“Sore adalah waktu untuk berlari, menyehatkan tubuh dan menyegarkan kepala!” Kata-kata yang Grudug sampaikan pada orang tuanya itu sesungguhnya alasan nomor kedua, ketiga, atau bahkan keempat. Alasan pertama yang sangat sulit ia katakan adalah menghindari pekerjaan rumah. Waktu-waktu senggang itu biasanya selalu membuat ibu atau ayahnya tergelitik untuk melempar kata, “kerjakan ini!” atau “kerjakan itu!” Ia bukanlah orang malas, tetapi belakangan, terlalu sering mengulang kegiatan yang sama membuatnya bosan.
Setelah lama mengumpulkan alasan untuk menghindar, baru ia berpikir, “Karena tubuhku semakin subur, sedikit lari-lari kecil akan mengurangi lemak ini. Setidaknya enak dipandang orang,” pikirnya dalam hati sambil memijat perutnya. Sungguh kebetulan, sebelum lama di rumah, dana desa yang jumlahnya tak sedikit itu digunakan untuk membuat jalan sepanjang bibir sungai kecil yang mengaliri sawah.
Jalan beton itu selesai, sepeda motor mulai lalu lalang ke sana, orang-orang jadi rajin ke sawah, kebanyakan bukan untuk mengurus sawah, tetapi nongkrong di pinggir sungai itu. Sawah menjadi tempat bertemu tetangga atau menjadi tempat pacaran anak-anak ingusan. Bayangkan saja, ketika PSBB digelar, Pecalang sampai membuat posko di seputaran jalan itu. Tentu alasannya karena tempat itu tak pernah sepi, bahkan sampai malam. Setelah ada slogan Tentara Masuk Desa, pandemi mendorong munculnya slogan baru, “Pecalang Masuk Sawah.” Tapi, kini PSBB lebih longgar, Grudug jadi bisa olah raga di sekitar sana.
Sawah menjadi tempat seperti lapangan yang berbentuk memanjang mengikuti sungai. Sepanjang jalan ada saja orang yang berkumpul. Entah untuk ngobrol atau lain sebagainya. Hal inilah yang sangat ia senangi. Ia akan bertemu orang untuk basa-basi. Sebagai mahasiswa yang belum tamat, ia tidak merasa malu, justru keadaan ini menguntungkannya untuk menyebar alibi kenapa ia tidak tamat.
Persiapan yang menurutnya matang sesungguhnya betul-betul tidak matang. Bayangkan saja, tiga puluh menit sebelum lari, ia harus mandi terlebih dahulu, menggunakan sedikit parfum, dan memilih sepatu yang menurutnya paling tepat. Dalam hati ia berpikir, “Setidaknya aku rapi, bersih, jauh dari kesan melarat, jauh dari kesan bodoh.” dasar naif. Ia memandang rapi jauh dari kesan bodoh. Padahal kesan itu tetap hadir. Cobalah saudara ikuti isi hatinya, ia benar-benar naif, lugu.
Seandainya saudara melihat apa yang dilakukannya pada saat lari, mungkin saudara akan tertawa cekikikan. Ketika ia berlari, hal yang paling penting justru ia tinggalkan. Air minum dan uang. Sementara jaraknya yang sudah jauh dari rumah membuat kemungkinan untuk balik tidak diutamakan.
“Kalau balik, bisa-bisa aku pingsan sampai rumah,” pikirnya.
Sepanjang jalan baru itu, sesungguhnya ada banyak pedagang. Ada pedagang dengan gubuk sementara, bahkan di dekat sana ada minimarket ala desa yang dimiliki oleh tetangganya sendiri. Tetapi, dia berpikir dengan penampilan seperti itu akan sangat memalukan kalau berhutang.
“Rambut klimis, bau parfum merebak, masak berhutang?” gumamnya lagi.
Siapa suruh berpenampilan seperti itu? Siapa suruh ingin dipandang pintar hanya gara-gara bersih? Padahal di kampungnya bukanlah suatu aib bila berhutang barang sebentar saja. Jangankan sebentar, seminggu pun tidak apa-apa sebab orang-orang kampung sudah saling kenal. Dan para pedagang itu hampir seluruhnya adalah tetangga Grudug yang latah berdagang semenjak jalan satu setengah meter itu rampung.
Di tengah jalan, ia benar-benar haus. Mungkin karena menghindari tugas orang tua, petaka datang menimpa anak muda ini. benar-benar petaka, di tengah haus itu, ia membayangkan cerita pamannya. Romantisme yang tak hentinya mengiang di kepala Grudug. Dan inilah yang betul-betul ceroboh.
