Semenjak 2 Juli 2020, Puri Agung Ubud melalui acara Ubud Royal Weekend (URW) melaksanakan Rembug Sastra secara rutin setiap dua minggu sekali di Musuem Puri Lukisan. Acara yang dikemas secara virtual melalui live instagram ini merupakan bentuk apresiasi terhadap berbagai Karya Sastra atau sumber literasi kuno yang telah diwarisi hingga saat ini oleh masyarakat Ubud khususnya dan Bali pada umumnya. Tentu, dengan penyelenggaraan Rembug Sastra tersebut diharapkan menjadi sebuah jembatan menggali kembali makna-makna filosopi yang tersirat pada naskah-naskah kuno sekaligus sebagai ajang bertukar pikiran serta memperkaya khzanah ilmu pengetahuan diantara masyarakat. Pelaksanaan Rembug Sastra yang kelima pada tanggal 5 September 2020 nantinya akan mengulas tentang Topik “Batur dan Ubud dalam perspektif Teks dan Kesejarahan”. Diskusi akan menghadirkan dua narasumber yaitu: Jero Penyarikan Duuran Batur dan Tjokorda Gde Dharmaputra Sukawati serta diharapkan mampu mempertajam pemahaman masyarakat Ubud utamanya generasi muda dalam mendalami Relasi antara Ubud dan Batur yang selama ini terjalin. Terlebihdalam mengupas makna “Ubud sebagai Anak Emas Batur” yang sering berhembus di tengah-tengah masyarakat.
Menuju pada puncak acara yang sudah dekat tersebut, Saya menyempatkan berkunjung ke Batur bersama dengan sanak keluarga Puri Ubud pada Hari Purnama Ketiga tanggal 2 September 2020. Perjalanan menuju Batur sesungguhnya berawal dari pesan Jero Gede Batur Duuran dua hari sebelumnya yang mengabarkan kepada Cok Piko bahwa telah ditemukan Air (Tirtha) yang keluar dari pegunungan Batur, tepatnya di Kawasan Pucak Kawan. Lebih lanjut, Jero Gede Batur Duuran berpesan agar keluarga Puri Ubud dapat turut serta pada acara mamendak tirtha tersebut bersama Prajuru Pura yang akan dilaksanakan pada Hari Purnama. Semenjak mendengarkan kabar akan adanya rencana keberangkatan menuju Gunung Batur, perasaan Saya sangat senang dan bersemangat. Selain akan melihat keindahan panorama Gunung Batur, Saya juga akan melihat langsung rembesan Air (Tirtha) yang baru keluar dari dalam bebaturan Gunung Batur.
Hari itu tepat Pukul 04:00 WITA, Saya sudah dibangunkan oleh kerasnya bunyi alarm HP yang sengaja di-setting agar tidak kesiangan, karena Saya dan keluarga lainnya bersepakat memulai perjalanan dari Ubud Pukul 05:30 WITA. Ubud pagi itu sangat dingin dan segera setelah selesai berpakaian, Saya berpamitan dengan Istri sembari menciumi kening dua Balita yang sedang lelap dalam tidurnya. Rombongan menuju Batur pagi itu terdiri dari dua mobil. Saya berada pada mobil terdepan bersama dengan Edi dan Cok Piko. Sedangkan mobil di belakangnya terisi oleh Cok Gung, Cokde bodet, dan Cokde Angga. Selama perjalanan menuju Batur, Saya berdiskusi perihal persiapan acara Rembug Sastra URW seraya mengulas tentang peta aliran sungai Ubud yang bersumber dari rembesan Danau Batur. Sesekali Kami mendiskusikan tentang perjalanan para leluhur di masa lalu yang berkaitan erat dengan beberapa Desa yang Kami lewati pagi itu. Perbincangan menjadi sangat mendalam saat Kami berdiskusi hal-hal unik di masa lalu tentang Desa Timbul, Kebon dan Kedisan, yang merupakan juga bagian dari pepasyan Pura Batur. Perkumpulan Subak-Subak dari Ketiga Desa yang memiliki hamparan sawah yang cukup subur serta aliran air yang cukup berlimpah tersebut, terlihat memang menunjukkan sebagai pemuja Batur yang taat terlebih pada setiap perayaan Ngusabha Kadasa.
