26 May 2025
  • Beranda
  • Feature
    • Khas
    • Tualang
    • Persona
    • Historia
    • Milenial
    • Kuliner
    • Pop
    • Gaya
    • Pameran
    • Panggung
  • Berita
    • Ekonomi
    • Pariwisata
    • Pemerintahan
    • Budaya
    • Hiburan
    • Politik
    • Hukum
    • Kesehatan
    • Olahraga
    • Pendidikan
    • Pertanian
    • Lingkungan
    • Liputan Khusus
  • Kritik & Opini
    • Esai
    • Opini
    • Ulas Buku
    • Ulas Film
    • Ulas Rupa
    • Ulas Pentas
    • Kritik Sastra
    • Kritik Seni
    • Bahasa
    • Ulas Musik
  • Fiksi
    • Cerpen
    • Puisi
    • Dongeng
  • English Column
    • Essay
    • Fiction
    • Poetry
    • Features
  • Penulis
No Result
View All Result
  • Beranda
  • Feature
    • Khas
    • Tualang
    • Persona
    • Historia
    • Milenial
    • Kuliner
    • Pop
    • Gaya
    • Pameran
    • Panggung
  • Berita
    • Ekonomi
    • Pariwisata
    • Pemerintahan
    • Budaya
    • Hiburan
    • Politik
    • Hukum
    • Kesehatan
    • Olahraga
    • Pendidikan
    • Pertanian
    • Lingkungan
    • Liputan Khusus
  • Kritik & Opini
    • Esai
    • Opini
    • Ulas Buku
    • Ulas Film
    • Ulas Rupa
    • Ulas Pentas
    • Kritik Sastra
    • Kritik Seni
    • Bahasa
    • Ulas Musik
  • Fiksi
    • Cerpen
    • Puisi
    • Dongeng
  • English Column
    • Essay
    • Fiction
    • Poetry
    • Features
  • Penulis
No Result
View All Result
tatkala.co
No Result
View All Result

Merantau ke Tanah Kelahiran

PanchoNgacobyPanchoNgaco
September 7, 2020
inEsai
Sop Kaki Kambing

Judulnya aneh ya?

Masa merantau ke tanah kelahiran?

Maksudnya mungkin pulang kampung ya?

***

Percaya atau tidak, judul itu mewakili dengan tepat, apa yang kualami sekarang. Bahkan menurutku, ada banyak orang lain yang juga mengalaminya. Seseorang lahir di sebuah daerah, meninggalkan daerah itu sedari kecil, bertumbuh dan berproses di daerah lain, menjadi akrab dengan daerah itu, lalu kembali ke tanah kelahirannya setelah beranjak dewasa. Setibanya ke tanah kelahiran, orang ini malah merasa asing, sendirian, dan merindu perantauannya.

Nah, itulah aku. Kehidupanku bermula dari sebuah rumah sakit ibu dan anak di bilangan Jakarta Barat. Tiga hari setelah aku lahir, ibu dan ayah membawaku pulang ke sebuah rumah tua yang disegarkan dengan pohon jambu pada salah satu gang di Jakarta. Orang sekitar menamakan gang itu “Tanjakan” karena banyak sekali jalan menanjak di dalamnya.

Tanpa sempat akrab dengan tanah kelahiran, orang tua membawa aku dan kedua kakakku menyeberang ke Pulau Bali. Kala itu, usiaku bahkan belum genap setahun dan aku baru mulai belajar jalan. Jadilah ketika aku mulai memahami sekitar, dunia yang kulihat dan kukenal pertama kali adalah pulau dengan sejuta bunga Kamboja itu.

Aku melewati 17 tahun hidupku di tanah yang hangat tersebut. Dari belajar jalan, belajar bicara, belajar pacaran, belajar memukul orang, sampai belajar pura-pura belajar, semuanya terjadi di Pulau Bali. Maka tak sepenuhnya salah dong jika kemudian aku mengakui Bali sebagai kampung halamanku.

