teater berjudul Gejolak Sang Legong menceritakan kisah hidup Ni Nyoman Pollok, seorang penari legong dari Desa Kelandis yang menjalin asmara dengan pelukis berkebangsaan Belgia bernama Adrien Jean Le Mayeur yang lebih terkenal sebagai Le Mayeur saja. Bagi Le Mayeur Ni Pollok menjadi sumber keberuntungan karena lukisan-lukisannya yang bermodelkan gadis desa itu selalu habis terjual dalam setiap pameran. Di balik ketenaran Ni Pollok sebagai penari dan model lukisan yang secara tidak langsung turut memiliki andil dalam mempromosikan budaya serta keindahan pulau Bali di luar negeri ternyata tersimpan cerita pilu. Kepiluan bersumber dari konflik bathin dalam diri Ni Pollok yang ingin hidup normal seperti wanita Bali pada umumnya untuk menjadi seorang ibu dari anak-anaknya. Sementara pada sisi lain Ni Pollok ingin mengabdikan dirinya secara total kepada seni yang dicintainya. Dua keinginan tersebut saling berlawanan satu dengan yang lainnya.
Pergulatan batin Ni Pollok sejatinya melukiskan keberadaan seniman Bali pada persimpangan jalan: antara mempertahankan adicita budaya atau mendapatkan penghasilan yang layak. Meskipun modernitas dan kapitalisme telah menjadikan semua orang ‘kecaduan uang’. Terlebih pada daerah yang mengandalkan pemasukannya dari pariwisata seperti Bali. Mau tidak mau pertukaran budaya dan ideologi terjadi setiap saat. Penduduk lokalpun seakan harus selalu bersiap untuk tergoda oleh berbagai macam tontonan yang menyilaukan mata dan menggoyahkan hati. Nyatanya di tengah revolusi cara kehidupan besar-besaran yang hampir tak terbendung masih terdapat seniman-seniman yang berkarya bukan hanya demi ‘permintaan pasar’. Mereka tetap berkarya demi seni itu sendiri tanpa kecuali. Dalam pertunjukan berjudul Dipa Hredaya yang ditampilkan oleh Sanggar Seni Gumiart tampak simbol uang kepeng yang ditampilkan dalam berbagai bentuk. Uang kepeng menyiratkan dualisme simbol harta benda yang dapat memicu mentalitas ‘mata duitan’ namun pada sisinya yang lain dapat difungsikan sebagai sesari. Keutamaan nilai uang tercermin dalam sisinya yang kedua yakni sebagai sesari yang dimaknai sebagai uang atau kekayaan suci. Bukan pis arjuna atau pis bima yang dicari namun pis dharmawangsa yang menjadi simbol kebenaran.
Salah satu contoh seniman Bali yang menentang mentalitas ‘mata duitan’ adalah Ida Bagus Poleng yang pada masa senja hidupnya masih sempat menyaksikan perubahan besar-besaran yang tampak serba gemerlapan secara fisikal tersebut. Mengagumkannya Gus Poleng tampak tidak terlalu ‘silau’ dengan bermacam cara hidup gemerlap yang baru dimulai di sekitar tempat tinggalnya, bahkan perlahan menyebar luas hingga ke pelosok-pelosok pulau. Gus Poleng seakan acuh dengan semuanya. Ia saat itu masih suka mondar-mandir di Tebasaya sambil memanggul baju kemeja lusuh yang jarang dikenakannya. Suatu kali ia bercerita bila dirinya sangat selektif untuk memilih pembeli karya-karyanya. Berbagai pertanyaan ideal akan diajukan Gus Poleng untuk menguji wawasan calon pembeli karyanya. Bila si pembeli gagal memberikan jawaban yang memuaskan maka ia tak akan melepas karyanya walau ditukar dengan uang berapapun.
Salah satu seniman masa kini yang berprinsip hampir mirip dengan Gus Poleng adalah I Kadek Rudiantara (Loeloek Raider). Bli Loeloek demikian ia akrab disapa sering melakukan ‘pameran tak biasa’ seperti di kuburan, di air (dengan menenggelamkan karyanya), dan di api (dengan membakar karyanya). Prinsip yang dianut Bli Loeloek adalah seni untuk mayarakat yang tidak esklusif. Menariknya Bli Loeloek telah menggunakan media virtual untuk mengabadikan karya-karyanya. Bagi pekerja-pekerja seni yang telah berorientasi materi tentu apa yang dilakukan Gus Poleng dan Bli Loeloek tampak sangat merugikan secara material. Meskipun begitu sikap-sikap seniman sejenis itu adalah satire bagi seniman-seniman yang telah melupakan idealisme luhur para pendahulunya.