Khusus bagi Kebon dan Kedisan, sesungguhnya tidak terpisahkan dari cerita Puri Ubud di masanya. Ikatan emosional Puri Ubud dengan dua desa yang dalam kesejarahannya dipimpin oleh keturunan Anglurah Sidemen tersebut masih terjalin hingga saat ini. Konon dahulu dalam sebuah Babad Dalem Sukawati disebutkan bahwa Tjokorda Gde Putu Kandel (Generasi I Puri Ubud) sempat menetap sementara waktu di sebuah Desa yang disebut Tumbakasa (persis bersebelahan dengan Desa Kebon dan Kedisan). Bahkan pada permulaan abad ke-20, ikatan perkawinan menjadikan semakin dekat hubungan Puri Ubud dengan dua desa tersebut. Menurut catatan beberapa informan, beberapa Karya Agung sekitar Tahun 1950-an di Kedisan, Kebon, dan Apuhdigelar atas prakrasa Tjokorda Puri Ubud sebagai Pengrajeg Karya-nya. Perbincangan Kami dalam perjalanan itu semakin menarik saat mengulas tentang Kedisan, dikarenakan istri Cok Piko berasal dari Puri Kedisan. Dengan senanngnya, Saya mendengar cerita Cok Piko tentang Kedisan dari perspektif Mithologi yang menghubungkannya dengan Seekor Burung (Kedis atau Paksi dalam Bahasa Bali).
Tak terasa 30 menit sudah berlalu, akhirnya tibalah Kami di Jaba Pura Ulun Danu Batur. Segera Kami turun dan bergegas menuju utama mandala Pura Ulun Danu Batur. Saya yang turun belakangan tampak paling aneh dari yang lain karena menggunakan sepatu.Rombongan terlihat sedikit pucat, karena memang belum tersentuh sarapan Pagi. Desa Batur pagi itu masih terlihat sangat sepi dan jalanan belum padat dilalui para penduduk. Kasinoman dan Pemangku Pura menerima Kami dan tak lama kemudiannya Jero Gede Batur Duuran menghampiri Kami dengan sedikit terpincang. Beliau mempersilahkan Kami duduk di Bale Bangli seraya menyampaikan permakluman tidak dapat turut serta dalam pendakian, karena kondisi Kaki yang masih pegel saat pendakian dua hari sebelumnya. Tak lupa Jero Gede juga menceritakan penemuan sumber air (tirtha) di Gunung tersebut berawal dari salah satu Krama Desa Batur yang tak sengaja mendaki sambil memburu Burung (Kedis atau Paksi dalam Bahasa Bali). Singkat cerita, ditemukannyalah Air yang merembes cukup deras dari bebatuan dan dilaporkannya kepada Pengempon Pura untuk dilakukan pengecekan. Saya dan Cok Piko saling pandang merasa aneh. Yaa,,,, baru saja dalam perjalanan Kami mengulas tentang Burung (Kedis atau Paksi dalam sejarah Desa Kedisan), lalu ternyata penemuan Tirtha tersebut berawal pula dari rencana perburuan Burung di Kawasan Puncak Kawan Gunung Batur. Heheee,, kebetulan saja mungkin!!!. Senyum Kami melebar kencang, saat Jajan Uli dan Kopi Panas silih berganti parkir di hadapan Kami. Sinar matahari pagi mulai muncul di balik Meru dan menyinari Kami yang sedang dalam kedinginan. Tak lama kemudian, Jero Penyarikan Duuran Batur datang menghampiri Kami seraya menyampaikan kesiapan menghantarkan Kami menuju tempat memohon Air (Tirtha) yang baru di Kawasan Puncak Kawan Gunung Batur. Setelah satu persatu Jajan Uli mulai hilang dari tempatnya dan Air Kopi mulai surut dari cangkirnya, Kami semua melanjutkan persembahyangan di hadapan Gedong Ida Bhatari memohon restu dalam misi pendakian serta mamendak Tirtha Gunung yang baru untuk dipundut ke Ubud.
