Tulisan ini adalah respon akademis saya terhadap buku “Menjerat Gusdur” yang ditulis oleh Virdika Risky Utama. Ia merupakan alumnus Jurusan Pendidikan Sejarah Universitas Negeri Jakarta. Selain aktif menulis di beberapa kolom media cetak nasional, Mas Virdi, begitu ia disapa juga seorang wartawan. Buku “Menjerat Gusdur” adalah hasil investigasinya selama beberapa tahun. Dan kini, Mas Virdi juga sibuk mempersiapkan kuliah master jurusan ilmu politik di National University of Singapore (NUS).
Acara bedah buku ini diadakan pada hari Kamis, 10 September 2020. Bertempat di Kafe Kopling Singaraja yang diinisiasi oleh anak-anak GP Anshor Kabupaten Buleleng. Kata panitia yang sempat menghubungi saya H-5, Mas Virdi kebetulan sedang liburan ke Bali dan telah melakukan puluhan kegiatan serupa sejak penerbitan bukunya di awal tahun 2019. Judulnya yang provokatif menuai polemik sosial, alih-alih intelektual di masyarakat. Bak gayung bersambut, oleh karena ulasan buku itu yang dianggap upaya membersihkan masa lalu Gusdur-lah yang kemudian melatarbelakangi mengapa acara ini dibuat.
Sebagai sebuah karya sejarah, buku “Menjerat Gusdur” yang dikarang oleh Virdika menawarkan fakta baru perihal polemik kejatuhan Gusdur pasca Orde Baru. Di dalam metodologi ilmu sejarah yang sangat ketat sekalipun, saya pikir tidak ada yang bisa membantah data-data yang disajikan oleh penulis – begitu kaya dan padat. Data-data itu meliputi surat, notulensi rapat, memoar politik, oral history (terutama dengan tokoh X). Bahkan dengan gagahnya , penulis menjadikan bahan mentah tulisan ini terutama bagian notulensi rapat dan beberapa memoar politik tokoh tertentu yang berperan penting dalam konspirasi kejatuhan Gus Dur sebagai lampiran. Sungguh keberanian akademik yang hanya dimiliki oleh sedikit orang.
Hal ini membuktikan bahwa penulis telah siap lahir batin jika di kemudian hari karyanya akan menjadi polemik serius di dunia akademik, alih-alih politik. Penulis sadar betul bahwa meskipun Orde Baru telah runtuh, dan cita-cita reformasi diletakkan di pundak Gusdur kala itu, namun mentalitas antikritik rezim otoritarian tetap menjadi keseharian kita. Bahkan di mimbar akademik sekalipun. Akibatnya dunia akademik mengalami kemandegan. Namun tidak begitu dengan penulis, bermodal idealisme yang berapi-api, nampaknya yang bersangkutan siap untuk mendapatkan intimidasi dan provokasi dari pihak-pihak tertentu yang tidak menyukai kritik terhadap masa lalunya.
Lalu, orang atau sekelompok orang yang merasa terusik akan dengan sendirinya mengajukan gugatan. Pada momen inilah penulis dengan lantang membeberkan narasi politik di masa lalu dengan seabrek data mentah yang akan sangat sulit dibantah. Thus, ibarat meludah ke atas, gugatan akan menyerang tuannya sendiri. Artinya gugatan itu justru menelanjangi noktah hitam dari masa lalu si penggugat. Dan seperti tagline di dalam pamflet yang dibuat oleh panitia dengan mengutip kata-kata Gusdur bahwa “nanti sejarah yang akan membuktikannya” menemukan momentum.
Di samping bahan mentah penelitian yang secara metodologis memperkuat adanya konspirasi di balik kejatuhan Gusdur, hal lain yang menjadi kekuatan dari buku ini adalah bahasanya yang lugas dan tegas. Narasi yang dibangun base on data, baik yang disajikan melalui catatan kaki maupun catatan badan. Saya merekomendasikan buku ini untuk dibaca mahasiswa, khususnya mahasiswa sejarah yang menaruh minat terhadap seputaran peristiwa pasca Orde Baru.
Buku ini digadang-gadang sebagai biografi politik Gusdur, namun secara substansial menunjukkan beberapa celah yang justru menjadi kelemahan. Pertama, meskipun data-data yang ditawarkan di dalam buku ini baru sekaligus memperkuat adanya konspirasi politik kejatuhan Gusdur, akan tetapi tidak mampu menghadirkan cara pandang alternatif bagi generasi muda Indonesia dalam memahami polarisasi politik oligarki saat itu dan masih berlanjut hingga saat ini.
Saya mengira, penulis masih gamang dalam menentukan posisi akademisnya dalam memahami kajian pasca Orde Baru, khususnya momen lengsernya Gusdur yang dianggap inkonstitusional. Kegamangan itu terlihat dari terlalu banyaknya data tanpa didukung narasi yang memadai sebagai sebuah unit analisis yang bisa memberikan nuansa populis dan emansipatoris. Kegamangan akademis itu menyebabkan penulis terjebak dalam pusaran dendam masa lalu yang dikotomis thus normatif antara siapa kawan siapa lawan, mana yang baik dan mana yang jahat, antara putih dengan hitam, serta perseteruan kesucian dengan kemungkaran.