Pamanya sering bercerita tentang sawah dan masa lalu dengan menggebu-gebu. Mungkin karena kini pamannya sudah tak bisa lagi ke sawah karena susah berjalan, akhirnya kenangan hanya bisa tersalurkan melalui cerita yang mungkin bagi pamannya bisa dijadikan pelajaran. Tapi, malang sekali, Grudug salah memetik pelajaran.
Kata pamannya, hidup jaman dulu jauh lebih gampang. Hari ini terlalu banyak yang kita butuhkan. Listrik misalnya, menurut lelaki tua itu, sebelum ada listrik, orang-orang hanya membutuhkan sedikit minyak yang bertahan untuk beberapa hari mendatang. Kebiasaan mengenal gelap membuatnya tidak terbayang malam akan seterang saat ini. awalnya menyenangkan tetapi lama kelamaan, listrik menjadi candu. Gelap menjadi seram.
Sekarang, semua orang harus bekerja keras agar bisa membayar listrik. Bahkan setelah memakai semacam pulsa, beban untuk menerangi malam terasa semakin menekan. Pulsa seperti es di siang hari yang sekali sedot langsung habis.
“Tetapi tidak hanya itu,” kata pamannya.
“Dulu tak listrik dan hape, makanya tak ada anak-anak yang menangis hingga berguling-guling meminta kuota. Sebelum beli kuota, harus nyicil hape terlebih dahulu. Sepupumu, dulu minta sepeda motor, Paman kira urusan sudah selesai, tetapi setelah itu ia minta uang bensin. Minta uang servis. Parahnya ia juga minta uang untuk bongkar motornya,” Lanjut pamannya.
“Jangankan itu, coba saja kau bayangkan, sekarang kalau paman haus, harus menunggu bibimu selesai memasak air. Atau kau membelikan pamanmu ini air gallon. Betul-betul ribet. Dulu, ya… dulu. Paman ke sawah tak pernah bawa air. Paman tinggal lepas capil, tenggelamkan setengahnya di sungai kecil dekat sawah, lalu air yang ada di dalam topi bisa diminum. Seggaarrrr… Mana lebih praktis hidupmu sekarang atau hidup pamanmu yang renta ini?” ucap pamannya sambil tergopoh-gopoh menepuk dadanya.
Bayangan atas percakapan itulah yang sering mengiang dalam pikiran Grudug. Tapi sungguh ceroboh, Grudug justru salah memetik pesan dalam percakapan di saat dia kehausan di sawah.
“Aku coba saja minum air sungai,” pikirnya dalam hati. Ceroboh bukan? Tak usah saudara sangsi, ia tidak sedang main-main. Haus yang mencekik itu membuat ia segera lupa dengan rambut klimis, parfum, dan sepatu pilihan itu. Meski tanpa capil seperti dalam cerita pamannya, ia langsung menyendok air sungai di pinggir jalan yang memang betul masih cukup jernih, tak seperti air sungai di kota.
Seteguk, dua teguk. Ia betul-betul lega. Bahkan ia sempat berpikir, “Air sungai yang jernih ini sesungguhnya lebih enak dari air gallon. Kenapa harus beli air gallon?” hentaknya dalam hati sambil mengkerutkan dahi. Saat itu pula ia menatap penuh kebanggaan mempunyai desa yang dialiri air jernih. Ia berkata, “Terima kasih bagaimana yang mesti aku berikan pada sungai cantik ini?”
Tatapan yang serius itu beberapa saat tak bisa dipalingkan. Ia benar-benar terpesona dengan air itu. Air yang menurutnya ada manisnya, air yang menurutnya lezat itu rupanya menggandeng sesuatu. Sesuatu yang melintas di depannya, sesuatu berwarna kuning tua dengan sisa sayur dan beberapa butir biji cabai terlihat jelas. Mengambang, hanyut seketika melewati tatapannya. Ia terkejut, lalu air sedikit keruh menguning.
Seketika ia langsung muntah-muntah memalingkan wajah. Beberapa anak muda yang jongkok di hulu menatapnya bersalah. Grudug tak henti-hentinya muntah-muntah. Setelah didekati oleh beberapa anak muda itu dan paham perkara secara utuh, barulah ia diceramahi oleh anak muda itu untuk tidak minum air sungai, baru ia tahu, sesekali bangkai ternak tersangkut di sana yang entah dari mana datangnya, popok bayi yang terkadang tersangkut lalu hanyut, atau sesuatu yang kuning itu. [T]