Pernahkah mendengar nama desa Sanur dikaitkan-kaitkan dengan kata “nur” (serapan bahasa Arab) yang berarti “cahaya” yang konon menjadi muasal kata Sanur? Begini katanya: “Sanur berasal dari kata ‘Sa’ yang artinya ‘tunggal’, sedangkan ‘Nur’ artinya ‘sinar suci’.”
Pertanyaannya: Semenjak kapan orang Bali menamai sebuah wilayah dengan serapan bahasa Arab?
“Nur yang dalam bahasa Arab diartikan dengan cahaya dan disebut dalam Alquran sebanyak 43 kali. Bahkan, surah ke-24 juga diberi nama dengan an-Nur. Begitu banyaknya Alquran membahas tentang eksistensi nur,” demikian sebuah sumber menguraikan kata ‘Nur’.
Tentu sangat masuk akal jika kata Nur dijadikan rujukan penamaan Masjid An-Nur di Dauh Puri Klod, Denpasar. Tapi masuk akalkah nama desa Sanur dari ‘Sa’ + ‘Nur’ (serapan bahasa Arab)?
Jika kita memasuki tradisi pertanian dan usada Bali, nama Sanur melekat kuat dalam tradisi herbal di Bali. Sanur adalah jenis padang (rumput) yang sangat penting dalam ramuan di Bali. Padang Sanur dikenal berakar sangat harum. Dalam bahasa Indonesia dikenal sebagai Narwastu atau Akar Wangi. Padang Sanur atau Narwastu atau Akar Wangi juga dikenal sebagai serai wangi, rumput akar wangi, rumput vetiver, Chrysopogon zizanioides syn. Vetiveria zizanioides, Andropogon zizanioides.
Dalam bahasa Sunda rumput Sanur disebut sebagai Janur — ada kedekatan penyebutan antara Sanur dan Janur. Nama padang Sanur di daerah lain: Useur (Gayo); Hapias, Usar (Batak); Akar Babau (Minangkabau); Akar Banda (Timor); Iser, Morwastu (Sumatera Utara); Usa, Urek Usa (Makasar); Janur, Narawastu, Usar (Sunda); Larasetu, Larawastu, Rarawestu (Jawa).
Nama rumput atau padang Sanur dikenal baik di sepanjang Bali Utara sebagai sumber pengharum pakaian. Masyarakat desa Ambengan, sebuah desa di selatan kota Singaraja yang kaya dengan berbagai jenis rumput-rumputan, dikenal baik Sanur sebagai bahan pewangi, dari dahulu kala, sebelum istilah rumput Veviter disebarluaskan sebagai aroma terapi oleh para pegiat terapi spa. Demikian juga orang tua saya yang tinggal di Bali Utara bagian barat dengan bangga menceritakan bagaimana nenek saya selalu berbau harum karena memakai akar padang Sanur sebagai pengharum tubuh dan diselipkan di lemari pakaian.
Secara turun-temurun akar padang Sanur menjadi bagian dari tradisi boreh atau ramuan, salah satunya yang terkenal adalah BUAT atau SAMBUAT, yang diusapkan pada dada perempuan yang sedang menyusui. SAMBUAT atau BUAT terdiri dari ramuan: Akar padang Sanur dan daun Delem (Nilam), ditumbuk bersama beras yang telah diredam. Diusapkan pada dada ibu yang menyusui. Tumbukan akar Sanur juga biasa dipakai sebagai pengharum tubuh seusai mandi sebagai layaknya bedak pengharum tubuh. Biasa diusapkan pada bayi sebagai aroma terapi yang menenangkan bayi, membuat sang bayi tidur pulas — sebuah terapi turun-temurun untuk menangkan bayi yang gemar menangis dan selalu uyang (tidur tidak tenang).
Kalau saya melewati Sanur, bukan “saa” (tunggal) dan “nur” (bahasa Arab berarti cahaya) yang terkesan di kepala saya. Yang berdesir adalah aroma harum akar padang Sanur — bahasa kerennya sekarang Vetiver— yang mengharumkan tubuh bayi dan ibu menyusui, dan aroma harum pakaian yang diselipi akar Sanur. Sanur itu, ya harum akar harum Padang Sanur, yang menenangkan dan dipercaya sebagai pemicu peningkatan kreavitas otak dan keheningan. Di kepala saya rumput Sanur alias vetiver yang menjadi muasal nama Sanur. Penjelasan desa Sanur berasal dari ‘Sa’ + ‘Nur’ (serapan bahasa Arab), sungguh membuat saya tersenyum.