Candika Jiwa : Puitika Atma Kerthi
Istilah Candi berasal dari kata Candi atau Camundi merupakan salah satu perwujudan Dewi Durga yang dapat dilacak dalam teks-teks Sanskerta seperti Devi Mahatmya atau Markandya Purana. Devi Mahatmya sendiri terkadang disebut sebagai Candhi Patha yang mengindikasikan demikian berpengaruhnya terminology Candi di dalamnya. Dalam wujud Candi, Dewi Durga mengambil peran sebagai pemusnah iblis-iblis pengganggu. Di Bali istilah Candhi digunakan untuk menggambarkan kekuatan gaib yang dekat dengan corak Siwaisme (Durga) seperti Candhi Gringsing, Candhi Api, dan istilah-istilah lainnya. Secara umum di Indonesia Candi tersimbolkan sebagai bangunan suci yang semula dihubungkan dengan bangunan makam. Dugaan tersebut didasarkan pada asal kata candi yang diperkirakan berasal dari kata candikagrha yang artinya rumah Candika. Sementara Candika sendiri dalam mitologi Hindu juga disebut dewi penguasa maut. Sosok yang dikuburkan dalam bahasa Kawi disebut cinandi. Akhirnya Soekmono menulis titik terang dalam disertasinya bahwa candi bukanlah makam, namun bangunan untuk memuliakan orang yang telah mangkat khusus untuk para raja atau tokoh terkemuka. Meskipun demikian selain sebagai atma pratista (tempat memuliakan roh mendiang) ada pula candi yang digunakan hanya sebagai tempat pemujaan ista dewata tertentu (dewa pratista). Intinya candi adalah bangunan istimewa yang digunakan untuk mengabadikan atau memuliakan roh seorang tokoh maupun dewa-dewa tertentu.
Kemudian muncul pula istilah candi pustaka yang merujuk pada kumpulan naskah-naskah filsafat terpilih yang diibaratkan seperti layaknya susunan bangunan candi. Berdasarkan konsep berpikir tersebut candika jiwa yang terkandung dalam tema FSBJ II tahun 2020 memiliki makna pengokohan unsur-unsur terpilih dalam seni budaya Bali yang nantinya akan menjadi kekayaan berharga dalam sejarah budaya. Tiap unsur mulai dari pemerintah, seniman, hingga masyarakat luas bahu membahu membangun candika jiwa yang dapat membentengi seni budaya Bali dari berbagai macam rongrongan. Upaya pembangunan candika jiwa sejatinya merupakan upaya sadar untuk memanfaatkan tiap detik waktu yang sangat berharga dalam kehidupan. Keberhargaan waktulah yang mendorong manusia untuk berbuat yang terbaik setiap waktu sebagaimana yang ditampilkan Teater Kalangan ketika menirukan bunyi ‘tik-tok’ (detak jarum jam). Pada tiap waktu terkadang manusia memperoleh kesenangan, kesedihan, atau diantara keduanya. Candika jiwa adalah modal untuk membangun kehidupan yang tidak mudah diombang-ambingkan oleh dualitas di dalamnya. Hubungan lainnya yang membentuk kepaduan dalam FSBJ kali ini adalah antara candi, wabah, dan seni. Dalam mitologi manusia Bali kemunculan wabah dianggap berasal dari ulah Durga (Candi) dan antek-anteknya. Apabila dunia telah dirusak wabah maka salah satu upaya yang dilakukan manusia Bali adalah melakukan pagelaran kesenian sakral (tarian sanghyang). Jika dilihat dari kacamatan biomedis barangkali pagelaran semacam itu bertujuan untuk memupuk rasa keterhiburan dan meleyapkan trauma bathin yang selanjutnya efektif guna meningkatkan imun tubuh. Pagelaran virtual yang dimulai kali ini secara masiv bisa menjadi penyempurna usaha peningkatan imun tubuh tersebut sekaligus menghindari berbagai risiko penularan pada klaster pagelaran kesenian.