Sebuah karya yang didasari pada paradigma dikotomistis seperti itu, apalagi memuat narasi tentang masa lalu bisa berimplikasi dua hal sekaligus, yakni tumbuh suburnya dendam sejarah melingkar di antara generasi kelompok-kelompok yang bertikai dan terkuburnya wacana historiografi alternatif.
Dalam kasus lengsernya Gusdur, penulis melupakan realitas politik Indonesia yang penuh intrik dan aneka kepentingan. Ada adagium yang menyatakan bahwa yang abadi itu adalah kepentingan. Jadi meskipun Gusdur dilengserkan oleh Poros Tengah yang bahkan dengan sangat sadar menggandeng Golkar yang sedang berusaha melepaskan diri dari patronase Soeharto untuk menghadapi PDIP, toh ketiganya, antara Gusdur, Poros Tengah dan Golkar pernah terlibat hubungan mesra, yang mengantarkan Gusdur ke kursi kepresidenan.
Tumbuh suburnya dendam sejarah bisa termanifestasi dalam bentuk konflik laten bahkan frontal antara generasi kelompok yang bertikai. Hal tersebut disebabkan masing-masing pihak pada momen tertentu melakukan klaim-klaim kebenaran. Masalahnya, klaim kebenaran itu tidak pernah sepakat bertemu pada satu titik temu. Sebagai contoh, kelompok A berkonflik dengan kelompok B. kelompok A tidak pernah mengingat sikap baik dari kelompok B, namun cenderung menubuhkan perlakukan buruk yang diterimanya dari keompok B. Pun demikian dengan kelompok B. Artinya masing-masing kelompok yang bertikai itu melakukan dua aktivitas sekaligus, mengingat perlakukan buruk dan melupakan sikap baik.
Kedua, tulisan ini nyaris politis determinis, hanya menjelaskan realitas politik di era Gusdur secara monolitik. Artinya setiap hal yang terjadi pada Gusdur dan polemik yang ditimbulkan oleh eksistensinya selalu dipahami dalam kacamata politik semata. Meskipun ada upaya dari penulis untuk menghadirkan variabel yang lain. Padahal jika digali lebih dalam, akan didapatkan variabel yang tidak sekedar politik deterministis.
Refleksi Filosofis
Bagi generasi muda NU, mungkin tidak banyak yang mengetahui sosok Gusdur secara langsung. Gusdur dipelajari dan hadir dalam buku teks. Namun kini dengan kecanggihan kecerdasan buatan, sosok Gusdur yang low profile terekam dalam potongan-potongan video di Youtube. Meski demikian, rasanya hambar, sebab nuansa humanis seorang Gusdur tidak mampu digantikan oleh teknologi sekalipun. Meski begitu, Gusdur telah beristirahat dengan tenang, meninggalkan rekam jejak kesuksesan sekaligus kegagalan. Kesuksesan karena gagasan-gagasannya yang emansipatoris telah menginspirasi masyarakat Indonesia, minoritas khususnya.
Di sisi lain, kesuksesan yang diraih bersanding pula dengan kegagalan. Ketidakmampuannya dalam mengelola kekuasaan yang disebabkan karena mengedepankan idealisme alih-alih bersikap kompromistis terhadap warisan oligarki kekuasaan menghadirkan bargaining power yang lemah pada diri Gusdur. Poros Tengah dan bahkan Golkar yang tengah mencari panggung politik beralih haluan memusuhi Gusdur. Akibatnya, meski tidak terbukti melakukan pelanggaran-pelanggaran yang dituduhkan parlemen kepadanya dan bahkan diujimaterikan melalui lembaga yudikatif, toh akhirnya Gusdur lengser juga.
Di sisi lain, kategori gagal yang saya sematkan pada diri Gusdur bisa jadi mengandung paradoks. Posisinya mirip dengan Soekarno yang dilucuti kekuasaannya pasca tragedi 1965. Jika Soekarno memiliki PNI, Gusdur didukung NU yang siap membantunya mengemban amanat reformasi. Namun, baik Soekarno dan Gusdur tidak menggunakan kekuatan politik itu untuk melawan ketidakadilan pada dirinya. Mereka membiarkan dirinya digrogoti oleh politisi maruk dengan alasan menghindari pertumpahan darah. Pada titik ini, saya menaruh hormat kepada keduanya.
Mengutip pernyataan Nietzsche bahwa masa lalu lebih mendukakan ketimbang mensukakan dan dalam hubungannya dengan celah yang disisakan buku ini, di samping juga bekal bagi anak muda NU untuk bisa melanjutkan cita-cita Gusdur, saya melihat satu obsesi kuat darinya agar bangsa ini terlepas dari beban masa lalu yang pahit. Hal itu adalah apa yang disebut rekonsiliasi.