Marilah kita berkeliling di sekitar wilayah Sanur: Nama-nama lokasi atau wilayah di sekitar berasal-muasal dari tumbuhan. Contoh: Intaran, Padang Galak, Biaung, dstnya.
Wilayah Intaran muasal namanya adalah pohon intaran. Tumbuhan penting ini disebut dalam lontar Dasanama dan Krtabhasa sama dengan “mimba” = “mintar” atau “meddha”. Mimba = “Nimba”. Dalam khazanah kepustakaan Ayur Weda pohon Nimba (निम्ब) — yang bahasa latinnya adalah Azadirachta indica, dari keluarga Meliaceae — bagian tumbuhan (kemungkinan pucuk daun mudanya) bisa dimakan sebagai sayuran (śāka), ini disebutkan dalam Carakasaṃhitā-sūtrasthāna (bab 27) — sebuah karya Ayurveda klasik. Intaran masuk kelompok tanaman obat Śākavarga, “kelompok herba”. Dalam bahasa Inggris umum disebut sebagai “neem”, “nimtree” dan “Indian lilac”. Intaran disebutkan sebagai obat yang digunakan untuk mengobati semua demam panas tinggi, menjadi terapi virus yang sering menjadi wabah mematikan di masa lalu, seperti yang dijelaskan dalam Jvaracikitsā (atau “pengobatan demam”) yang merupakan bab pertama dari karya Sansekerta yang disebut Mādhavacikitsā. Dalam karya ini, tumbuhan ini memiliki sinonim dengan Ariṣṭa, disebut-sebut sebagai bagian dari kelompok obat-obatan Nimbayugma. Tumbuhan ini telah terbukti sepanjang sejarah kuno Bharat (pre-modern India) dan Jawa sebagai penghalau dan penyelamat manusia dari keganasan wabah yang disebabkan oleh berbagai virus dan bakteri.
Padang Galak adalah wilayah yang ada di sebelah dari Sanur. Padang Galak jelas jenis rumput atau padang, sebagaimana halnya Padang Sanur. Padang Galak dan Padang Sanur kemungkinan dahulunya wilayah terbuka penuh rumput, yang membedakan keduanya adalah jenis rumputnya. Kemungkinan Padang Galak di tempat lain disebut sebagai Bajang-Bajang. Jenis rumput ini tajam dan memang berciri “galak” melekat menusuk pada kain jika kita lalui. Bajang-bajang adalah rumput yg buahnya mudah melekat pada pakaian, nama ilmiahnya Andropogon aciculatus. Literatur botani menyebutkan nama umum untuk Bajang-Bajang itu dalam bahasa Indonesia adalah “rumput jarum” atau “jarum mas” yang berkerabat dekat dengan Akar wangi atau Vetiver (Padang Sanur), Palmarosa, sere. Penyebutannya kadang menjadi rumput jarum, padang jarum mas, kadang singkat rumput mas. Rumput jarum mas (Andropogon aciculatus) biasa tumbuh di kawasan yang tanahnya tidak banyak kandungan humus atau tanah yang sedikit keras. Jika kawasan kurang humus dan di bawah matahari, rumput ini mempunyai tinggi 3 – 5 cm, dan 10 – 15 cm atau lebih jika tumbuh di tempat yang teduh. Ketinggian rumput ini sangat ditentukan dengan kesuburan tanahnya. Sampai saat ini kawasan Padang Galak masih banyak ditemukan “Bajang-Bajang”.
Di sebelah wilayah Padang Galak adalah Biaung. Biaung adalah mana ubi. Bahasa Latinnya adalah Dioscorea aculeate L. Di Singaraja disebut Ubi Aung. Di Jawa disebut sebagai Gembolo, mirip dengan Gembili yang lebih kecil.
TOPONIMI BALI, DASANAMA & KRTABHASA
Secara toponimi — ilmu yang mempelajari nama unsur penanda rupabumi suatu wilayah atau region, penamaan lokasi atau tempat — penamaan wilayah di Bali saya perkirakan lebih dari 30% memakai nama tumbuhan sebagai penanda lokasi. Sebagai contoh di atas, kawasan Intaran, Padang Sanur, Padang Galak, Intaran dan Biaung, tidak kebetulan secara toponimi wilayah ini penandanya adalah tumbuhan dan menjadi asal-usul nama-nama tempat di wilayah ini.