Dalam kebudayaan Bali tiap detik waktu kehidupan manusia diwarnai catur bekel yang terdiri atas suka (kesenangan), duka (kesedihan), lara (penderitaan), dan pati (kematian). Pada istilah Sanskerta terdapat pula empat keadaan yang mirip dengan catur bekel yakni janma (kelahiran), mrtyu (kematian), jara (usia tua), dan vyadhi (penyakit). Mrtyu atau pati merujuk pada candika. Sejatinya tidak ada yang aneh dengan fenomena kematian. Hanya saja setelah merebaknya pandemi Covid-19 kematian yang terjadi darinya kemudian dianggap ‘istimewa’. Kematian yang dipicu oleh paparan pandemi Covid-19 dimaknai berbeda dari kematian yang berasal dari sebab-sebab lain. Tentu tidak menutup kemungkinan bila sejatinya kematian yang diakibatkan oleh sebab lain menghasilkan jumlah korban yang lebih besar. Seperti halnya dalam pandemi yang lain, kematian yang diakibatkan oleh Covid-19 dipersepsikan sebagai ancaman kemusnahan besar-besaran. Demi alasan menekan jumlah kematianlah pertunjukan pada FSBJ II dilakukan secara virtual. Para seniman dan penikmat seni tidak harus berkerumun namun cukup berkarya di depan kamera atau melihat hasil-hasil karya seniman dari depan layar virtual. Ancaman kematian bukan berarti menghalangi aliran kreatifitas berkesenian yang bisa jadi jauh lebih berbahaya dari kematian harafiah itu sendiri seperti semboyan yang menyebutkan kreatif atau mati.
Terkait dengan kematian, memang suatu kemajuan besar dalam bidang kedokteran yang dianggap sangat berpengaruh telah terjadi sejak tahun 1973 ketika para peneliti dalam bidang kedokteran reproduksi berhasil merekayasa komponen-komponen dari sebuah genom. Beberapa tahun setelahnya sebuah percobaan in vitro sukses pula dilakukan dilakukan. Padahal jauh sebelumnya beberapa Negara terutama Negara-negara berkembang yang populasinya telah melebihi batas masih dihantui permasalahan tentang pengurangan jumlah kelahiran. Lewat percobaan-percobaan yang seolah-olah dapat bermain-main dengan kelahiran dan kematian tersebut mengindikasikan jika manusia dapat menentukan kelahiran, kematian, atau pencegahan kelahiran yang terjadi di masa depan. Bila anggapan-anggapan tentang kekuasaan manusia untuk menentukan kelahiran dan kematian disimpangkan maka dapat saja manusia tidak lagi mempercayai keberadaan Tuhan sebagai pengatur dari kehidupan. Disamping itu nilai-nilai moral rentan menjadi nihil dalam ‘permainan kematian’. Kejahatan moral kemanusiaan sepeti kloning tanpa batas atau genosida rentan terjadi dalam kondisi semacam itu. Ketika manusia merasa seberkuasa Tuhan maka diapun merasa berhak memperlakukan alam sekendak hatinya. Selain bencana kemanusiaan, bencana ekologis juga akan marak terjadi. Gus Teja World Music dalam karyanya memberi pesan Songs of Nature (suara-suara alam). Pesan tersebut mengajak manusia untuk mendengarkan kembali suara-suara alam yang bukan hasil rekayasa manusia sepert gemericik air, debur ombak, desir angin, dan sebagainya. Alam mengingatkan kita kepada guru utama yang dimiliki oleh para seniman (artis natura magistra). Siapapun yang mahir bercakap-cakap dengan suara-suara alam niscaya menemukan kebijaksanaan luhur.