Rekonsiliasi adalah titik temu yang menandai obsesi Gusdur tentang emansipasi manusia. Ide-ide rekonsiliasi tentu tidak hadir begitu saja. Ia diinisiasi melalui dimensi-dimensi sosial kebudayaan, bahwa Gusdur dibesarkan di lingkungan pesantren dengan nuansa keislaman yang akulturatif, disamping mengemban ascribed status yang tinggi sebagai cucu pendiri NU. Bacaan-bacaan Barat dan literasi yang kuat turut membentuk jati diri Gusdur di masa depan. Inilah yang menyebabkannya dikenal luas di kalangan minoritas. Jasanya pun perihal kesetaraan bagi kaum minoritas di negeri ini tidak bisa dianggap kecil. Kekaguman-kekaguman terhadap Gusdur pada akhirnya berubah menjadi mistifikasi terhadap dirinya. Kultus sebagai wali ke sepuluh hingga bapak pluralisme bisa dianggap apresiasi terhadap kemampuan Gusdur mengelola keberagaman yang sempat porak-poranda di negeri.
Meskipun rekonsiliasi sangat populis bagi minoritas, namun tidak bagi yang lainnya. Terutama kelompok dominan yang bersekutu dengan sisa-sisa kekuatan Orde Baru yang menganggap wacana ini akan menggerogoti status quo di masa depan. Jika wacana ini terealisasi, tidak akan ada lagi “wabah” konflik yang bisa mereka manfaatkan demi kepentingan menggapai kekuasaan. Oleh sebab itu, gagasan Gusdur tentang rekonsiliasi yang lahir dari persinggungan sosial dan budaya dianggap berbahaya. Solusinya, Gusdur harus disingkirkan meski dengan cara-cara inkonstitusional. Dengan tersingkirnya Gusdur maka, wacana rekonsiliasi juga akan ikut terkubur.
Memperhatikan pengalaman berbagai bangsa di tiga benua yakni Asia, Afrika dan Amerika Latin, di dalam menempuh proses panjang pembangunan kembali budaya rukun dan damai, yang tidak mudah dan tidak sederhana itu, sekurang-kurangnya ada empat masalah pokok yang harus dihadapi dan dikerjakan sekaligus. Pertama, memberi jaminan kepastian akan adanya suasana damai, kedua, menyingkapkan kebenaran atau (di Indonesia dalam istilah salah kaprah disebut sebagai) “meluruskan sejarah”, ketiga, menegakkan keadilan, dan keempat, mendudukkan masa lalu pada tempat yang semestinya.
Sejarah bangsa Bangsa Indonesia ialah sejarah yang disusun dari oleh dan untuk penguasa demi kekuasaan. Oleh sebab itu, sejalan dengan proses rekonsiliasi, menjadi perlu dilakukan kegiatan penyusunan “sejarah dari bawah”, dengan melalui sejarah lisan sebagai sarana. Perlu juga dilakukan semacam “Gerakan Pembaruan Sejarah” yang sekaligus adalah “Gerakan Mengamati dan Menulis Sejarah Baru”. Dalam usaha menerangi sisi-sisi gelap sejarah masa lalu yang berdarah-darah dan berurai airmata itu, rasa keadilan dapat dibangun melalui pendekatan dan kesediaan berkisah orang-orang tertentu, yang diduga sebagai pelaku dan bertanggung jawab terhadap tindak kekerasan di masa lalu. Bukan dengan semangat balas dendam, tetapi dengan semangat memulihkan equilibria kultural dalam pergaulan masyarakat.
Peristiwa lengsernya Gusdur bukan hanya merupakan kekalahan pribadi belaka, tetapi sekaligus kekalahan sejarah “Sejarah Reformasi”. Pada satu pihak, pintu demokrasi yang sedang hendak dibukakan telah ditutup kembali, dan pada pihak lain membiarkan diri sendiri sebagai bangsa tetap menjadi tawanan sejarah masa lampau. Sesungguhnya pengakuan dan permintaan maaf secara resmi dari petinggi negeri, apalagi dari seorang kepala negara, bisa berperanan sebagai kekuatan pendorong di dalam proses mengubur kisah buruk masa lalu.
Memaafkan tanpa melupakan adalah konsep moral kerukunan, yang menjadi semboyan dan pedoman rekonsiliasi. Dengan memaafkan tanpa melupakan, bukan berarti mengingkari hukum keadilan. Justru demi menegakkan hukum keadilan itulah, maka semboyan “memaafkan tanpa melupakan harus dilaksanakan. Memaafkan antar siapa? Tentu saja antar-sesama orang, baik sendiri-sendiri maupun sebagai komunitas, yang mau membangun tata pergaulan hidup yang rukun dan damai atas dasar keadilan, bukan atas dasar (putusan) pengadilan.