Disiplin ilmu penamaan wilayah atau toponimi ini terkait dengan onomastik (onomatologi), merupakan cabang ilmu linguistik yang disebut Linguistik Historis Komparatif, yang berfokus pada asal-usul kata atau etimologi dan juga makna dibalik nama. Onomastik ini yang secara khusus mengkaji mengenai asal-usul nama, baik nama diri/keluarga/gelar (antroponimi) dan nama kawasan/tempat/wilayah (toponimi). Dalam tradisi kesusastraan dan “nyastra” di Bali diwajibkan membaca lontar Dasanama dan Krthabhasa untuk bisa memahami antroponimi (nama diri/keluarga/gelar) dan toponimi (mana tempat).
Jika didekati dengan antroponimi maka banyak sekali nama gelar leluhur Bali terkait dengan toponimi. Nama leluhur Bali — yang cenderung dekat dengan nama tumbuhan, bahkan nama-nama atau gelar-sebutan orang Bali banyak memakai nama tumbuhan — terkait dengan toponimi yang terkait nama tumbuhan. Wilayahnya yang ditandai dengan nama pohon tersebut kemudian menjadi gelar yang dipertuan di sana. Gusti Jambe (dari mana pohon Jambe), Kemenuh (disebutkan dari Menuh), Arya Kebon Tubuh (Kebun Kelapa), Ida Kusa (Rumput Ilalang), Keniten (jenis bakau atau prapat besar berbuah yang dipakai saat pengabenan), dll. Wilayah di Denpasar ada dikenal sebagai Lemintang adalah nama tumbuhan, yang juga menjadi nama wilayah di Kabupaten Badung, yang penguasanya bernama Gusti Lemintang atau Gusti Lumintang. Kabupaten Badung sendiri berasal dari nama pohon Badung, sekeluarga dengan Mundeh yang sering disebut sebagai pohon Mundu atau pohon Rata. Wilayah Manggis, Karangasem atau Karangamla penandanya adalah pohon Asem dan atau pohon Amla. Di dua tempat ini penguasanya bergelar kebangsawan sesuai nama wilayah yang dari penanda pohon, tersebutlah Dewa Manggis dan Anglurah Karangasem.
Banyak sekali generasi kita tidak tahu nama-nama tumbuhan dalam bahasa Bali yang banyak menjadi asal-muasal dari suatu desa atau wilayah. Cepat sekali kita kadang memberi tafsir “Cocokologi” dalam mencari muasal nama tempat atau desa. Bahkan “Cocokologi” yang dipakai kadang memaksa sekali, sehingga yang membaca atau mendengar merasa “matah” dan mungkin juga merasa tersinggung kecerdasannya. Pesan tetua jika memasuki tradisi sastra: “Jika mempelajari nama-nama tempat atau lokasi sebaiknya membaca kamus Dasanama dan Krtabhasa.”
Sebagai contoh Cocokologi yang sering kita dengar adalah perihal nama Gunung Lempuyang. Desa Gamongan ada di kaki Gunung Lempuyang. Dalam lontar Krtabhasa disebutkan: Lempuyang = Bhujangga dewwa = Gamongan. Inilah menjadi sebab kenapa dalam lontar-lontar babad yang menyebutkan Gunung Lempuyang juga disebut sebagai Gunung Bhujangga.
Jika kita ikuti Cocokologi disebutkan bahwa Lempuyang berasal dari kata Lampu dan Hyang, lalu katanya menjadi Lempuyang (?). Kalau saja kita lebih giat sedikit bertanya, dan atau membaca lontar usada atau Krtabhasa dan Dasanama, sudah jelas disebutkan bahwa Lempuyang itu sebagai tanaman. Lempuyang yang memiliki nama ilimiah Zingiber Zerumbet L ini selanjutnya terbagi ke dalam 3 (tiga) varietas, yakni lempuyang pahit (Zingiber amaricanus BL), lempuyang gajah (Zingiber zerumver Sm), dan lempuyang wangi (Zingiber araomaticum Val). Stasiun di Jogja bernama Lempuyangan, tentu bukan berasal dari kata “Lampu” dan “Hyang”. Di Jogja banyak penjual jamu lempuyang. Demikian juga di Bali, masih ada tradisi minum loloh gamongan yang tak lain adalah salah satu dari keluarga lempuyang yang tiga tersebut di atas. Lempuyang dan Gamongan digunakan secara turun-temurun di Bali sebagai adalah tumbuhan penyebuh yang luar biasa bermanfaat untuk: Meredakan demam dan kejang anak (mampu meredakan demam dan kejang karena mengandung parasetamol); menambah nafsu makan; mencegah tumbuhnya sel kanker; mengatasi penyakit diare dan disentri; dipercaya membantu menurunkan berat badan atau melangsingkan tubuh; mengobati batuk rejan; mengatasi rematik; membantu mengatasi iritasi kulit akibat alergi; mengatasi gejala darah rendah; mengobati TBC; mengobati malaria; mengatasi masuk angin; mengobati kaki bengkak pasca melahirkan; mengatasi gejala ambien; dll.