Setelah selesai melakukan persembahyangan, segera Kami melakukan perjalanan menuju tempat start pendakian Gunung Batur tepatnya di kawasan Black Lava. Dari Pura Ulun Danu Batur, perjalanan menuju Black Lava ditempuh dalam waktu 20 menit. Mobil Kami berhenti di hamparan Pasir yang luas serta telah ditunggu oleh beberapa Krama Desa yang telah siap membawa sarana Upakara dan perlengkapan penunjang lainnya untuk prosesi upacara memendak Air (Tirtha). Dengan perasaan semangat, Kami turun dari mobil seakan tak sabar ingin sampai di tempat tujuan. Menurut informasi Cok Piko sehari sebelumnya, konon lokasi sumber air tersebut tidak jauh (hanya 200 meter dari parkiran). Kami berjalan santai sambil sesekali mengabadikan moment indah untuk berfoto ria dengan latar Gunung Batur sebagai Background-nya. Dari kejauhan Saya melihat beberapa tetua Desa yang telah berangkat terlebih dahulu terlihat sangat kecil diatas sambil melambaikan tangan. Dalam hati, Saya bertanya “Disanakah tempatnya?”. Beberapa dari Kami tampak curiga sambil menatap satu sama lainnya. Sesekali Krama Desa yang ikut berjalan terlihat menggunakan sepatu tebal layaknya pendaki profesional. Wajah suram terlihat diantara sanak keluarga Saya seakan merasa ragu akan informasi “hanya 200 meter” tersebut. Kasinoman terdekat yang ikut mendaki menyampaikan bahwa perjalanan masih sekitar 45 menit menuju keatas dengan medan yang sedikit berbatu. Yaaa,,,,!!! ternyata jadilah Saya dengan penampilan yang paling siap diantara saudara yang lain. Untung menggunakan Sepatu (dalam hati sedikit tertawa).
Terjalnya medan dengan tanjakan yang cukup tinggi memaksa Kami harus mengatur ritme nafas dengan baik. Perhatian tidak difokuskan melihat keatas puncak namun sesekali mengkombinasikannya dengan obrolan santai seputaran sejarah peradaban Batur di masa Kuno. Untung, Saya dan Cok Piko berada pada barisan terdekat dengan Jero Penyarikan Duuran Batur, sehingga Kami banyak dapat berdiskusi tentang jejak-jejak Batur Kuno serta berbagai Tradisi yang masih berjalan hinga saat ini di Batur. Kami pun saling mengisi tentang materi dan arah diskusi rembug sastra yang akan dilaksanakan Hari Sabtu. Sebagai narasumber, Cok Piko dan Jero Penyarikan sempat menyepakati beberapa kerangka acuan jalannya rembug sehingga menjadi bekal bagi Saya dalam memandu jalannya diskusi nanti. Dalam perjalanan, Jero penyarikan juga sempat mengutarakan impiannya suatu nanti URW dapat menggelar rembug atau Bincang Santai di arena terbuka dalam bentuk Camping di Kawasan Batur. Dalam perjalanan, terlihat mobil yang Kami gunakan tampak semakin kecil dari kejauhan. Kami juga sempat melintasi jalanan miring berpasir yang sedikit membuat kepala seperti sedang vertigo.
Setelah 40 Menit berjalan kaki, akhirnya Kami sampai pada tempat dimana Bhakti Pamendak Air (Tirtha) dilaksanakan. Jero Karaman,Pemangku,Srati Banten dan beberapa Pengayah terlihat sibuk mempersiapkan Upakara yang akan dihaturkan. Saya merasa senang telah sampai di garis finish. Dari kejauhan Saya melihat beberapa orang saling berpegangan naik dengan tali. Kecurigaan mulai muncul kembali dan segera Saya bertanya pada salah satu pengayah, “Sinampurang, nike samian munggah ngerereh napi nggih?” (itu semua pada naik untuk mencari apa ya?) Ya betul saja,,,,, “Nike pada megisian ring taline jagi munggah nyingakin genah sumber toyane” (Itu semua berpegangan dengan tali untuk melihat tempat sumber airnya). Kami pun saling senyum satu sama lain mengira sudah sampai di tempat akhir. Tanpa pikir panjang agar segera hilang penasaran, Saya menarik tali sambil sesekali melompat diatas bebatuan yang besar dan tajam. Beberapa diantara Kami banyak yang berjatuhan. Asap Belerang makin dekat terlihat dan akhirnya Kami tiba di tempat sumber air. Di seputaran sumber air, sulit Kami melihat posisi tanah datar, sehingga Kami berada pada jarak yang saling berjauhan guna mencari posisi yang aman untuk duduk. Panas belerang terasa hingga di pangkal paha seakan mengingatkan Kami yang hadir bahwa aktivitas vulkanologi masih terjadi di Gunung ini. Dari tempat Kami duduk, terlihat indahnya kawasan Kintamani khususnya pegunungan Batur sambil sesekali mengintip tetasan air yang keluar dari bebatuan. Didepannya telah disiapkan Kain putih kuning, pipa, dan Upakara. Kami segera melakukan persembahyangan walau dengan posisi yang kurang nyaman karena kontur tanah yang cukup miring.