Tibalah saatnya kuliah, aku dengan terpaksa harus merantau ke tanah kelahiran. Aku bilang terpaksa karena memang tak sedikit pun dalam diri ada keinginan untuk menjalani waktu yang panjang di ibu kota yang luar biasa padatnya ini. Aku terpaksa “merantau” kembali ke ibu kota karena ayah dan kedua abangku sudah lebih dulu balik Jakarta. Terutama ibu, beliau merasa sangat berat hati jika aku harus hidup sendiri di Bali (mungkin menurutnya aku bisa begitu tak beraturannya jika dibiarkan hidup sendirian di suatu daerah). Karena kupikir menyenangkan orang tua tidak pernah ada buruknya, jadilah aku manut.

Benar saja jika kukatakan aku ini perantauan di tanah kelahiran. Aku sama sekali tidak merasakan keakraban di kota ini. Ketika menjalani seminggu pertama di Jakarta, aku malah merasa asing dan tersesat. Sulit untuk menemukan memori yang bisa membuatku tersenyum saat mengingatnya. Sekalipun ada, memori itu adalah memori perjalanan darat Jakarta – Bali yang cukup sering kutempuh saat liburan sekolah dulu.

Kesan pertamaku pada tanah kelahiran ini berubah ketika kembali untuk “merantau”. Dulu, teringat sekali betapa semringahnya aku dan kedua kakakku jika sudah memasuki Jakarta. Dulu aku selalu menjadikan sebuah bangunan gelap yang cukup mencolok dengan aksen grafis lancip kuning oranye di bilangan Jakarta Utara sebagai penanda kami sudah masuk Jakarta. Ketika SMA, aku baru tahu kalau bangunan penanda Jakarta versiku itu adalah Hotel Alexis. Bagi yang belum tahu, Alexis itu salah satu hotel prostitusi kelas atas yang paling ikonik di ibukota. Entah kenapa alam bawah sadar mengarahkanku untuk terpikat pada gedung itu sedari aku SD.

Dulu, ketika masih menganggap ke Jakarta sebagai pulang kampung, mal adalah sebuah hal yang mewah di mataku. Bisa masuk ke Mall Taman Anggrek saja, belaguku langsung meningkat seratus persen. Betapa sombongnya aku bisa masuk ke dalam mal yang ketika itu disebut sebagai mal terbesar di Asia Tenggara.

Diriku di masa dulu menganggap Dufan sebagai strata tertinggi dalam destinasi liburan. Butuh usaha untuk mendapatkan prestasi super sempurna di sekolah serta tabungan yang mencukupi demi membujuk orang tua mengajak aku dan kakakku bisa main seharian di taman hiburan keluarga tersebut.

Tempo aku kecil, Jakarta pun masih cukup lengang. Bangunannya masih banyak yang klasik, meskipun tidak seindah masa 1970-an yang pernah kulihat fotonya di buku-buku sejarah. Lahan hijau masih ada meskipun tidak serindang di Bali. Kemacetannya pun masih bisa dinikmati. Pokoknya menawan lah Jakarta itu jika aku berada di sana selama tak lebih dari 10 hari.

Ketika itu pula aku merasa punya citra lebih ketika menyebut diri anak kelahiran Jakarta. Rasanya macam kaum gedongan. Macam orang termaju di Indonesia. Belagu lah! Bisa dibilang, aku cinta dan bangga dengan Jakarta pada saat itu.

Merantau ke tanah kelahiran di usia menuju dewasa (tahun 2008) akhirnya membuatku banyak mengalami perubahan sudut pandang. Ironisnya, sudut pandangku ke Jakarta malah lebih banyak berubah ke arah negatif.

Aku jadi merasa Jakarta terlalu berlebihan. Terlalu sibuk. Terlalu ramai. Terlalu urban. Terlalu modern. Dan pastinya, terlalu panas. Rusak sudah kebanggaanku sebagai anak gedongan. Aku malah jadi sering merasa kecewa “kenapa aku lahir sebagai anak Jakarta?”. Anak kota yang diidentikkan sebagai orang sombong, tidak pernah hidup susah, tidak tahu kondisi sekitarnya, dan tidak punya kampung halaman.