Di Bali ada banyak nama desa bisa dicari rujukan namanya dari Dasanama, yang semuanya asal-usulnya adalah dari tumbuhan, seperti: ṣamṣam (nama lainnya: kumbiri; kmuning = gantuna = jnar); sĕmbung (nama lainnya hañjuna); kutuḥ (nama lainnya sasamali); kayu putiḥ (nama lainnya kayu pingĕ = walĕsan); dahuṣa (nama lainnya madya); ada dausa-haya (dausa gede) atau Justicia L.f. Acanthaceae; ada juga dausa-keling (Justicia Gandarusa L.f. Acanthaceae); bĕngkĕl (Nauclea purpurascens Korth); bĕlimbing dstnya. Nama desa Pĕgayaman dari Gayam = Gatep. Maka ada nama desa Pĕgatepan yang artinya sama dengan Pĕgayaman — dalam bahasa Latin: Inocarpus eduis Teorst. Daftar nama desa-desa berasal dari nama kawasan dengan penanda tumbuhan atau tanaman di Bali bisa diperpanjang, tinggal dicari di pelosok-pelosok Bali. Bisa menjadi daftar panjang toponimi dari tumbuh-tumbuhan yang menjadi penanda lokasi atau wilayah.
Kembali ke Padang Galak dan Padang Sanur, sesungguhnya cukup banyak nama rumput atau padang dalam lontar-lontar Bali tercatat, tapi tidak lagi dikenal oleh masyarakat Bali sendiri. Jenis rumput atau padang yang disebutkan dalam Krtabhasa sebagai berikut: dukut lambarang = padang blulang // dukut kidĕm = padang lĕpas // dukut luruḥ = paḍang ngalya // dukut gyang gyang = padang mrak // trĕṇa tĕtĕl = padang / pijĕr // trĕṇa bangkak = padang gowak // trana pring = padang tihing //. Padang dan dukut itu sama. Karena itu ada nama kegiatan “medukut” dalam tradisi subak dan abian, yaitu kegiatan menyiangi atau mencabut rumput yang tumbuh di antara padi di sawah.Kita menemukan nama-nama wilayah di Bali bernama Padang, seperti: Padang Sambian, Padang Subdra, Padang Luwih, Padang Kerta dll. Nama-mana ini sinonimnya ada dalam Dasanama dan Krtabhasa.
Selain Cocokologi nama Sanur dan Lempuyang, tulisan ini saya tutup dengan Cocokologi asal-usul nama Lumintang di Denpasar, yang konon bernama Lumintang karena ada orang Sulawesi Utara bermarga Lumintang tinggal di kawasan itu, lalu diberilah nama kawasan pusat pemerintahan dan taman kota itu jadi nama Lumintang(!). Ada yang menyebutkan demikian. Sungguh sebuah dagelan. Bahwa benar ada nama keluarga Lumintang di Minahasa, tapi nama Pura Lumintang, Adat Lumintang dan kawasan Lumintang, sejarah tempat atau toponiminya tidak ada hubungan dengan keluarga Minahasa Lumintang.