Pesan serba misterius candika jiwa dan atma kerthi bukan bertujuan memberi ajakan untuk berkhayal di dunia awang-awang. Semuanya ditujukkan untuk membuka gerbang ‘keberadaan’ yang tidak ingin diketahui oleh kaum positivistik-materialis. Berbeda dengan masyarakat timur yang selalu memberi ruang untuk berdampingan dengan dimensi-dimensi tak kasat mata. Sanggar Bhumi Bajra Sandhi menerjemahkan keluhuran candika jiwa sebagai melampaui warna dan rupa. Sekali lagi kegandrungan untuk bertolak melampaui warna dan rupa adalah pilihan tepat untuk mengenal keluhuran daya hidup yang ada dalam diri. Hal tersebut menjadi penting sebab terbukti materialisme dan positivisme telah gagal membawa manusia kepada kebahagiaan holistik. Cara berpikir mereka menjadi buntu di sudut mati materi. Banyak yang kembali menoleh ke konsep-konsep kuno yang dahulu diremehkan. Kedamaian di dalam (sthita prajna) yang dihasilkan dari eksplorasi mendalam inilah puitika atma kerthi. Puitika berasal dari istilah Yunani poites yang berarti membangun atau membentuk. Pengertian membentuk dan membangun itu mengingatkan kita pada usaha keras para arif bijaksana untuk membangun kesadaran atma (atma jnana). Di Bali masih akrab istilah nangun yoga atau nangun tapa yang juga bermakna membangun kesadaran internal. Dalam kepercayaan lokal kesadaran atma (atma jnana) berwujud kebahagiaan mutlak (suka tapnpawali duka). Tentu demi tujuan mencegah kealpaan kepada semangat penjelajahan melampaui warna dan rupa, pada FSBJ kali ini kepala Dinas Kebudayaan Provinsi Bali. Prof Dr I Wayan Adnyana secara khusus mengajak kaula muda (kaum milenial) untuk ambil bagian dalam keseluruhan isian acara. Ajakan tersebut merupakan usaha serius untuk memastikan keberlanjutan ‘rangsangan berpikir ke dalam’.
Suatu hal yang menjadi pekerjaan rumah bagi keberadaan kesenian virtual yang masih dianggap sesuatu yang baru di Bali adalah perasaan belum terbiasa. Dapat dibayangkan para penonton pagelaran seni yang sebelumnya telah terbiasa oleh budaya berdesak-desakan mencari tempat duduk, mengobrol dengan penonton lain, berinteraksi dengan pedagang makanan asongan, dan semacamnya. Pastinya tiba-tiba merasa kesepian ketika harus menonton pagelaran seni dari gawainya. Meskipun demikian bisa jadi ini adalah bentuk pemurnian seni agar fokus penonton tidak terpecah kepada hal lain yang berada jauh di luar esensi pertunjukan. Tentu pembiasaan ini merupakan pekerjaan yang berat dari Pemerintah Provinsi Bali (Dinas Kebudayaan) dalam program Nangun Sat Kerthi Loka Bali. Beratnya tantangan yang dihadapi malah akan membuat nilai perjuangan yang dilakukan mejadi sarat makna: menuju Bali Era Baru. Disamping tantangan pembiasaan menonton secara virtual ada tantangan lain yang dihadapi pagelaran kesenian pada umumnya yakni masalah pemaknaan. Khalayak umum yang minim wawasan seni terkadang menganggap pagelaran kesenian hanyalah hasil khayalan dari para pekerja seni. Akibatnya mereka juga hanya meresponnya hanya sebatas dalam khayalan. Pemerintah Provinsi Bali melalui Dinas Kebudayaan dalam hal ini bisa mengambil peluang untuk memasyarakatkan suatu cara berpikir baru tentang kesenian. Bila Victor W Turner penulis buku Anthropology of Performance (1980) menganggap peristiwa sosial nyata adalah sumber inspirasi drama panggung. Maka tentu buka mustahil jika alur tersebut dibalik agar pertunjukan panggung yang berkualitas dan bernas dengan nilai-nilai luhurlah yang mempengaruhi situasi sosial riil yang mulai sesak dengan bermacam-macam ketidakberesan. Selanjutnya pasti dibutuhkan seleksi ketat untuk memastikan agar karya-karya yang akan ditampilkan kepada khalayak memiliki kualitas yang mapan. Karya-karya yang lahir dari sari-sari pikiran luhur itulah candika jiwa. Candika jiwa adalah tahapan awal untuk mencapai atma kerthi. Cara ini akrab dengan cara pencarian Tuhan pada Manusia Bali yang memanfaatkan sari-sari pikiran luhur (baca:kreativitas seni). Lewat cara inilah usaha pembangunan kesenian semesta berencana dapat dimulai dari Bali.