Bagaimana aku bisa bilang pulang kampung sementara tempat ini adalah kota di mana kampungnya tersisih oleh modernitas yang gila-gilaan. Alamnya kalah dengan rangka besi dan beton. Mau cari pantai pun aku harus mimpi dulu. Ketika dulu di Bali aku bisa berekreasi dengan mudah dan murahnya ke pantai, alun-alun, air terjun, sungai, hutan, bukit, dan gunung, kini yang ada aku terjebak di antara mal, restoran, mal, restoran, tempat prostitusi, dan kolong jembatan. Jika pun ada pantai atau hutan, semuanya rekayasa teknologi. Semuanya pun baru bisa kunikmati setelah menggali saku dan dompet.

Masa-masa “perang dingin” dengan Jakarta ini berlangsung hingga 4 tahun pertama masa perantauanku. Selama itu, aku terus mengutuki tanah kelahiran ini. Tanpa aku sadari bahwa nantinya segala kedewasaan dan kekuatanku ternyata ditempa dengan sangat luar biasa oleh kota ini.

Kini aku sudah lebih dari satu dekade merantau di tanah kelahiranku. Aku masih tidak menemukan indahnya konsep kampung halaman di sini. Meski begitu, banyak hal yang akhirnya membuatku bisa nyaman berada lama di Jakarta. Untungnya, hal itu bukan tentang materi. Untungnya lagi, sekarang aku sudah bisa mulai rindu dengan tanah kelahiranku ketika aku sedang jauh darinya. Jakarta memang seperti kekasih. Jauh dicari, dekat dimarahi.

Terima kasih Jakarta.

Previous Post

Natal

Next Post

Dalam Bayang-bayang Rock Alternatif di Telinga Kirimu

PanchoNgaco

PanchoNgaco

Penikmat kopi pahit dan pekerja teks komersial yang masih gemar menikmati sastra dan menulis apa saja untuk tetap waspada. Menetap di Jakarta.

Next Post
Dalam Bayang-bayang Rock Alternatif di Telinga Kirimu

Dalam Bayang-bayang Rock Alternatif di Telinga Kirimu

Please login to join discussion

ADVERTISEMENT

POPULER

  • Refleksi Semangat Juang Bung Tomo dan Kepemimpinan Masa Kini

    Apakah Menulis Masih Relevan di Era Kecerdasan Buatan?

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Tulak Tunggul Kembali ke Jantung Imajinasi

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • “Muruk” dan “Nutur”, Belajar dan Diskusi ala Anak Muda Desa Munduk-Buleleng

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Hari Lahir dan Pantangan Makanannya dalam Lontar Pawetuan Jadma Ala Ayu

    0 shares
    Share 0 Tweet 0
  • Sang Hyang Eta-Eto: Memahami Kalender Hindu Bali & Baik-Buruk Hari dengan Rumusan ‘Lanus’

    23 shares
    Share 23 Tweet 0

KRITIK & OPINI

  • All
  • Kritik & Opini
  • Esai
  • Opini
  • Ulas Buku
  • Ulas Film
  • Ulas Rupa
  • Ulas Pentas
  • Kritik Sastra
  • Kritik Seni
  • Bahasa
  • Ulas Musik

Abstrak Ekspresionisme dan Psikologi Seni

by Hartanto
May 25, 2025
0
Abstrak Ekspresionisme dan Psikologi Seni

"Seniman adalah wadah untuk emosi yang datang dari seluruh tempat: dari langit, dari bumi, dari secarik kertas, dari bentuk yang...

Read more

AI dan Seni, Karya Dialogis yang Sarat Ancaman?

by Petrus Imam Prawoto Jati
May 25, 2025
0
Refleksi Semangat Juang Bung Tomo dan Kepemimpinan Masa Kini

“Seni bukanlah cermin bagi kenyataan, tapi palu untuk membentuknya.” -- Bertolt Brecht PARA pembaca yang budiman, kemarin anak saya, yang...

Read more

Catatan Ringkas dari Seminar Lontar Asta Kosala Kosali Koleksi Museum Bali

by Gede Maha Putra
May 24, 2025
0
Catatan Ringkas dari Seminar Lontar Asta Kosala Kosali Koleksi Museum Bali

MUSEUM Bali menyimpan lebih dari 200 lontar yang merupakan bagian dari koleksinya. Tanggal 22 Mei 2025, diadakan seminar membahas konten,...