Lumintang (sebelumnya dalam penyebutan masyarakat lokal bernama Lemintang) diperkirakan berasal dari nama tumbuhan. Nama ini telah disebut jauh-jauh sebelum kota Denpasar modern didirikan. Disebutkan dalam Babad Arya Tabanan: “Tidak diceritakan berapa lama Sang Arya Ktut Notor Wandira berada di rumah, beliau pergi bersama anak istrinya dan Ki Tambyak, menuju negara Badung, menumpang di rumah De Buyut Lumintang. Keesokan harinya perjalanan Sang Arya Ktut Pucangan dilanjutkan bersama pengikutnya serta ditemani oleh De Buyut Lumintang.” Nama De Buyut Lumintang kemungkinan adalah nama orang yang berkuasa atau dituakan di Lumintang. Lemintang atau lumintang juga disebutkan dalam Babad Mpu Bekung, Babad Pinatih, Babad Wangbang, menyebutkan bahwa “Lemintang, ne magenah ring Desa Ayunan Manguwi”; “I Lemintang magenah ring Asah Wani Desa Sepang”; “Arya Lemintang, magenah ring Ayunan, Manguwi”. Lemintang atau Lumintang disamakan dalam pengucapan orang Bali.
Ada yang menyebutkan dari kembang Lintang atau kembang Bintang — nama ilmiahnya Laurentina Longiflora ini juga dikenal dengan nama Bintang Lima atau Kembang Jangar. Orang kerap menyebut kitolod sebagai kitolot atau bunga katarak, dari dahulu diketahui mempunyai khasiat yang luar biasa untuk mengobati berbagai penyakit mata, seperti silinder, katarak, rabun jauh, rabun dekat, mata minus, plus, nyeri dan perih pada mata. Dalam bahasa Jawa Kuno dan Bali kata “Lintang” dan “Bintang” berarti sama. Dalam bahasa Bali kita kenal sisipan “um”, dan jika “Lintang” disisipi sisipan “um” menjadi “Lumintang”. Demikian sebuah versi toponimi wilayah Lumintang.
Saya sendiri mempercayai Lumintang itu muasalnya Lemintang, yang secara toponimi berasal dari nama jenis pohon mangga yang langka yang identik dengan nama Lemintang. Sebuah cerita rakyat tentang pohon keramat di desa Ayunan, kecamatan Abiansemal, kabupaten Badung, menceritakan ada pohon keramat di Pura Dalem Lemintang. Pohon itu tidak lain adalah pohon Mangga Gading atau Poh Gading. Poh Gading itulah yang sekiranya dimaksud sebagai pohon Lemintang. Jenis mangga ini bukan hanya buahnya yang istimewa berwarna gading, tapi “babakan” atau kulitnya berguna untuk usada, dipercaya memberi kesembuhan. Jika ada warga desa Ayunan atau desa lain datang meminta babakan atau irisan kulit batang mangga Gading ini, terlebih dahulu harus seijin pemangku setempat. Konon babakan Pohgading ini dijadikan boreh atau ramuan untuk dibalurkan di tubuh orang yang sakit. Sementara itu, di sebelah wilayah Lumintang di Denpasar, terdapat sebuah kawasan yang sekarang dikenal sebagai Desa Pakraman Pohgading yang membawahi 12 banjar yang bentangnya sangat luas — ini bisa menjadi penanda kemungkinan Lemintang sama dengan Pohgading. Bisa jadi dahulu Pohgading dan Lumintang sebuah kesatuan wilayah. Dimasa lalu pemisahan atau pemekaran wilayah sering terjadi. Bisa jadi pemisahan wilayah di masa silam yang membuat nama yang dipilih adalah padanan “dasanama” Lemintang yang tak lain adalah Pohgading.
Toponimi Sanur, Lempuyang, Lemintang, atau wilayah lainnya, selalu terbuka untuk direkonfirmasi melalui jejak ingatan dan sejarah lisan. Masih terbuka jika kita membuka catatan tua yang terkait dengannya. Mengatakan Sanur dari “Sa” dan “Nur” serapan bahasa Arab, sungguh memancing pertanyaan besar. Sama halnya mengatakan bahwa nama Lumintang yang dikaitkan dengan keluarga bermarga Lumintang yang tinggal di kawasan adalah Cocokologi yang menarik sebagai “gegonjakan” atau kelakar, tidak bisa ditelan begitu saja sebagai “sumber toponimi”. Teringat petuah tetua, untuk memahami toponimi wilayah di Bali, sebaiknya dengan pedoman Krtabhasa dan Dasanama. Harus “tebal secara literasi” dengan melakukan pengecekan pada berbagai sumber tertulis terdahulu. Ini rasanya bisa menyelamatkan kita dari Cocokologi yang menyesatkan dan juga memalukan.