Setelah melakukan persembahyangan yang pertama tersebut, Kami dipersilahkan kembali kebawah menuju tempat persembahyangan yang kedua. Dari atas Kami melihat beberapa pengayah sedang menunduk seperti sedang menyantap makanan. Dalam hati Saya berharap mudah-mudahan tiba saatnya untuk makan,, hehehe….. Benar saja begitu sampai pada tempat persembahyangan yang kedua, Kasinoman memberitahu bahwa bhakti pecaruan dan mamendak akan dilaksanakan setelah selesai makan siang. Kami pun duduk berkumpul diatas karpet seadanya dan sangat mengesankan sekali, Kami disuguhkan hidangan nasi bungkus yang enak. Jero Penyarikan yang duduk bersebelahan dengan Saya mungkin sedikit terkejut melihat beberapa dari Kami sangat lahap menyantap makanan, bahkan menambah beberapa porsi lagi. Maklum,,, dari pagi belum tersisi nasi,, hiii!! Setelah selesai makan, Kami lalu disuguhkan Kopi khas Kintamani sambil menunggu Jero Karaman dan Pemangku melakukan puja bhakti pecaruan dan mamendak. Dibawah terik matahari, lalu tibalah saatnya Kami melakukan persembahyangan yang kedua sekaligus memohon air (tirtha) untuk dibawa ke Ubud. Pemangku berperawakan gemuk dan berambut gondrong namun berusia masih muda memandu jalannya persembahyangan kala itu.
Setelah selesai jalannya acara, segera Kami kembali turun menuju Mobil yang parkir di tempat awal pendakian. Saya bersama yang lainnya menelusuri rute yang sama seperti saat keberangkatan sebelumnya. Kami saling tertawa, bercanda serta berfoto ria. Sesekali Saya memetik Bunga “Tiblun” khas flora pegunungan Batur untuk oleh-oleh Keluarga. Satu diantara Kami terlihat terbahak-bahak menelusuri jejak perjalananNya saat berangkat sebelumnya sembari bercerita bahwa perutnya sakit sekali sewaktu menuju puncak. Dibalik semak-semak itulah katanya dia bersembunyi sambil mengintip agar tak terlihat dari yang lain. Makanan pedasnya kemaren telah merusak isi perutnya hari itu. Setelah 40 menit berjalan, akhirnya Kami tiba di parkiran dan segera Kami kembali ke Pura Ulun Danu Batur untuk mamitang Air (Tirtha) yang akan Kami stanakan sehari di Pura Gunung Lebah Ubud sebelum dibagikan kepada Kami semua. Jero Gede Alitan Batur tampak sedang bersila di Bale Bangli sambil berdialog dengan beberapa penghadapNya. Kami permisi mohon pamit menuju Pura Gunung Lebah Ubud. Sungguh perjalanan yang cukup melelahkan sekaligus mengesankan terlebih pada Hari Purnama Ketiga yang ditradisikan oleh masyarakat Batur sebagai hari untuk menghaturkan persembahan di setiap mata air di kawasan Gunung Batur. Sungguh Hari itu merupakan perjalanan rohani menuju ketenangan jiwa. Dari Gunung Batur akhirnya Kami tiba kembali di Campuhan yang berujung di Pura Gunung Lebah (tempat menstanakan Tirtha). Jika perjalanan hari itu adalah bagian dari kesadaran akan Relasi antara Batur dengan Ubud, maka tak sabar menunggu paparan para narasumber pada Ubud Royal Weekend 5 September 2020.