Read more
Selengkapnya

BERITA

  • All
  • Berita
  • Ekonomi
  • Pariwisata
  • Pemerintahan
  • Budaya
  • Hiburan
  • Politik
  • Hukum
  • Kesehatan
  • Olahraga
  • Pendidikan
  • Pertanian
  • Lingkungan
  • Liputan Khusus
911—Nomor Cantik, Semoga Nomor Keberuntungan Buleleng di Porprov Bali 2025

911—Nomor Cantik, Semoga Nomor Keberuntungan Buleleng di Porprov Bali 2025

May 21, 2025
Inilah Daftar Panjang Kusala Sastra Khatulistiwa 2025

Inilah Daftar Panjang Kusala Sastra Khatulistiwa 2025

May 17, 2025
Meningkat, Antusiasme Warga Muslim Bali Membuka Tabungan Haji di BSI Kantor Cabang Buleleng

Meningkat, Antusiasme Warga Muslim Bali Membuka Tabungan Haji di BSI Kantor Cabang Buleleng

May 16, 2025
Anniversary Puri Gangga Resort ke-11, Pertahankan Konsep Tri Hita Karana

Anniversary Puri Gangga Resort ke-11, Pertahankan Konsep Tri Hita Karana

May 13, 2025
“Bali Stroke Care”: Golden Period, Membangun Sistem di Tengah Detik yang Maut

“Bali Stroke Care”: Golden Period, Membangun Sistem di Tengah Detik yang Maut

May 8, 2025
Selengkapnya

FEATURE

  • All
  • Feature
  • Khas
  • Tualang
  • Persona
  • Historia
  • Milenial
  • Kuliner
  • Pop
  • Gaya
  • Pameran
  • Panggung
Kala Bukit Kini Berbuku, Inisiatif Literasi di Jimbaran
Khas

Kala Bukit Kini Berbuku, Inisiatif Literasi di Jimbaran

JIMBARAN, Bali, 23 Mei 2025,  sejak pagi dilanda mendung dan angin. Kadang dinding air turun sebentar-sebentar, menjelma gerimis dan kabut...

by Hamzah
May 24, 2025
“ASMARALOKA”, Album Launch Showcase Arkana di Berutz Bar and Resto, Singaraja
Panggung

“ASMARALOKA”, Album Launch Showcase Arkana di Berutz Bar and Resto, Singaraja

SIANG, Jumat, 23 Mei 2025, di Berutz Bar and Resto, Singaraja. Ada suara drum sedang dicoba untuk pentas pada malam...

by Sonhaji Abdullah
May 23, 2025
Pesta Kesenian Bali 2025 Memberi Tempat Bagi Seni Budaya Desa-desa Kuno
Panggung

Pesta Kesenian Bali 2025 Memberi Tempat Bagi Seni Budaya Desa-desa Kuno

JIKA saja dicermati secara detail, Pesta Kesenian Bali (PKB) bukan hanya festival seni yang sama setiap tahunnya. Pesta seni ini...

by Nyoman Budarsana
May 22, 2025
Selengkapnya

FIKSI

  • All
  • Fiksi
  • Cerpen
  • Puisi
  • Dongeng
Menunggu Istri | Cerpen IBW Widiasa Keniten

Menunggu Istri | Cerpen IBW Widiasa Keniten

May 25, 2025
Kampusku Sarang Hantu [1]: Ruang Kuliah 13 yang Mencekam

Kampusku Sarang Hantu [16]: Genderuwo di Pohon Besar Kampus

May 22, 2025
Puisi-puisi Sonhaji Abdullah | Adiós

Puisi-puisi Sonhaji Abdullah | Adiós

May 17, 2025
Kampusku Sarang Hantu [1]: Ruang Kuliah 13 yang Mencekam

Kampusku Sarang Hantu [15]: Memeluk Mayat di Kamar Jenazah

May 15, 2025
Puisi-puisi Hidayatul Ulum | Selasar Sebelum Selasa

Puisi-puisi Hidayatul Ulum | Selasar Sebelum Selasa

May 11, 2025
Selengkapnya

LIPUTAN KHUSUS

  • All
  • Liputan Khusus
Kontak Sosial Singaraja-Lombok: Dari Perdagangan, Perkawinan hingga Pendidikan
Liputan Khusus

Kontak Sosial Singaraja-Lombok: Dari Perdagangan, Perkawinan hingga Pendidikan

SEBAGAIMANA Banyuwangi di Pulau Jawa, secara geografis, letak Pulau Lombok juga cukup dekat dengan Pulau Bali, sehingga memungkinkan penduduk kedua...

by Jaswanto
February 28, 2025
Kisah Pilu Sekaa Gong Wanita Baturiti-Kerambitan: Jawara Tabanan Tapi Jatah PKB Digugurkan
Liputan Khusus

Kisah Pilu Sekaa Gong Wanita Baturiti-Kerambitan: Jawara Tabanan Tapi Jatah PKB Digugurkan

SUNGGUH kasihan. Sekelompok remaja putri dari Desa Baturiti, Kecamatan Kerambitan, Tabanan—yang tergabung dalam  Sekaa Gong Kebyar Wanita Tri Yowana Sandhi—harus...

by Made Adnyana Ole
February 13, 2025
Relasi Buleleng-Banyuwangi: Tak Putus-putus, Dulu, Kini, dan Nanti
Liputan Khusus

Relasi Buleleng-Banyuwangi: Tak Putus-putus, Dulu, Kini, dan Nanti

BULELENG-BANYUWANGI, sebagaimana umum diketahui, memiliki hubungan yang dekat-erat meski sepertinya lebih banyak terjadi secara alami, begitu saja, dinamis, tak tertulis,...

by Jaswanto
February 10, 2025
Selengkapnya

ENGLISH COLUMN

  • All
  • Essay
  • Fiction
  • Poetry
  • Features
Poems by Dian Purnama Dewi | On The Day When I Was Born

Poems by Dian Purnama Dewi | On The Day When I Was Born

March 8, 2025
Poem by Kadek Sonia Piscayanti | A Cursed Poet

Poem by Kadek Sonia Piscayanti | A Cursed Poet

November 30, 2024
The Singaraja Literary Festival wakes Bali up with a roar

The Singaraja Literary Festival wakes Bali up with a roar

September 10, 2024
The Strength of Women – Inspiring Encounters in Indonesia

The Strength of Women – Inspiring Encounters in Indonesia

July 21, 2024
Bali, the Island of the Gods

Bali, the Island of the Gods

May 19, 2024

TATKALA.CO adalah media umum yang dengan segala upaya memberi perhatian lebih besar kepada seni, budaya, dan kreativitas manusia dalam mengelola kehidupan di tengah-tengah alam yang begitu raya

  • Penulis
  • Tentang & Redaksi
  • Kirim Naskah
  • Pedoman Media Siber
  • Kebijakan Privasi
  • Desclaimer

Copyright © 2016-2024, tatkala.co

Welcome Back!

Login to your account below

Forgotten Password?

Retrieve your password

Please enter your username or email address to reset your password.

Log In
No Result
View All Result
  • Beranda
  • Feature
    • Khas
    • Tualang
    • Persona
    • Historia
    • Milenial
    • Kuliner
    • Pop
    • Gaya
    • Pameran
    • Panggung
  • Berita
    • Ekonomi
    • Pariwisata
    • Pemerintahan
    • Budaya
    • Hiburan
    • Politik
    • Hukum
    • Kesehatan
    • Olahraga
    • Pendidikan
    • Pertanian
    • Lingkungan
    • Liputan Khusus
  • Kritik & Opini
    • Esai
    • Opini
    • Ulas Buku
    • Ulas Film
    • Ulas Rupa
    • Ulas Pentas
    • Kritik Sastra
    • Kritik Seni
    • Bahasa
    • Ulas Musik
  • Fiksi
    • Cerpen
    • Puisi
    • Dongeng
  • English Column
    • Essay
    • Fiction
    • Poetry
    • Features
  • Penulis

Copyright © 2016-2024, tatkala.co